Bima, (SM).- Turunnya Komnas HAM
di Bima-Dompu, merupakan indikasi awal adanya pelanggaran HAM. Dalam kasus
penindakan terorisme di Bima-Dompu, berdasarkan investigasi TPFR Bima beberapa
waktu lalu telah menyimpulkan adanya ketidakakuratan data Densus 88 yang
berakibat terbunuhnya seorang warga lokal Bima, Bahtiar Abdullah (34), yang
dituduh Densus 88 merupakan pelarian dari Poso.
Ketua Tim Pencari Fakta dan
Rehabilitasi (TPFR) Bima, Hadi Santoso,ST,MM dalam siaran persnya, Jum’at
kemarin mengatakan, data-data valid yang membuktikan Bahtiar Abdullah (alm)
tidak pernah ke Poso, dan data lainnya telah disampaikan secara resmi pada Team
Komnas HAM yang turun di Bima-Dompu (14/02/13).
Menurutnya, selama berada di
Bima-Dompu, TPFR dipercaya oleh Komnas HAM bersama-sama menyusun schedule
investigasi dan turun langsung kelapangan dan menemui saksi-saksi. Investigasi
bersama Komnas HAM membuat TPFR mampu lebih optimal, yang pada akhirnya
menemukan kejanggalan dan ketidakakuratan pihak Densus 88.
Kejanggalan dimaksud, antara lain
tentang data pelarian Poso yang sebelumnya diklaim Densus ada 7 orang, ternyata
pada akhirnya hanya mampu menunjukkan 6 orang yang terindikasi dari Poso.
Secara lugas pihak kepolisian bahkan mengatakan, "data kami kan bisa saja
salah." “Jika kesalahan ini menyangkut hitungan angka biasa, tidak
masalah. Sayangnya, ini adalah menyangkut nyawa manusia yang bisa sangat fatal
akibatnya,” urainya.
Kemudian, semakin terbukti berbagai
bentuk intimidasi secara langsung maupun tidak langsung kepada lembaga-lembaga
Islam dan masyarakat di wilayah Bima-Dompu, yang diduga dilakukan oknum Densus
dan aparat lainnya. Ketiga, adanya indikasi kuat kekejaman dan rekayasa yang
luar biasa yang dilakukan Densus 88 pada saat pembunuhan sdr Bahtiar Abdullah
di Manggenae Dompu (4/1/13).
Karena itu TPFR Bima akan melakukan
atau menghimbau, menunggu hasil finalisasi dari Team Komnas HAM, untuk
selanjutnya akan melakukan tindakan yang diperlukan, atas adanya indikasi kuat
ketidakprofesionalan, rekayasa data, dan kekejaman luar biasa dari pihak Densus
88.
Hadi meminta agar kedatangan dan hasil
dari Komnas HAM ini menjadi momentum bagi masyarakat Bima-Dompu, untuk lebih
jeli dalam menyikapi setiap kejadian yang ada. Jangan percaya begitu saja pada
klaim-klaim yang dilakukan pihak luar yang tidak bertanggung jawab yang
didasari kepentingan proyek dan kapitalisme global.
Selanjutnya, meminta kepada masyarakat
Bima yang pernah merasakan kedzaliman atau intimidasi dari oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab untuk melaporkan hal tersebut kepada Komnas HAM melalui
fasilitasi TPFR Bima, meminta kepada para korban tindakan kesewangan Densus 88
atau pihak tertentu untuk membuat testimoni tertulis agat selanjutnya dikirim
kepada Komnas HAM atau TPFR Bima.
Dan terakhir, meminta pada seluruh
komponen masyarakat Bima-Dompu untuk lebih menguatkan tali silaturrahim demi
mendeteksi dini adanya berbagai bentuk rekayasa yang menjadikan masyarakat
Bima-Dompu sebagai "kambing hitam". “Semoga Allah SWT selalu
memberikan basyiroh (kepekaan hati) untuk membedakan kebenaran dan kebathilan,”
pintamya. (sam)