Bima, (SM).- Surat Keputusan (SK) Gubernur NTB nomor
676 Tahun 2012 tentang penugasan Wakil Bupati Bima untuk melaksanakan tugas dan
wewenang Bupati Bima yang berlaku sejak 8 Desember dan ditetapkan pada 19
Desember 2012 ditandantangani TGH Zainul Mazdi MZ, menuai pertanyaan anggota
DPRD Kabupaten Bima.
Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Bima, Wahyuddin S.Ag, meski
secara tegas mengesampingkan nuansa politik yang tersirat dari lahir dan
dikeluarkannya SK 676 itu, namun secara normartif seperti ingin membedah esensi
lahirnya SK Gubernur dimaksud. Di ruang Komisi I, Senin (7/01) kemarin, Wahyu,
merasa heran dan mempertanyakan konsideran lahirnya SK yang dinilainya banyak
menimbulkan pertanyaan dan cenderung sebagai sebuah SK yang rancu dan
diragukan.
Misalnya (menganalisa isi konsideran SK Gubernur), dalam
konsideran mengingat poin b pasal 26 (1) huruf g terkait tugas, melaksanakan
tugas kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. Isi konsideran tersebut,
debatnya, sepotong dan terpotong. Mestinya kata dia dikonsideran mengingat
sebagaimana dimaksud, harus dilengkapi dan dijelaskan berhalangan dalam bentuk
apa. Sebabnya, dalam UU otonomi daerah (tidak disebutkan UU nomor berapa)
kepala daerah berhalangan dan diwenangkan pada pejabat lainnya, termaktub
berhalangan, mulai dari meninggal dunia, mengundurkan diri, dan atau tersangkut
masalah hukum dan lain sebagainya bentuk halangan. “Dikonsideran itu tidak
secara tegas dibunyikan kepela daerah berhalangan karena sakit hingga tidak
bisa menjalankan roda pemerintahan. Berhalangan dalam bentuk apa,“ tanyanya.
Belum lagi, jelasnya, dalam konsideran SK Gubernur 676 itu,
dasar hukum pasal 26 (1) huruf g pada UU apa atau PP berapa atau aturan hukum
mana. Artinya kesan yang muncul dari SK Gubernur yang dikelurkan sebagai dasar
menjadikan Wakil Bupati Bima sebagai Plt Bupati untuk melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana tupoksi kepala daerah, tidak dirinci secara seksama.
Yang lebih ironis lagi atas lahirnya SK 676 itu, kata duta
partai Golkar tersebut, mulai diberlakukan sejak 8 Desember atau bertepatan
dengan Bupati mulai dirawat di RS Harapan Kita Jakarta. Lalu ditetapkan pada 19
Desember 2012 yang ditandatangani Guberrnur NTB. Kemudian isi keputusan SK 676
yang menyatakan menugaskan Wakil Bupati Bima untuk melaksanakan tugas dan
wewenang Bupati Bima sampai kondisi Bupati Bima dimungkinkan melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya. “Apakah ada dalam UU berhalangan karena sakit, lalu dilimpahkan
kewenangan yang melekat pada kepala daerah dimaksud,“ ujarnya.
Pemerintah Propinsi selaku yang berwenang sebagaimana
dimanatkan UU pula, tanyanya, dasar dan kajian apa secepat itu dilahirkan SK
gubernur tentang Plt. Padahal faktanya, Bupati Bima baru dirawat karena kondisi
kesehatan tidak bagus tidak lebih dari sebulan. Aturan yang mengamanatkan
pemeintah Propinsi (gubernur) seperti itu diakuinya memang iya. Tetapi keputusan
yang dikeluarkan dalam bentuk SK dimaksud, mestinya berdasarkan fakta. “Kalau
berhalangan karena sakit, apa ada aturan yang mengamanatkan seperti itu untuk dilimpahkan
tugas dan wewenang,“ herannya.
Atas kerancuan dan bentuk SK yang cenderung tidak berdasar
dan banyak menimbulkan persepsi berberda tersebut, Wahyu, meminta pimpinan DPRD
Kabupaten Bima berikut Komisi I yang membidangi hukum dan perundang-udangan,
untuk sesegera mungkin mendatangi pemerintah Propinsi dalam rangka
mengklarifikasi isi SK 676 tersebut. “Biar tidak terjadi polemik yang meluas,
mesti pimpinan segera mengklafirikasi,“ desaknya.
Terpisah Sekda Propinsi NTB, Muhammad Nur, yang
dikonfirmasi via seluler justeru menanggapi dingin atas dikelurkannya SK
Gubernur bernomor 676 itu. Singkatnya seakan enggan menjawab secara gambalang,
pemerintah selalu bekerja dan memutuskan sesuatu berdasarkan aturan. Dirinya
mengelak untuk menjawab secara terbuka apa dasar sesungguhnya dikelurkan SK
dimaksud. Alasannya tensi politik di Bima sangat tinggi. “Kalau mau secara
jelas datang aja ke sini (Mataram),“ singkatnya sembari menutup komunikasi via
seluler itu. (ris)