Oleh: Suhardin, M. Si *)
Masih segar
dalam ingatan kita beberapa pasangan siswa SMA ditangkap oleh petugas trantib
sedang bermesum ria merayakan kelulusan mereka di sejumlah kamar hotel melati
di kota Mataram pasca pengumuman hasil UN beberapa waktu yang lalu. Demikian
juga di kabupaten Dompu, sejumlah siswi ditemukan bersama pria hidung belang di
beberapa kamar sebuah home stay sedang melakukan pesta seks. Berita tentang
tawuran antarpelajar dan berbagai prilaku menyimpang pelajar dari
berbagai kota di Indonesia, menghiasi media elektronik dan media cetak
saat ini. Tidak ketinggalan di Kota Bima tercinta ini, para pelajar dari
beberapa sekolah mulai meniru prilaku tidak terpuji tersebut. Beredarnya
video pengeroyokan siswi oleh beberapa temannya yang terjadi beberapa hari yang
lalu merupakan indikasi yang tidak boleh dianggap remeh oleh kita semua
terutama oleh para orang tua dan guru. Tidak boleh hanya sekedar ungkapan
keprihatinan seperti yang dilakukan oleh para pihak dan tokoh masyarakat di
Koran-koran. Kita harus menilik persoalan ini dengan beberapa pertanyaan
mendasar.
Ada apa
dengan impelementasi kurikulum pendidikan kita saat ini? Bagaiamana dengan pola
asuh orang tua di rumah? Bagaimana dengan pola pembelajaran guru di sekolah?
Seperti apa kultur sekolah yang membentuk kepribadian mereka? Bagaimana dengan
keteladanan yang “dicopy paste” oleh anak-anak kita dari masyarakat sekitarnya?
Apakah pendidikan kita saat ini sudah sangat “keropos”. Apakah siswa kita sudah
kehilangan makna spiritual (spiritual illness) dalam dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus mengispirasi kita semua untuk mencari solusi
cerdas terhadap persoalan ini.
Para pemangku
pendidikan (Stakeholders) seolah terlena dan sangat bangga dengan hasil UN yang
tinggi dan tingkat kelulusan yang hampir seratus persen. Semua menepuk dada,
mengklaim diri berhasil, mulai dari pimpinan daerah, para petinggi pendidikan
sampai tukang sapu di sekolah. Semuanya berkoar-koar bahwa pendidikan kita
sudah bermutu. Seolah-olah parameter keberhasilan pendidikan itu hanya dilihat
dari hasil UN dan persentase kelulusan saja. Cara pandang seperti inilah yang
antara lain berkontribusi secara signifikan terhadap maraknya prilaku
menyimpang dari para pelajar kita. Karena proses pembelajaran menjadi terfokus
pada persiapan menghadapi ulangan dan UN (transfer of knowledge) saja dan
mengabaikan proses internalisasi nilai-nilaipada diri siswa.
Padahal pendidikan
yang bermutu itu apabila bisa menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu warga negara yang unggul secara intelektual, anggun dalam
moral, kompeten dalam IPTEKS, produktif dalam karya, dan memiliki komitmen yang
tinggi untuk berbagai peran sosial, serta berdaya saing tinggi terhadap bangsa
lain di era global. Dengan demikian, pembangunan pendidikan kita perlu
diarahkan pada peningkatan martabat manusia secara holistik dan komprehensif.
Tidak secara parsial dengan penekanan pada aspek akademis saja, tetapi
menyeimbangkan aspek skill (keterampilan), knowledge (pengetahuan), dan
attitude (sikap/prilaku). Dan untuk membangun attitude siswa, perlu
dikembangkan dan disinergikan tiga bentuk kecerdasan sekaligus, yaitu
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
secara proporsional dan terpadu melalui pola pembelajaran yang
terintegrasi.
Pola asuh
orang tua di lingkungan keluarga sangat menentukan kepribadian anak. Karena
pendidikan pertama dan utama berlangsung di lingkungan keluarga. Ini sangat
klise, tapi banyak orang tua yang tidak menyadari hal penting ini, terutama
pada usia 0 – 6 tahun. Para ahli menyebutnya sebagai usia emas (golden age)
karena pada usia ini 80% aspek perkembangan anak berlangsung secara simultan.
Jadi orang tua perlu merangsang perekmbangan anak secara optmal melalui
keteladanan dan pola asuh yang tepat. Pola asuh yang apatis dan otoriter akan
menghambat terciptanya iklim berprestasi bagi anak. Internalisasi nilai-nilai
moral dan agama harus dilakukan sebaik mungkin melalui pola asuh yang
demokratis-religius. Pada usia inilah momen penting bagi orang tua untuk
menentukan buah hatinya apakah akan menjadi ustaz, ilmuwan, cendikiawan, preman
atau narkobais.
Lembaga
pendidikan mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan perguruan
tinggi menjadi tumpuan pembentukan kepribadian anak selanjutnya. Dengan otonomi
sekolah, setiap satuan pendidikan memiliki kewenangan untuk mengembangkan
muatan kurikulumnya dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum yang disesuaikan dengan kekhasan, kondisi, potensi
daerah, kearifan lokal, satuan pendidikan dan peserta didik.
Dalam KTSP, waktu untuk pengembangan diri dan
pembinaan sikap dan karakter siswa disiapkan khusus secara memadai. Secara
konseptual, kurikulum pendidikan sekarang sudah bagus. Apalagi sekarang sudah
ada pendidikan berkarakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Hanya
saja dalam tataran implementasinya, sebagian besar guru masih terperangkap pada
pola belajar-mengajar konvesional yang hanya mentransfer ilmu pengetahuan
berupa teori-teori sebanyak mungkin, dan mengabaikan proses internalisasi
nilai-nilai pada diri siswa, terutama pada satuan pendidikan menengah dan
pergurun tinggi. Padahal kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi bukanlah
jaminan bahwa seseorang juga akan memiliki sikap dan prilaku yang terpuji.
Prilaku menyontek, berkelahi dan perbuatan asusila lainnya kerap dilakukan oleh
para siswa/mahasiswa sebagai akibat dari sistem pendidikan yang mengandalkan
nilai akademis saja dan melupakan nilai moral, agama, dan etika atau menafikan
kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Namun demikian, melimpahkan kesalahan sepenuhnya
kepada para guru juga adalah tidak bijaksana. Karena para petinggi pendidikan
juga kerap kali menerapkan kebijakan yang birokratis dan kaku, seperti menekan
sekolah agar siswanya lulus semua dan mendapat nilai UN yang tinggi. Karena
keberhasilan seorang kepala dinas, kepala sekolah, dan guru cenderung
dilihat dari hasil UN. Akibatnya guru hanya menjejali pikiran siswa dengan
pengetahuan hafalan untuk menghadapi ulangan dan UN saja, dan mengabaikan
penanaman nilai kepada siswa. Sehingga para pelajar kita menjadi krisis
nilai moral dan etika serta kehilangan makna spiritualnya (spiritual patology).
Ini sebenarnya adalah pengingkaran terhadap hakikat pendidikan, yang
mengakibatkan keroposnya konten pendidikan itu sendiri.
Hal
terpenting dari semua itu adalah keteladanan. Orang tua dan seluruh anggota
keluarganya, masyarakat dan seluruh elemennya, kepala sekolah dan seluruh warga
sekolahnya, serta pemerintah dan seluruh aparatnya harus bisa memastikan untuk
memberikan performa keteladanan kepada anak-anak kita. Prilaku menyimpang dari
para pelajar seperti yang tersuguhkan di hadapan kita saat ini adalah karena
sulitnya mereka mencari tokoh panutan dalam keluarganya, sekolahnya, dan
lingkungan bergaulnya, sehingga mereka terpakasa beradaptasi dan mengadopsi
model yang mereka lihat di televisi, internet dan media sosial lainnya. Lalu,
apakah kita menyalahkan teknologi? Wallahualam.
*) Penulis: Wakil Ketua Bidang
Pendidikan DPD KNPI Kota Bima dan Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Bima