Bima, (SM).-
Amanat UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan
wajib melibatkan masyarakat dalam perumusan rancangan dan penetapan Standar
Pelayanan (SP). Tujuannya, menyelaraskan kemampuan penyelenggara pelayanan
dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat dan kondisi lingkungannya.
Dermikian
ditegaskan Ismiyarto SH, M.Si selaku Kepala Bidang Pelayanan Hukum dan Keamanan
Kemen PAN dan Reformasi Birokrasi RI dalam Seminar dan Lokakarya Implementasi
UU Pelayanan Publik dengan tema penguatan partisipasi warga, yang digelar
Perkumpulan Solud Bima bersama Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3),
didukung Pemkab Bima dan AusAID, Rabu (6/2) di Hotel Marina, Kota Bima.
Dijelaskannya,
pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait tentunya dilakukan dengan pedoman
tertentu yang diatur dalam peraturan pemerintah. Kemudian, penyelenggara harus
menyusun, menetapkan dan menerapkan SP paling lambat 6 bulan setelah Peraturan
Pemerintah (PP) mengenai pedoman penyusunan SP diundangkan.
Kata dia,
kini PP nomor 69 tahun 2012 sudah ditetapkan Oktober 2012, artinya tinggal
beberapa bulan lagi, SP tersebut harus ditetapkan. Bagi penyelenggara yang
telah memiliki standar wajib menyesuaikan dalam waktu 6 bulan setelah PP
disahkan. Sedangkan penyelenggara yang baru dibentuk, wajib menetapkan dan
menerapkan SP dalam waktu 6 bulan setelah dibentuk.
“Bila
penyelenggara yang tidak menyusun dan menetapkan SP akan dikenakan sanksi
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan bila tidak
mengikutsertakan masyarakat dalam penyusunannya, dikenakan sanksi pembebasan
dari jabatan. Pemberlakuan UU 25 dan PP 96 tahun 2012 ini agak ekstrim,”
ungkapnya.
Ia menambahkan, penyelenggara layanan dapat menyediakan
layanan berjenjang secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan SP serta
peraturan perundang-undangan. Maksudnya, pelayanan bertingkat yang didasarkan
pada kelas-kelas pelayanan dengan memperharikan prinsip keadilan,
proporsionalitas dan tidak diskriminatif.
Adhar Hakim, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Povinsi NTB
yang memaparkan materi Pelayanan Publik, Mal Aministrasi, dan konsep good
governance mengawali dengan mengenalkan Ombudsman sebagai lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. Penyelenggaraan
dimaksud yang dilaksanakan oleh BUMN, BUMD termasuk swasta atau perseorangan
yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Menurut Adhar, kesalahan atau penyimpangan administrasi
berawal dari budaya orde baru. Karena itu ekologi tata pemerintahan yang baik
(good governence) pada sisi negara, masyarakat sipil dan pasar. Ketiga unsur
ini harus sama-sama kuat dalam menegakkan prinsip tata pemerintahan yang baik
mencakup akuntabilitas, partisipasi dan transparansi. Maraknya kasus korupsi
dan penyimpangan karena selama ini hanya menitikberatkan pada aspek penindakan,
padahal aspek penting yang harus dilakukan adalah pentingnya pencegahan
pentimpangan merupakan persoalan fundamental yang haru diselesaikan. “Inilah
yang mendasari dibentuknya lembaga negara yang mempunyai tugas dan wewenang
dalan pencegahan sehingga dibentuk Ombudsman
RI mengacu pada UU nomor 37 tahun
2008,” jelasnya.
Adhar selanjutnya memaparkan, kendala dasar dalam pelayanan
publik antara lain kurangnya sosialisasi peraturan, rendahnya kinerja pegawai,
penempatan pegawai yang kurang tepat, menjamurnya praktek KKN, maraknya suap
dan atau gratifikasi serta kurangnya komitmen penyelenggara negara. (ris/sam)