Oleh Usman D.Ganggang *)
SENJA sudah datang lagi.
Itu artinya, sebentar malam kian merentang panjang. Seperti biasa, menunggu
malam terentang, aku mengitari kotaku. Dan tibalah aku di sebuah lorong yang
sering aku lalui. Lorong ini, rupanya punya magnet. Bagaimana tidak, meski aku
ke Utara atau ke Selatan, atau sebaliknya ke Barat atau ke Timur, pada akhirnya
akan tiba juga di sini. Iya, apalagi ketika lewat, selalu saja disuit-suit
seorang cewek manis. Yang usianya, kutaksir, belum lewat 17 tahun. Iya. setiap
kali aku lewat, selalu saja diundang untuk singgah di rumahnya yang terbilang
cukup mega itu.
Dan kali ini, tiba – tiba saja, aku mau
singgah. Iya, tak enaklah kata orang tua, selalu menolak tawaran untuk
bersilaturahim. “Tapi ini seorang cewek!” batinku. Tetapi kemudian, orangtuanya
memanggil, “Mari Nak, ini rumahku!” ujarnya. Begitu tiba, aku kaget setengah
mati, ternyata ini Om yang pernah mengundang aku di sebuah desa, untuk
memberikan cerama terkait pemanfaatan potensi lokal. “Lho, kenapa di sini,
padahal sebelumnya di sebelah laut sana?“ tanyaku membuka percakapan. Dengan
senyum, om tadi menjawab, “Kami pindah mengikuti keinginan adikmu ini, dia mau
kuliah di kota ini.
Dalam waktu singkat, cewek manis yang
mengundang aku tadi, menyilakan kopi secangkir Wuah… manisnya, semanis
orangnya. Tapi, tidak ada pangahanya (= kue ala Bima: Pangaha Bunga,
Pangaha Sinci) seperti kue produksi dari Sila di Kecamatan Bolo, yang
gurih dan enak dimakan. Entahlah, apakah persiapannya sudah habis atau memang,
sengaja Om tadi yang langsung ke rumah sebelah lalu dengan memanfaatkan bahasa
daerahnya, menyuruh anaknya yang manis ini, mengubah keinginanku. Sebab, aku
yakin selama aku bersilaraturahim, di mana saja di Bima, maka pangaha angka
delapan-lah yang selalu hadir. Tapi saat ini. tiba-tiba cewek manis ini,
hidangkan kripik pisang yang gurih
Aku melirik gadis manis di depanku. Hanya sebentar, tapi menentukan, dia tersenyum bagai terpasang di bibir tipisnya. Haem... ada apa ya? Oi..., ini tentunya, yang sering aku diskusikan bersama Om kali lalu itu. Alhasil, simpulannya, ”Daerah punya potensi tapi tak punya kreatifitas, terutama terkait pisang yang buahnya nyaris dibuang saja kalau sdh masak, karena terlalu banyak buahnya di kebun. Artinya, buah pisang tidak pernah diolah dalam bentuk lain. Seperti saat ini, gadis manis di depanku menyilakan aku untuk minum kopi beserta kripik pisang. Padahal setahu ku, kripik pisang ini, didatangkan dari Jawa Timur atau dari Makasar? Nah, kini, di depanku kripik pisang, yang kutahu, harganya, Rp.5.000./bungkusnya dan dikirim dari Jawa lagi, jauh sekali. Lalu, tiba-tiba, aku terdiam sebentar. Dan gadis manis depanku sepertinya sedang mengamati tingkahku rada aneh. Tetapi ketika aku menatapnya, kembali ia pasang senyum. Manis sekali.
"Ada, apa Abang?" tanyanya
dengan bernada lembut, tak mau hilangkan senyumnya dari bibir tipisnya.
"Tidak juga!" potongku.
"Tidak apanya Abang?"
sambungnya seakan –akan menunggu jawabanku.
“Suaramu yang lembut itu, Dik!” Kini
aku mulai menggali dirinya. Apakah, kue kripik pisang ini, dari Jawa atau
dari Makasar. Dan untuk itu, kutanya dia, ”Dik, kripik pisang ini didatangkan
dari Jawa? Atau dari Kota Makasar? Yang ditanya, malah bertanya balik, ”Abang,
tidak enakkah kripik pisang itu?"
“Oh, bukan, Dik! Malah, setelah
dicicipi, enaknya bukan main!” uraiku singkat.
"Kue ala Bima–nya habis,
Abang!" sambungnya.
"Kue angka delapan dari Sila itu,
maksudnya?" tanyaku.
“Iya, kebetulan habis terjual di kios,
Abang!” potongnya sembari menambahkan, "Mengapa kripik pisang yang kusediakan
itu, tidak baikkah?"
Oh, bukan, malah tanpa kue pun, Abang
senang ko, berbincang-ria dengan, Dik. “Kamu manis!” pujiku ikhlas.
Mendengar pujian ini, dia tidak
menjawab, tapi senyumnya selalu saja terpasang indah di bibirnya. Iya,
sepertinya, senyum itu tidak pernah hilang dari dirinya.
Ohya, aku ingat, waktu aku berceramah
tentang pisang di desamu dulu, kamu ada ya? “Iya, Abang, akulah yang bertanya
pada waktu itu, terkait bagaimana mengolah pisang yang banyak itu menjadi kue,
hehehehe…, selain keperluan sendiri juga dijual ke daerah lain.
“Wuah, ternyata, tidak pernah lupa
dengan apa yang kita diskusikan panjang lebar setahun lalu itu?" pujiku.
Dan kali ini, dia sepertinya senang sekali dengan dialog-ria ini. Lalu, kuamati
lagi wajahnya. Semakin diamati, semakin dia jua mengamati aku. Tetapi tentu
tidak pernah bertemu caranya. Hanya, ujungnya, selalu bertemu, di mana, dia
mulai pasang senyum dan manisnya, aduhai. Ohya, kripik pisang ini, kamu beli
dari luar, ya?” tanyaku.
Dia, pasang senyum. Dan hanya senyum
yang dia tampilkan. Sedangkan pertanyaanku terkait dengan kripik pisang ini,
dia seolah-olah enggan untuk menjawabnya. Karena hanya tersenyum, aku menjawab
sendiri. Kripik pisang ini dari Jawa Timur, Dik.
Tapi, pisangnya didatangkan dari
kampungku. Juga dari kampung asal, Dik. Sayangnya, mereka di sana, tidak
mengolahnya, jadi kripik pisang. Betul-betul hanya untuk dimakan kalau sudah
masak dan kalau belum masak, cukup direbus saja. Dibuat ke dalam bentuk lain,
mereka tidak mampu. Ini disadari, SDM kita belum mampu mengolahnya ke dalam
bentuk lain seperti bentuk kripik ini.
“Iya, betul, kondisi SDM di daerah
kita, belum sampai di situ, Abang”, jawabnya dengan selalu pasang senyum. Iya,
mereka ambil di daerah kita. Lalu diolah di Jawa atau di Makasar. Kemudian
dijual lagi pada kita. “Bukan hanya pisang, Abang. Termasuk biji jambu mente
itu, mereka olah, lalu dijual lagi kepada kita!” sambungnya. “Kemiri juga, Dik,
warga kita belum mampu mengolahnya menjadi minyak kemiri!”
Ia mengangguk sembari menambahkan,
”Moga aja pemerintah melihatnya sekaligus mencari langkah praktis permasalahan
yang ada di daerah kita, Abang!”
“Mudah-mudahan para calon Walikota,
calon Bupati, calon Gubernur dapat menciptakan peluang bagi pengembangan usaha
keripik pisang, jambu mente, kemiri dan potensi lainya demi kemaslahan ummat,”
sambungku.
Aku agak geram juga, Dik! Gimana tidak
gerem, pisang di kampungku begitu banyak tapi tak ada yang mengolahnya untuk
dijual. Kecuali jual per sisir. Itu pun harganya tidak lebih dari seribu /
sisir, bahkan kalau diminta, iya diberi aja. Lihat saja setiap hari mereka
membawa pisang kita itu ke Jawa untuk diolah, dan sebentar lagi, jadi kripik
pisang.
Sekali lagi, aku menunggu komentarnya.
Sayang sekali, sekali lagi, dia hanya tersenyum. “Apakah aku salah berbicara,
atau?” bisik hatiku. Tetapi kemudian, dia persilakan untuk mencicipi kripik
pisang yang sejak tadi, masih utuh di depanku.
Silakan dicicipi, Abang!"
pintanya.
“Iya, Dik!” jawabku, tetapi belum
mengambilnya.
“Abang, ini, bukan mereka yang olah
jadi kripik pisang!"
"Lalu, siapa yang
mengolahnya?" tanyaku terkejut.
Dia, kembali tersenyum. Dan kali ini
senyumnya cukup panjang. Lalu, dengan cepat dia mengangkat sebungkus kripik
pisang yang ada di sampingnya. Dia perlihatkan di depan mataku.
"Lihat, Abang! Kripik pisang ini, bukan didatangkan dari luar, apalagi
dari Jawa atau Makasar!" Tetapi….
"Lalu, siapa yang buat?"
"Siapa lagi kalau bukan, aku yang
buat Abang?"kembali ia pasang senyum.
Tetapi kemudian, tiba-tiba tersdengar
suara lantang, "Ka, semuanya sudah laku!" jawab seorang gadis cilik
datang terburu-buru, yang ternyata, adalah adik kandungnya.
"Laku apa adik?, tanyaku
kepadanya.
"Kripik pisang buatan Kak Nur
Layly tadi pagi, Abang!" balasnya.
"Nah, itu dia, Abang, makanya
jangan selalu berpikir bahwa kripik pisang didatangkan dari Jawa atau Makasar.
Seakan-akan hanya orang Jawa atau Makasar saja yang bisa.Lalu kita di Bima
tidak. Bima bisa juga ko Abang!" jelasnya penuh semangat. Dan aku
manggut-manggut, ternyata mereka diam-diam mengaplikasikan diskusi setahun lalu
itu. ”Luar biasa!” batinku.
"Ayo, silakan dicicipi, Abang. Ini
buatanku!" desisnya sembari menambahkan, “Terimaksih Abang telah
memberikan pencerahan kali lalu itu, sangat berguna, sehingga kini, aku juga
mahir membuat kripik pisang.
Lalu…dia datang mendekat mencium
tanganku, dan tanpa berpikir panjang, kucium testannya, tercium minyak wangi.
Wah… harum sekali. Ini, kulakukan sebagai bukti terimaksihku sekaligus bukti
cintaku, iya… meski akan terganggu sebentar terutama pikiranku, tapi aku
berusaha untuk sembunyikan, karena itu, ujungnya tetap bermuara pada
pokok persoalan kripik, apa yang kucermahkan kali lalu, ada hasilnya.
“Nur Layly, kamu hebat!” pujiku.
Kembali dia pasang senyum,”Abang yang
paling hebat ko!” pujinya balik sembari menambahkan, “Jangan kapok datang di
sini, Abang!,”. (*)