Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

OPINI: Benang Kusut Pembangunan Kesejahteraan Desa

02 Agustus 2012 | Kamis, Agustus 02, 2012 WIB Last Updated 2012-08-12T08:08:57Z

Otonomi, Industrialisasi, Swastanisasi Dan Desentralisasi Kesaksian Yang Membiuskan Sekaligus Mematikan, Jangan Fikirkan Soal Tanah Alam Raya Ini Sudah Kandung di Bawah Arus, Pendidikan Saja Kalian di Jual, Sungguh Tertawalah Manusia Gajah-Gajah......
Rusdianto - Jakarta, 2 Agustus 2012


Fenomena otonomi dan desentralisasi DESA (Deliberatif, Substantif dan Partisipatif) selalu menjadi kajian para civil society. Intensitas pengkajiannya berada dalam ruang yang terbatas, karena memang perjalanan otonomi dan desentralisasi belum teruji oleh transisi globalisasi yang berkekuatan penuh dalam mensentralkan seluruh kebijakan pembangunan kesejahteraan baik jangka menengah maupun panjang. Namun kita juga harus melihat fenomena ini secara seksama bahwa realitas desa belum menampakan elan vitalnya dalam merealisasikan visi kesejahteraan. Tambah lagi, terbatasnya kemampuan masyarakat mengapresiasikan agenda konkrit dari struktur kebijakan pemerintahan menata pembangunan. Sehingga benang kusut nasib masyarakat tidak dapat menjadi starting point dalam meningkatkan laju pertumbuhan basis ekonomi dan perdagangan desa. Hal ini pokok masalahnya antara otonomi dan desentralisasi desa maupun benang kusut pembangunan kesejahteraan yang rupanya mengalami sakit-sakitan karena penyebab utamanya adalah patologi sosial seperti korupsi, penjarahan dan pengecualian satatus desa.
Sementara arus globalisasi sedang merambah subur ke desa-desa tanpa ada filterisasi aktif dan efektif sehingga geliat sosialitas masyarakat terancam hilang dari peredaran humanitasnya yang selama ini dikenal sebagai ”good social family”. Mengcounterilisasi derasnya arus dan ombak globalisasi sebenarnya peran dan fungsi pemerintah dengan memperkuat basis regulasi srategis pembangunan tanpa ada intervensi dari kekuatan manapun. Mengurai benang kusut pembangunan kesejahteraan itu, membutuhkan seluruh komponen sakeholders antara pemerintah dan masyarakat bersifat deliberatif, substantib dan partisipatif agar visi tajam pembangunan kesejahteraan itu bisa tercapai dalam kerangka aman, tenteram, damai sentosa menuju desa berkesejahteraan.
Pengaruh sruktural global sangat bisa merubah tata ruang hidup manusia melalui berbagai kebijakan (regulasi) yang sifatnya terbuka. Dengan demikian, seluruhnya harus seproduktif-aktif guna menghasilkan berbagai tahapan realisasi program, sebagaimana sering dikenal istilah asas otonomi, yakni ”welfare otonomi”. Istilah ini tafsir basis dari fungsi dan peran dengan membentuk jaringan kerja produksi regulasi (regulation producion) yang terkonsentrasi pada ”pro poor” atau merakyat melalui komitmen kontrak sosial bersama (common will of social contrac). Komitmen merupakan manivestasi untuk meretas jalan kusut otonomisasi kesejahteraan itu sendiri, bukanlah semata-mata dimaknai untuk kepentingan golongan maupun kelompok. Mengukur hal tersebut harus mengedepankan regulasi produktif, aspiratif dan keadilan. Tanpa ketiganya tidak mungkin otonomi itu nafasnya berjalan dengan baik dan masyarakat pun tidak bisa menghirup udara segar kesejahteraan. Pengelolaan terhadap kekuatan potensial produktivitas seperti pajak, retribusi, pungutan, perdagangan dan usaha kecil lainnya harus berkelindan dan mengikat secara emosional maupun fisik
Satabilitas pembangunan harus stabil dan dinamis dengan syarat pertumbuhan tinggi, merata dan adil. Tahapan antisipatif dalam proses pembangunan adalah Pertama; memastikan stabilitas politik dan keterbukan (transparansi). Kedua; pengelolaan harus merata. Ketiga; mencegah campur tangan asing. Keempat, sentralisasi kebijakan dari pusat hingga daerah yang tidak hegemonik oleh kepentingan politik. Kelima: proses jalur-jalur distributif yang dapat diakses oleh masyarakat bawah.

Mengurai Benang Kusut Industrialisasi
Menurut Arya Hadi Dharmawan (2005) pengalaman sejauh ini menunjukan bahwa sejak reformasi tata pemerintahan desa dan kabupaten, masih kurang mendaratkan dan mengkaitkan pada isu-isu hubungan kesejahteraan ekonomi politik desa-kota. Dalam bentang sejarah lokal misalnya, termasuk modernisasi desa, selalu ditandai oleh bias sentralisasi. Tentu jauh dari keberpihakan pada desa. Kendapitun kegiatan eksploitasi atau kapitalisasi memasuki area desa, namun kesemuanya itu hanyalah menegaskan keyakinan bahwa desa tidak lebih sebagai objek pemanfaatan sumberdaya alam dan hasilnya (keuntungan) tidak kembali bahkan mengalir ke luar negeri maupun pengusaha-pengusaha. Dengan kata lain, desa menjadi tempat eksploitasi yang hingga saat ini terus berlangsung sehingga tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari pipa pemasaran (marketing pipe) arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) terhadap desa secara sistematis dan hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata. Ditinjau dari kebijakan pembangunan desa tentu bukan fenomena baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tata kelola desa selama ini bagian konstruksi revolusi hijau maupun modernisasi desa yang ternyata tanpa sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Desa secara kelembagaan tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam proses investasi ke desa, dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses tersebut. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola industrialisasi desa. Maka yang terjadi adalah indstrialisasi tidak menguntungkan desa, justru malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri). Terobosan baru dengan industrialisasi desa itu, secara ideologis dimaksudkan sebagai bentuk desentralisasi alat-alat produksi pada rakyat (desa). Peran negara dan pemerintah (provinsi, kabupaten dan desa) harus bekerjasama melindungi sumberdaya lokal dengan menjalankan mandat rakyat. Jauh berbeda dengan yang terjadi saat ini, dimana pemerintah daerah justru dipandu ideologi neoliberal melakukan eksploitasi sumberdaya lokal, maka otonomi daerah dan desentralisasi akhirnya terperosok menjadi arena perayaan penindasan pada rakyat (desa). Ini perlu dijawab oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita memang membutuhkan terobosan baru paradigma pembangunan alternatif untuk menemukan kembali pilar-pilar pokok di level lokal dalam menegakan pembangunan kesejahteraan desa.

Basis Desentralisasi Pembangunan Kesejahteraan Desa
Pandangan banyak ahli maupun pakar otonomi bahwa iklim perpolitikan membawa arus perubahan paradigma secara dramatical, terkadang baik dan ada juga musim panas dingin otonomi tersebut. Mengapa terjadi demikian ?, karena problem besarnya belum maksimal mengangkat derajat ekonomi dan rasa aman. Bicara fakta kemiskinan, pengangguran dan marginalisasi sangat sistematis, justru semuanya dilakukan oleh Negara dan pemerintahan. Napak tilas regulasi peraturan (UU, PP, Pemendagri) masih ragu melakukan pengontrolan dan tidak banyak sikap berani mendesentralisasikan pembangunan kesejahteraan ke pedesaan.
Selaras apa yang diungkap Sarbini Sumawinata (2005), bahwa pedesaan dihadapkan pada persoalan distribusi kesejahteraan, padahal itu kebutuhan penting sebagai alternatif penguatan desentralisasi bagi desa dengan intensifikasi pemberdayaan kesejahteraan, lebih mantap lagi jika saja nasionalisasi—industrialisasi desa. Paradigma industrialisasi desa jalan tengah perjalanan dan penyelamatan ekspektasi otonomi kesejahteraan sebagai alternative lain transformasi kesejahteraan desa sehingga basis manfaat pengelolaan sumberdaya potensial lokal jalan emas dari tidak teruraiannya benang kusut desentralisasi pembangunan kesejahteraan. Agar hal ihwal upaya membuka lapangan kerja di pedesaan dapat berjalan secara sustainable dan menjauhkan desa dari kesenjangan, ketergantungan, dan marginalisasi terhadap masyarakat. Indusrialisasi pedesaan salsatu sumber kuat pertumbuhan kesejahteraan yang relevan, merata dan adil ditopang oleh faktor transformasi realitas politik yang mampu menjawab tuntutan pengurangan kemiskinan dan mentahbiskan demokratisasi tanpa ada delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat.
Menurut Arya Hadi Dharmawan (2005) bahwa industrialisasi desa, alternatif memperkuat APBDes dengan memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, responsif, dan partisipatif, maupun Alokasi Dana Desa (ADD), dengan maksud memperlancar demokrasi dan otonomi pembangunan kesejahteraan desa, mengurangi kemiskinan dan menekan laju urbanisasi. Kedua, eksistensi desa dalam proses ekonom politik selama ini sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah terlebih juga hubungan antara pembangunan desa dan perkotaan. Dalam
Begitu juga apa yang disetir oleh Robert H Lauer (2001) bahwa kemitraan strategis pengembangan desentralisasi kesejahteraan desa memiliki mekanisme kontrol yang berkelanjutan di segala sektor. Dimensi utama desentralisasi desa yaitu kompetisi, partisipasi, dan kebebasan masyarakat yang berarti melepas sikap primordialisme yang dapat menimbulkan penindasan dan kekerasan. Hal ini pasti akan di tandai dengan partisipasi yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan. Pendekatan desentralisasi desa lebih baik, tetapi tidak berarti pendekatan ini paling efektif dalam semua kebudayaan atau dalam semua situasi pedesaan. Dasar pengembangan nilai – nilai desentralisasi dalam sistem demokrasi pada suatu masyarakat harus dikembalikan pada adat dan agama yang dianut. Ukuran-ukuran normatif dari pelaksanaan desentralisasi desa adalah partispasi rakyat dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan, pemilihan umum (pilkades) yang jujur dan adil, rekrutmen kepemimpinan yang teratur, penghormatan kepada HAM, kebebasan berbicara dan memiliki pers yang bebas.
Sepakat juga dengan paradigma yang disampaikan oleh Carold Goul (1988), bahwa desentralisasi deliberatif, substantif dan partisipatif  merupakan tantangan dalamproses demokrasi dan desentralisasi desa pada masa yang akan datang. Ukuran pelaksanaan desentralisasi harus ada kompetisi, partisipasi, luas, terbuka, berdaulat, merdeka secara total, dan menghargai pluralisme masyarakatnya. Dalam semangat zaman yang terus berubah, agar nilai universal desentralisasi pembangunan kesejahteraan desa dapat berjalan sinergi, maka harus mengintegrasikan nilai-nilai lokalitas sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika desentralisasi dalam merealisasikan kesejahteraan dengan menyuplai informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional, dan pelembagaan desentralisasi pembangunan kesejahteraan desa berlangsung sistematik, konsisten, transparan dan ada kepastian hukum.(*)

Penulis Rusdianto adalah Aktivis DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Periode 2010 – 2012 dan Direktur Eksekutif Shaffan Institute
×
Berita Terbaru Update