Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

SASTRA : Kripik Pisang, Awal Cintaku Berlabuh

16 Februari 2013 | Sabtu, Februari 16, 2013 WIB Last Updated 2013-02-16T03:55:48Z


Oleh Usman D.Ganggang *)
SENJA sudah datang lagi. Itu artinya, sebentar malam kian merentang panjang. Seperti biasa, menunggu malam terentang, aku mengitari kotaku. Dan tibalah aku di sebuah lorong yang sering aku lalui. Lorong ini, rupanya punya magnet. Bagaimana tidak, meski aku ke Utara atau ke Selatan, atau sebaliknya ke Barat atau ke Timur, pada akhirnya akan tiba juga di sini. Iya, apalagi ketika lewat, selalu saja disuit-suit seorang cewek manis. Yang usianya, kutaksir, belum lewat 17 tahun. Iya. setiap kali aku lewat, selalu saja diundang untuk singgah di rumahnya yang terbilang cukup mega itu.

Dan kali ini, tiba – tiba saja, aku mau singgah. Iya, tak enaklah kata orang tua, selalu menolak tawaran untuk bersilaturahim. “Tapi ini seorang cewek!” batinku. Tetapi kemudian, orangtuanya memanggil, “Mari Nak, ini rumahku!” ujarnya. Begitu tiba, aku kaget setengah mati, ternyata ini Om yang pernah mengundang aku di sebuah desa, untuk memberikan cerama terkait pemanfaatan potensi lokal. “Lho, kenapa di sini, padahal sebelumnya di sebelah laut sana?“ tanyaku membuka percakapan. Dengan senyum, om tadi menjawab, “Kami pindah mengikuti keinginan adikmu ini, dia mau kuliah di kota ini.
Dalam waktu singkat, cewek manis yang mengundang aku tadi, menyilakan kopi secangkir Wuah… manisnya, semanis orangnya.  Tapi, tidak ada pangahanya (= kue ala Bima: Pangaha Bunga, Pangaha Sinci) seperti kue produksi  dari Sila di Kecamatan Bolo, yang gurih dan enak dimakan. Entahlah, apakah persiapannya sudah habis atau memang, sengaja Om tadi yang langsung ke rumah sebelah lalu dengan memanfaatkan bahasa daerahnya, menyuruh anaknya yang manis ini, mengubah keinginanku. Sebab, aku yakin selama aku bersilaraturahim, di mana saja di Bima, maka pangaha angka delapan-lah yang selalu hadir. Tapi saat ini. tiba-tiba cewek manis ini, hidangkan kripik pisang yang gurih

Aku melirik gadis manis di depanku. Hanya sebentar, tapi menentukan, dia tersenyum bagai terpasang di bibir tipisnya. Haem... ada apa ya? Oi..., ini tentunya, yang sering aku diskusikan bersama Om kali lalu itu. Alhasil, simpulannya, ”Daerah punya potensi tapi tak punya kreatifitas, terutama terkait pisang yang buahnya nyaris dibuang saja kalau sdh masak, karena terlalu banyak buahnya di kebun. Artinya, buah pisang tidak pernah diolah dalam bentuk lain. Seperti saat ini, gadis manis di depanku menyilakan aku untuk minum kopi beserta kripik pisang.  Padahal setahu ku, kripik pisang ini, didatangkan dari Jawa Timur atau dari Makasar? Nah, kini, di depanku kripik pisang, yang kutahu, harganya, Rp.5.000./bungkusnya dan dikirim dari Jawa lagi, jauh sekali. Lalu, tiba-tiba, aku terdiam sebentar. Dan gadis manis depanku sepertinya sedang mengamati tingkahku rada aneh. Tetapi ketika aku menatapnya, kembali ia pasang senyum. Manis sekali.
"Ada, apa Abang?" tanyanya dengan bernada lembut, tak mau hilangkan senyumnya dari bibir tipisnya.
"Tidak juga!" potongku.
"Tidak apanya Abang?" sambungnya seakan –akan menunggu jawabanku.
“Suaramu yang lembut itu, Dik!” Kini aku mulai menggali dirinya.  Apakah, kue kripik pisang ini, dari Jawa atau dari Makasar. Dan untuk itu, kutanya dia, ”Dik, kripik pisang ini didatangkan dari Jawa? Atau dari Kota Makasar? Yang ditanya, malah bertanya balik, ”Abang, tidak enakkah kripik pisang itu?"
“Oh, bukan, Dik! Malah, setelah dicicipi, enaknya bukan main!” uraiku singkat.
"Kue ala Bima–nya habis, Abang!" sambungnya.
"Kue angka delapan dari Sila itu, maksudnya?" tanyaku.
“Iya, kebetulan habis terjual di kios, Abang!” potongnya sembari menambahkan, "Mengapa kripik pisang yang kusediakan itu, tidak baikkah?"
Oh, bukan, malah tanpa kue pun, Abang senang ko, berbincang-ria dengan, Dik. “Kamu manis!” pujiku ikhlas.
Mendengar pujian ini, dia tidak menjawab, tapi senyumnya selalu saja terpasang indah di bibirnya. Iya, sepertinya, senyum itu tidak pernah hilang dari dirinya.
Ohya, aku ingat, waktu aku berceramah tentang pisang di desamu dulu, kamu ada ya? “Iya, Abang, akulah yang bertanya pada waktu itu, terkait bagaimana mengolah pisang yang banyak itu menjadi kue, hehehehe…, selain keperluan sendiri juga dijual ke daerah lain.
“Wuah, ternyata, tidak pernah lupa dengan apa yang kita diskusikan panjang lebar setahun lalu itu?" pujiku. Dan kali ini, dia sepertinya senang sekali dengan dialog-ria ini. Lalu, kuamati lagi wajahnya. Semakin diamati, semakin dia jua mengamati aku. Tetapi tentu tidak pernah bertemu caranya. Hanya, ujungnya, selalu bertemu, di mana, dia mulai pasang senyum dan manisnya, aduhai. Ohya, kripik pisang ini, kamu beli dari luar, ya?” tanyaku.
Dia, pasang senyum. Dan hanya senyum yang dia tampilkan. Sedangkan pertanyaanku terkait dengan kripik pisang ini, dia seolah-olah enggan untuk menjawabnya. Karena hanya tersenyum, aku menjawab sendiri. Kripik pisang ini dari Jawa Timur, Dik.
Tapi, pisangnya didatangkan dari kampungku. Juga dari kampung asal, Dik. Sayangnya, mereka di sana, tidak  mengolahnya, jadi kripik pisang. Betul-betul hanya untuk dimakan kalau sudah masak dan kalau belum masak, cukup direbus saja. Dibuat ke dalam bentuk lain, mereka tidak mampu. Ini disadari, SDM kita belum mampu mengolahnya ke dalam bentuk lain seperti bentuk kripik ini.
“Iya, betul, kondisi SDM di daerah kita, belum sampai di situ, Abang”, jawabnya dengan selalu pasang senyum. Iya, mereka ambil di daerah kita. Lalu diolah di Jawa atau di Makasar. Kemudian dijual lagi pada kita. “Bukan hanya pisang, Abang. Termasuk biji jambu mente itu, mereka olah, lalu dijual lagi kepada kita!” sambungnya. “Kemiri juga, Dik, warga kita belum mampu mengolahnya menjadi minyak kemiri!”
Ia mengangguk sembari menambahkan, ”Moga aja pemerintah melihatnya sekaligus mencari langkah praktis permasalahan yang ada di daerah kita, Abang!”
“Mudah-mudahan para calon Walikota, calon Bupati, calon Gubernur dapat menciptakan peluang bagi pengembangan usaha keripik pisang, jambu mente, kemiri dan potensi lainya demi kemaslahan ummat,” sambungku.
Aku agak geram juga, Dik! Gimana tidak gerem, pisang di kampungku begitu banyak tapi tak ada yang mengolahnya untuk dijual. Kecuali jual per sisir. Itu pun harganya tidak lebih dari seribu / sisir, bahkan kalau diminta, iya diberi aja. Lihat saja setiap hari mereka membawa pisang kita itu ke Jawa untuk diolah, dan sebentar lagi, jadi kripik pisang.
Sekali lagi, aku menunggu komentarnya. Sayang sekali, sekali lagi, dia hanya tersenyum. “Apakah aku salah berbicara, atau?” bisik hatiku. Tetapi kemudian, dia persilakan untuk mencicipi kripik pisang yang sejak tadi, masih utuh di depanku.
Silakan dicicipi, Abang!" pintanya.
“Iya, Dik!” jawabku, tetapi belum mengambilnya.
“Abang, ini, bukan mereka yang olah jadi kripik pisang!"
"Lalu, siapa yang mengolahnya?" tanyaku terkejut.
Dia, kembali tersenyum. Dan kali ini senyumnya cukup panjang. Lalu, dengan cepat dia mengangkat sebungkus kripik pisang yang ada di sampingnya. Dia  perlihatkan di depan mataku. "Lihat, Abang! Kripik pisang ini, bukan didatangkan dari luar, apalagi dari Jawa atau Makasar!" Tetapi….
"Lalu, siapa yang buat?"
"Siapa lagi kalau bukan, aku yang buat Abang?"kembali ia pasang senyum.
Tetapi kemudian, tiba-tiba tersdengar suara lantang, "Ka, semuanya sudah laku!" jawab seorang gadis cilik datang terburu-buru, yang ternyata, adalah adik kandungnya.
"Laku apa adik?, tanyaku kepadanya.
"Kripik pisang buatan Kak Nur Layly tadi pagi, Abang!" balasnya.
"Nah, itu dia, Abang, makanya jangan selalu berpikir bahwa kripik pisang didatangkan dari Jawa atau Makasar. Seakan-akan hanya orang Jawa atau Makasar saja yang bisa.Lalu kita di Bima tidak. Bima bisa juga ko Abang!" jelasnya penuh semangat. Dan aku manggut-manggut, ternyata mereka diam-diam mengaplikasikan diskusi setahun lalu itu. ”Luar biasa!” batinku.
"Ayo, silakan dicicipi, Abang. Ini buatanku!" desisnya sembari menambahkan, “Terimaksih Abang telah memberikan pencerahan kali lalu itu, sangat berguna, sehingga kini, aku juga mahir membuat kripik pisang.
Lalu…dia datang mendekat mencium tanganku, dan tanpa berpikir panjang, kucium testannya, tercium minyak wangi. Wah… harum sekali. Ini, kulakukan sebagai bukti terimaksihku sekaligus bukti cintaku, iya… meski akan terganggu sebentar terutama pikiranku, tapi aku berusaha  untuk sembunyikan, karena itu, ujungnya tetap bermuara pada pokok persoalan kripik,  apa yang kucermahkan kali lalu, ada hasilnya. “Nur Layly, kamu hebat!” pujiku.
Kembali dia pasang senyum,”Abang yang paling hebat ko!” pujinya balik sembari menambahkan, “Jangan kapok datang di sini, Abang!,”. (*)
×
Berita Terbaru Update