Otonomi, Industrialisasi,
Swastanisasi Dan Desentralisasi Kesaksian Yang Membiuskan Sekaligus Mematikan,
Jangan Fikirkan Soal Tanah Alam Raya Ini Sudah Kandung di Bawah Arus,
Pendidikan Saja Kalian di Jual, Sungguh Tertawalah Manusia Gajah-Gajah......
Rusdianto - Jakarta, 2 Agustus
2012
Fenomena otonomi dan
desentralisasi DESA (Deliberatif, Substantif dan Partisipatif) selalu menjadi
kajian para civil society. Intensitas pengkajiannya berada dalam ruang yang
terbatas, karena memang perjalanan otonomi dan desentralisasi belum teruji oleh
transisi globalisasi yang berkekuatan penuh dalam mensentralkan seluruh
kebijakan pembangunan kesejahteraan baik jangka menengah maupun panjang. Namun
kita juga harus melihat fenomena ini secara seksama bahwa realitas desa belum
menampakan elan vitalnya dalam merealisasikan visi kesejahteraan. Tambah lagi,
terbatasnya kemampuan masyarakat mengapresiasikan agenda konkrit dari struktur
kebijakan pemerintahan menata pembangunan. Sehingga benang kusut nasib
masyarakat tidak dapat menjadi starting point dalam meningkatkan laju
pertumbuhan basis ekonomi dan perdagangan desa. Hal ini pokok masalahnya antara
otonomi dan desentralisasi desa maupun benang kusut pembangunan kesejahteraan
yang rupanya mengalami sakit-sakitan karena penyebab utamanya adalah patologi
sosial seperti korupsi, penjarahan dan pengecualian satatus desa.
Sementara arus globalisasi sedang
merambah subur ke desa-desa tanpa ada filterisasi aktif dan efektif sehingga
geliat sosialitas masyarakat terancam hilang dari peredaran humanitasnya yang
selama ini dikenal sebagai ”good social family”. Mengcounterilisasi
derasnya arus dan ombak globalisasi sebenarnya peran dan fungsi pemerintah
dengan memperkuat basis regulasi srategis pembangunan tanpa ada intervensi dari
kekuatan manapun. Mengurai benang kusut pembangunan kesejahteraan itu,
membutuhkan seluruh komponen sakeholders antara pemerintah dan masyarakat
bersifat deliberatif, substantib dan partisipatif agar visi tajam pembangunan
kesejahteraan itu bisa tercapai dalam kerangka aman, tenteram, damai sentosa menuju
desa berkesejahteraan.
Pengaruh sruktural global sangat
bisa merubah tata ruang hidup manusia melalui berbagai kebijakan (regulasi)
yang sifatnya terbuka. Dengan demikian, seluruhnya harus seproduktif-aktif guna
menghasilkan berbagai tahapan realisasi program, sebagaimana sering dikenal
istilah asas otonomi, yakni ”welfare otonomi”. Istilah ini tafsir basis
dari fungsi dan peran dengan membentuk jaringan kerja produksi regulasi (regulation
producion) yang terkonsentrasi pada ”pro poor” atau merakyat melalui
komitmen kontrak sosial bersama (common will of social contrac).
Komitmen merupakan manivestasi untuk meretas jalan kusut otonomisasi
kesejahteraan itu sendiri, bukanlah semata-mata dimaknai untuk kepentingan
golongan maupun kelompok. Mengukur hal tersebut harus mengedepankan regulasi
produktif, aspiratif dan keadilan. Tanpa ketiganya tidak mungkin otonomi itu
nafasnya berjalan dengan baik dan masyarakat pun tidak bisa menghirup udara
segar kesejahteraan. Pengelolaan terhadap kekuatan potensial produktivitas
seperti pajak, retribusi, pungutan, perdagangan dan usaha kecil lainnya harus
berkelindan dan mengikat secara emosional maupun fisik
Satabilitas pembangunan harus
stabil dan dinamis dengan syarat pertumbuhan tinggi, merata dan adil. Tahapan
antisipatif dalam proses pembangunan adalah Pertama; memastikan
stabilitas politik dan keterbukan (transparansi). Kedua;
pengelolaan harus merata. Ketiga; mencegah campur tangan asing. Keempat,
sentralisasi kebijakan dari pusat hingga daerah yang tidak hegemonik oleh
kepentingan politik. Kelima: proses jalur-jalur distributif yang dapat
diakses oleh masyarakat bawah.
Mengurai
Benang Kusut Industrialisasi
Menurut Arya
Hadi Dharmawan (2005) pengalaman sejauh ini menunjukan bahwa sejak reformasi
tata pemerintahan desa dan kabupaten, masih kurang mendaratkan dan mengkaitkan
pada isu-isu hubungan kesejahteraan ekonomi politik desa-kota. Dalam bentang
sejarah lokal misalnya, termasuk modernisasi desa, selalu ditandai oleh bias
sentralisasi. Tentu jauh dari keberpihakan pada desa. Kendapitun kegiatan
eksploitasi atau kapitalisasi memasuki area desa, namun kesemuanya itu hanyalah
menegaskan keyakinan bahwa desa tidak lebih sebagai objek pemanfaatan
sumberdaya alam dan hasilnya (keuntungan) tidak kembali bahkan mengalir ke luar
negeri maupun pengusaha-pengusaha. Dengan kata lain, desa menjadi tempat
eksploitasi yang hingga saat ini terus berlangsung sehingga tidak memperoleh
nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari pipa pemasaran
(marketing pipe) arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks
demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect)
terhadap desa secara sistematis dan hanya mengambil keuntungan dari jasa
distribusi semata. Ditinjau dari kebijakan pembangunan desa tentu bukan
fenomena baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tata kelola desa selama ini
bagian konstruksi revolusi hijau maupun modernisasi desa yang ternyata tanpa
sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi
masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Desa secara kelembagaan tidak
memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam proses investasi ke desa,
dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses
tersebut. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola
industrialisasi desa. Maka yang terjadi adalah indstrialisasi tidak
menguntungkan desa, justru malah menimbulkan kerugian besar bagi desa,
meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan
konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri). Terobosan baru
dengan industrialisasi desa itu, secara ideologis dimaksudkan sebagai bentuk
desentralisasi alat-alat produksi pada rakyat (desa). Peran negara dan
pemerintah (provinsi, kabupaten dan desa) harus bekerjasama melindungi
sumberdaya lokal dengan menjalankan mandat rakyat. Jauh berbeda dengan yang
terjadi saat ini, dimana pemerintah daerah justru dipandu ideologi neoliberal
melakukan eksploitasi sumberdaya lokal, maka otonomi daerah dan desentralisasi
akhirnya terperosok menjadi arena perayaan penindasan pada rakyat (desa). Ini
perlu dijawab oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita memang membutuhkan terobosan
baru paradigma pembangunan alternatif untuk menemukan kembali pilar-pilar pokok
di level lokal dalam menegakan pembangunan kesejahteraan desa.
Basis
Desentralisasi Pembangunan Kesejahteraan Desa
Pandangan banyak ahli maupun pakar otonomi bahwa iklim
perpolitikan membawa arus perubahan paradigma secara dramatical, terkadang baik
dan ada juga musim panas dingin otonomi tersebut. Mengapa terjadi demikian ?,
karena problem besarnya belum maksimal mengangkat derajat ekonomi dan rasa
aman. Bicara fakta kemiskinan, pengangguran dan marginalisasi sangat
sistematis, justru semuanya dilakukan oleh Negara dan pemerintahan. Napak tilas
regulasi peraturan (UU, PP, Pemendagri) masih ragu melakukan pengontrolan dan
tidak banyak sikap berani mendesentralisasikan pembangunan kesejahteraan ke
pedesaan.
Selaras apa yang diungkap Sarbini Sumawinata (2005),
bahwa pedesaan dihadapkan pada persoalan distribusi kesejahteraan, padahal itu
kebutuhan penting sebagai alternatif penguatan desentralisasi bagi desa dengan
intensifikasi pemberdayaan kesejahteraan, lebih mantap lagi jika saja
nasionalisasi—industrialisasi desa. Paradigma industrialisasi desa jalan tengah
perjalanan dan penyelamatan ekspektasi otonomi kesejahteraan sebagai
alternative lain transformasi kesejahteraan desa sehingga basis manfaat
pengelolaan sumberdaya potensial lokal jalan emas dari tidak teruraiannya benang
kusut desentralisasi pembangunan kesejahteraan. Agar hal ihwal upaya membuka
lapangan kerja di pedesaan dapat berjalan secara sustainable dan
menjauhkan desa dari kesenjangan, ketergantungan, dan marginalisasi terhadap
masyarakat. Indusrialisasi pedesaan salsatu sumber kuat pertumbuhan
kesejahteraan yang relevan, merata dan adil ditopang oleh faktor transformasi
realitas politik yang mampu menjawab tuntutan pengurangan kemiskinan dan
mentahbiskan demokratisasi tanpa ada delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat.
Menurut Arya Hadi Dharmawan (2005) bahwa
industrialisasi desa, alternatif memperkuat APBDes dengan memenuhi prinsip
transparansi, akuntabilitas, responsif, dan partisipatif, maupun Alokasi Dana
Desa (ADD), dengan maksud memperlancar demokrasi dan otonomi pembangunan
kesejahteraan desa, mengurangi kemiskinan dan menekan laju urbanisasi. Kedua,
eksistensi desa dalam proses ekonom politik selama ini sangat dipengaruhi
kebijakan pemerintah terlebih juga hubungan antara pembangunan desa dan
perkotaan. Dalam
Begitu juga apa yang disetir oleh Robert H Lauer
(2001) bahwa kemitraan strategis pengembangan desentralisasi kesejahteraan desa
memiliki mekanisme kontrol yang berkelanjutan di segala sektor. Dimensi utama desentralisasi desa yaitu kompetisi, partisipasi, dan
kebebasan masyarakat yang berarti melepas sikap primordialisme yang dapat
menimbulkan penindasan dan kekerasan. Hal ini pasti akan di tandai dengan
partisipasi yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan. Pendekatan desentralisasi desa lebih baik, tetapi tidak berarti pendekatan
ini paling efektif dalam semua kebudayaan atau dalam semua situasi pedesaan.
Dasar pengembangan nilai – nilai desentralisasi dalam sistem demokrasi pada
suatu masyarakat harus dikembalikan pada adat dan agama yang dianut.
Ukuran-ukuran normatif dari pelaksanaan desentralisasi desa adalah partispasi
rakyat dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan, pemilihan umum
(pilkades) yang jujur dan adil, rekrutmen kepemimpinan yang teratur,
penghormatan kepada HAM, kebebasan berbicara dan memiliki pers yang bebas.
Sepakat juga dengan paradigma
yang disampaikan oleh Carold Goul (1988), bahwa desentralisasi deliberatif,
substantif dan partisipatif merupakan tantangan dalamproses demokrasi dan
desentralisasi desa pada masa yang akan datang. Ukuran pelaksanaan
desentralisasi harus ada kompetisi, partisipasi, luas, terbuka, berdaulat,
merdeka secara total, dan menghargai pluralisme masyarakatnya. Dalam semangat
zaman yang terus berubah, agar nilai universal desentralisasi pembangunan
kesejahteraan desa dapat berjalan sinergi, maka harus mengintegrasikan
nilai-nilai lokalitas sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika
desentralisasi dalam merealisasikan kesejahteraan dengan menyuplai informasi
yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom,
dan rasional, dan pelembagaan desentralisasi pembangunan kesejahteraan desa
berlangsung sistematik, konsisten, transparan dan ada kepastian hukum.(*)
Penulis Rusdianto adalah Aktivis DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Periode
2010 – 2012 dan Direktur Eksekutif Shaffan Institute