Sejuta
asa di Mada Oi Tampuro begitu menggelitik, seperti harap hamba tertindas saat
menengadah tangan berbalas ingin diperhatikan. Seperti itu munajah warga atas
sejuta potensi yang terpendam di mata air itu. Bukan saja penduduk sekitar yang
meraup rezeki, pemerintah lewat BUMDnya pasti mendulang PAD pada melimpahnya
air terbuang mubazir.
Catatan
Perjalanan Wartawan Suara Mandiri
Tidak
tertata dengan rapi, cenderung terlihat tak terawat beberapa fasilitas,
ditambah lagi harapan masyarakat yang belum terkabulkan hingga kini atas
permintaan pada Pemkab Bima, untuk membuat pondasi pembatas antara laut dengan
sumber air di Mada Oi Tampuro, menjadi potret betapa miris dan tidak
maksimalnya pemerintah untuk menjaga dan memanfaatkan asset potensi sumber daya
alam yang dimiliki.
Jika
saja pemerintah memiliki sense atau naluri mengais rezeki sebagai penambah
devisa dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibalik potensi Mada Oi
Tampuro, dengan memaksimalisasi fungsi dan keberadaan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) semisal PD Wawo, untuk mengelola asset yang ada di lokasi itu, maka ada
banyak pemasukan baru diranah semenanjung utara Sanggar.
Debit
air yang melimpah terbuang percuma, hanya dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk
kebutuhan rumah tangga dalam kapasitas begitu kecil, bila dijadikan potensi air
mineral kemasan produk pemerintah lewat PD Wawo misalnya, guna mengimbangi
kapitalis swasta local yang mulai menggurita dengan menjual produk yang
diragukan kualitasnya, tentu sangat berfaedah dan berdaya guna. Itu baru disatu
sisi.
Sementara
sisi lain, jualan segmen wisata dengan panorama dua dunia baik itu hamparan
perbukitan yang masih asri dan natural yang tak terpisah dengan jejeran pantai
berpasir putih kehitaman mengkilat masih perawan, semestinya acuan
pemerintah ini, untuk mengelola dan memenejemen dengan baik. Mada Oi Tampuro,
dengan cerita sejarah yang menarik berikut potensi melimpah yang terbuang
percuma, pemerintah dapat berbuat banyak untuk mengelolanya. Lalu Pantai yang
terbentang di desa Piong, desa Oi Saro dan desa lainnya sepanjang semenanjung
Sanggar, dengan ombak yang bergelembung layak dijadikan arena Surfing,
sebenarnya tidak kalah dengan yang ada di pantai Lakey Kabupaten Dompu atau
kalau dikelola dengan baik pula tidak beda dengan pantai Senggigi Lombok.
Apakah
sebab jarak tempuh yang terlalu jauh, ratusan lebih kilometer dari ibukota
Kabupaten Bima, hingga membuat pesimis dan tidak bergemingnya pemerintah untuk
menata dan mengelola potensi sumber daya alam Mada Oi Tampuro secara
professional dan berdaya saing dengan lokasi wisata lainnya atau sebagai
penghasil PAD yang menjanjikan. Jika itu menjadi alat ukurnya, sungguh sederhana
cara berpikir pemerintah, menyia-nyiakan panorama yang begitu indah tersebut. (BNQ,
ris, dd)