Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

OPINI: Pendidikan Kita “Keropos?”

01 Agustus 2012 | Rabu, Agustus 01, 2012 WIB Last Updated 2012-08-01T09:37:57Z

Oleh: Suhardin, M. Si *)
Masih segar dalam ingatan kita beberapa pasangan siswa SMA ditangkap oleh petugas trantib sedang bermesum ria merayakan kelulusan mereka di sejumlah kamar hotel melati di kota Mataram pasca pengumuman hasil UN beberapa waktu yang lalu. Demikian juga di kabupaten Dompu, sejumlah siswi ditemukan bersama pria hidung belang di beberapa kamar sebuah home stay sedang melakukan pesta seks. Berita tentang  tawuran antarpelajar dan berbagai prilaku menyimpang  pelajar dari berbagai kota di Indonesia, menghiasi media elektronik dan media cetak saat ini. Tidak ketinggalan di Kota Bima tercinta ini, para pelajar dari beberapa  sekolah mulai meniru prilaku tidak terpuji tersebut. Beredarnya video pengeroyokan siswi oleh beberapa temannya yang terjadi beberapa hari yang lalu merupakan indikasi yang tidak boleh dianggap remeh oleh kita semua terutama oleh para orang tua dan guru. Tidak boleh hanya sekedar ungkapan keprihatinan seperti yang dilakukan oleh para pihak dan tokoh masyarakat di Koran-koran. Kita harus menilik persoalan ini dengan beberapa pertanyaan mendasar.
Ada apa dengan impelementasi kurikulum pendidikan kita saat ini? Bagaiamana dengan pola asuh orang tua di rumah? Bagaimana dengan pola pembelajaran guru di sekolah? Seperti apa kultur sekolah yang membentuk kepribadian mereka? Bagaimana dengan keteladanan yang “dicopy paste” oleh anak-anak kita dari masyarakat sekitarnya? Apakah pendidikan kita saat ini sudah sangat “keropos”. Apakah siswa kita sudah kehilangan makna spiritual (spiritual illness) dalam dirinya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus mengispirasi kita semua untuk mencari solusi cerdas terhadap persoalan ini.
Para pemangku pendidikan (Stakeholders) seolah terlena dan sangat bangga dengan hasil UN yang tinggi dan tingkat kelulusan yang hampir seratus persen. Semua menepuk dada, mengklaim diri berhasil, mulai dari pimpinan daerah, para petinggi pendidikan sampai tukang sapu di sekolah. Semuanya berkoar-koar bahwa pendidikan kita sudah bermutu. Seolah-olah parameter keberhasilan pendidikan itu hanya dilihat dari hasil UN dan persentase kelulusan saja. Cara pandang seperti inilah yang antara lain berkontribusi secara signifikan terhadap maraknya prilaku menyimpang dari para pelajar kita. Karena proses pembelajaran menjadi terfokus pada persiapan menghadapi ulangan dan UN (transfer of knowledge) saja dan mengabaikan proses internalisasi nilai-nilaipada diri siswa.
Padahal pendidikan yang bermutu  itu apabila bisa menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu warga negara yang unggul secara intelektual, anggun dalam moral, kompeten dalam IPTEKS, produktif dalam karya, dan memiliki komitmen yang tinggi untuk berbagai peran sosial, serta berdaya saing tinggi terhadap bangsa lain di era global. Dengan demikian, pembangunan pendidikan kita perlu diarahkan pada peningkatan martabat manusia secara holistik dan komprehensif. Tidak secara parsial dengan penekanan pada aspek akademis saja, tetapi menyeimbangkan aspek skill (keterampilan), knowledge (pengetahuan), dan attitude (sikap/prilaku). Dan untuk membangun attitude siswa, perlu dikembangkan dan disinergikan tiga bentuk kecerdasan sekaligus, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual  secara proporsional dan terpadu melalui pola pembelajaran yang terintegrasi.
Pola asuh orang tua di lingkungan keluarga sangat menentukan kepribadian anak. Karena pendidikan pertama dan utama berlangsung di lingkungan keluarga. Ini sangat klise, tapi banyak orang tua yang tidak menyadari hal penting ini, terutama pada usia 0 – 6 tahun. Para ahli menyebutnya sebagai usia emas (golden age) karena pada usia ini 80% aspek perkembangan anak berlangsung secara simultan. Jadi orang tua perlu merangsang  perekmbangan anak secara optmal melalui keteladanan dan pola asuh yang tepat. Pola asuh yang apatis dan otoriter akan menghambat terciptanya iklim berprestasi bagi anak. Internalisasi nilai-nilai moral dan agama harus dilakukan sebaik mungkin melalui pola asuh yang demokratis-religius. Pada usia inilah momen penting bagi orang tua untuk menentukan buah hatinya apakah akan menjadi ustaz, ilmuwan, cendikiawan, preman atau narkobais.
Lembaga pendidikan mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan perguruan tinggi menjadi tumpuan pembentukan kepribadian anak selanjutnya. Dengan otonomi sekolah, setiap satuan pendidikan memiliki kewenangan untuk mengembangkan muatan kurikulumnya dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu kurikulum yang disesuaikan  dengan kekhasan, kondisi, potensi daerah, kearifan lokal, satuan pendidikan dan peserta didik.
Dalam KTSP, waktu untuk pengembangan diri dan pembinaan sikap dan karakter siswa disiapkan khusus secara memadai. Secara konseptual, kurikulum pendidikan sekarang sudah bagus. Apalagi sekarang sudah ada pendidikan berkarakter yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Hanya saja dalam tataran implementasinya, sebagian besar guru masih terperangkap pada pola belajar-mengajar konvesional yang hanya  mentransfer ilmu pengetahuan berupa teori-teori sebanyak mungkin, dan mengabaikan proses internalisasi nilai-nilai pada diri siswa, terutama pada satuan pendidikan menengah dan pergurun tinggi. Padahal kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi bukanlah jaminan bahwa seseorang juga akan memiliki sikap dan prilaku yang terpuji. Prilaku menyontek, berkelahi dan perbuatan asusila lainnya kerap dilakukan oleh para siswa/mahasiswa sebagai akibat dari sistem pendidikan yang mengandalkan nilai akademis saja dan melupakan nilai moral, agama, dan etika atau menafikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Namun demikian, melimpahkan kesalahan sepenuhnya kepada para guru juga adalah tidak bijaksana. Karena para petinggi pendidikan juga kerap kali menerapkan kebijakan yang birokratis dan kaku, seperti menekan sekolah agar siswanya lulus semua dan mendapat nilai UN yang tinggi. Karena keberhasilan seorang kepala dinas, kepala sekolah, dan guru  cenderung dilihat dari hasil UN. Akibatnya guru hanya menjejali pikiran siswa dengan pengetahuan hafalan  untuk menghadapi ulangan dan UN saja, dan mengabaikan penanaman nilai kepada siswa.  Sehingga para pelajar kita menjadi krisis nilai moral dan etika serta kehilangan makna spiritualnya (spiritual patology). Ini sebenarnya adalah pengingkaran terhadap hakikat pendidikan, yang mengakibatkan keroposnya konten pendidikan itu sendiri.
Hal terpenting dari semua itu adalah keteladanan. Orang tua dan seluruh anggota keluarganya, masyarakat dan seluruh elemennya, kepala sekolah dan seluruh warga sekolahnya, serta pemerintah dan seluruh aparatnya harus bisa memastikan untuk memberikan performa keteladanan kepada anak-anak kita. Prilaku menyimpang dari para pelajar seperti yang tersuguhkan di hadapan kita saat ini adalah karena sulitnya mereka mencari tokoh panutan dalam keluarganya, sekolahnya, dan lingkungan bergaulnya, sehingga mereka terpakasa beradaptasi dan mengadopsi model yang mereka lihat di televisi, internet dan media sosial lainnya. Lalu, apakah kita menyalahkan teknologi? Wallahualam.
*) Penulis: Wakil Ketua Bidang  Pendidikan DPD KNPI Kota Bima dan Pengurus Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Bima

×
Berita Terbaru Update