Bima, (SM).- Polemik yang berkepanjangan yang begitu
membias di masyarakat atas diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur NTB nomor
676 tahun 2012 tentang pelimpahan sementara tugas dan wewenang Bupati Bima pada
Wakil Bupati Bima untuk menjalankan roda pemerintahan setempat sampai Bupati
Bima sembuh dari sakit, akhirnya berujung pula pada pertemuan dua pemerintahan
yakni eksekutif dan legislatif.
Kamis (10/01) siang, Plt Bupati, Drs H
Syafruddin yang didampingi Asisten I Setda, Drs Abdul Wahab dan aparatur Bagian
Hukum, duduk satu meja dengan DPRD Kabupaten Bima, guna mengklarifikasi
kronologis hingga munculnya SK 676 tersebut. Rapat yang dipimpin Ketua DPRD
Kabupaten Bima, Drs H.Muchdar Arsyad dan dihadiri dua wakilnya selaku unsur
pimpinan berikut puluhan anggota dewan setempat, dilangsungkan di ruang rapat
utama.
Terpantau, mengawali rapat, Ketua dewan
langsung menggarisbawahi ada atau tidaknya SK 676 sama saja. Artinya tidak
berpengaruh pada eskalasi politik yang disalahartikan atau murni untuk
menyelaraskan jalannya roda pemerintahan. Meski demkian kata Muchdar, guna
mendapatkan kejelasan seperti apa duduk permasalahan lahir dan terbitnya SK
Gubernur tersebut, tentu harus diklarikfikasi dan dibicarakan bersama dan perlu
ada jawaban langsung dari eksekutif.
Wabub yang diberi kesempatan penuh untuk
menjelaskan, langsung menjelaskan kronologis terbitnya SK 676. Kata Wabub,
mengingat kondisi Bupati Bima yang masih sakit dan tidak bisa menjalankan tugas
sebagaimana mestinya apalagi pada momentum yang sama pula pengesahan APBD 2013
sangat membutuhkan tandatangan Bupati Bima. Ditambah lagi, massa bhakti beberapa Kepala Desa (Kades)
yang berakhir masa jabatannya dan akan mengikuti pilkades, tentu membutuhkan SK
Bupati yang memberhentikannya. Kemudian mengacu pada pemerintahan yang tidak
boleh fakum, maka perlu dilakukan konsultasi dengan pihak provinsi.
Atas dasar itu jelas Haji Syafru, eksekutif
mengutus Asisten I dan Kabag Hukum Setda untuk berkoordinasi dan berkonsultasi
dengan pihak pemerintah provinsi, guna mendapatkan kejelasan seperti yang
diatur undang-undang. Jawaban pihak propinsi saat itu, jelas Wabub, berdasar
pasal 26 (1) huruf G yang intinya berhalangan dijabarkanlah Bupati berhalangan
sementara dan perlu pelimpahan tugas sementara sampai kondisi bupati dinyatakan
sembuh. Lalu, gubernur selaku yang mewakili pemerintah pusat, memohon pada
pihak RS Jantung Harapan Kita untuk melakukan tindakan medis pada pasien yang
bernama H Ferry Zulkarnaen ST selaku Bupati Bima (pejabat negara) dan hasilnya
oleh pihak rumah sakit merekomendasikan, bahwa sementara ini bupati belum bisa
menjalankan tugas sebagaimana mestinya karena kondisi kesehatan belum pulih.
“Jadi itulah dasar lahirnya SK 676,“ ujarnya sembari mengaku lahirnya SK itu
sebagai amanah yang mesti dijalankannya. Hirarkinya, jabatan Bupati dan Wakil
Bupati sama (satu paket) apa yang dilakukannya tetap atas nama Bupati. Dengan
mengakhiri dan meminta semua yang hadir selalu mendoakan agar bupati cepat
sembuh dan dapat bekerja seperti biasa.
Usai Wabub menjelaskan duduk persoalan
lahirnya SK 676, sejumlah angota dewan yang diberi kesempatan berbicara
menimpali beragam lahirnya SK tersebut. Wahyuddin SAg, misalnya mengaku kecewa
dengan gelaran pertemuan tersebut. Mestinya kata dia, koordinasi dengan
pihaknya seyogyanya dilakukan eksekutif sebelum lahirnya SK, sehingga semua
dapat dibicarakan secara bersama dan tidak menimbulkan polemik dan perbendaan
penafsiran juga analias atas lahirnya SK 676 dimaksud. Wahyu juga mengomnetari
redaksi SK yang dinilainya memang akan berdampak pada perbedaan penafsiran.
Drs M.Sarjan M.Si, malah mempertanyakan
wewenang apa saja yang boleh dibijaki Wabub pasca menerima amanat atas SK
tersebut, “apakah memutasi juga menjadi kewenangan Wabub, singkatnya.
Sementara, H.Mustahid H Kako, malah mempertanyakan kenapa Plt dipersoalkan.
“Itu menjadi hal yang lumrah,“ pungkasnya. Firdaus SH, malah menegaskan jabatan
itu ex oficio.
Sayangnya, setelah ditimpali sejumlah
anggota dewan, Muchdar selaku pimpinan rapat, mengakhiri dengan kalimat semua
harus dimaknai dengan baik. Diakhir rapat, terkesan tidak ada kesimpulan yang
pasti. (ris)