oleh: Wahyudinsyah
Surat yang dilayangkan kalangan tertentu kepada masyarakat kota
bima, tidak saja menarik diperbincangkan masyarakat Kota Bima sebagai obyek
surat, namun juga sangatlah eksotik bila di lihat dari kacamata komunikasi
politik, mengingat isi surat tersebut tidak lain adalah menceritakan kapasitas,
hingga prestasi selama H. Qurais menjabat sebagai orang nomor wahid di Kota
Bima.
Tidak semua orang bisa melakukan itu, mengingat sepanjang
pencalonan bupati atau walikota bima bahkan mungkin seantero negeri, tidak
pernah dilakukan hal demikian, mengingat keterbatasan informasi yang bisa kita
peroleh untuk hal demikian. Namun surat tersebut telah menjadi “blunder
Politik” bagi H. Qurais sendiri. Dalam bantahan yang diungkapkannya di sejumlah
media lokal di Kota Bima, ia tidak mengakui beredarnya surat tersebut adalah ulah
dirinya, karena ia belum memastikan akan masuk bursa pencalonan Walikota atau
tidak.
Faktanya, surat tersebut adalah aktualisasi hak politik seorang
warga negara yang kebetulan sedang menjabat Walikota Bima, namun besar
kemungkinan adalah memasarkan inisiatif, gagasan dan isu-isu politik H.Qurais
selama periode kepemimpinnya. Secara normatif, tidak ada yang dilanggar dalam
marketing politik sang Walikota sebagai icon dalam surat tersebut,
setidaknya ada tiga hal yang bisa di kutip.
Pertama Meneguhkan Eksistensi, mengingat keterbatasan orang
mengakses informasi terhadap prestasi dari sang walikota selama menjalankan
pemerintahannya. Ia hanya menegaskan apa yang akan dilakukannya nanti akan
lebih baik dari sekarang, atau minimal mempertahankan program yang menjadi brand
yang telah ada. Hal ini disadari atau tidak adalah kelemahan dari keterbatasan
sumber daya publikasi di daerah. Meski ada sejumlah media cetak dan elektronik,
itu tidak begitu ampuh. Karena tidak semua orang dapat mengakses informasi
tersebut. Misalnya koran, di Kota Bima dalam menyediakan berita, afiliasi
politik media sangat cepat diketahui pubik, baik dari jurnalisnya atau dari ouwner-nya.
Qurais menyadari bahwa, pemilih tradisionil pasti tidak mendapatkan akses yang
luas tentang prestasinya, maka tidak kurang dari 800 surat dilayangkan kepada
sejumlah orang yang memang di anggap bisa menjadi broadcast (penyiar)
gratis kepada masyarakat luas.
Kedua Marketing politik, mungkin saja dalam sejumlah item
kue yang menjadi jajanan politik yang dipaparkan sejumlah tokoh yang ada dalam
surat tersebut ada yang menjadi fokus ekspektasi publik dan menjadi
sentimen publik. Karena mungkin saja dalam sejumlah aspek program yang
dijalankan Walikota selama ini terlalu banyak program atau masih bercampur
dengan program yang pernah dijalankan pendahulunya, sehingga dibutuhkan yang
benar-benar fokus asli buah ide dan pikiran kritis Qurais. Bisa pula
mendapatkan masukan berharga dari pemerhati politik lokal, atau memancing
komentar-komentar tokoh lain yang ingin mencalonkan diri, sehinga menimbulkan
komentar beragam, baik membandingkan program, atau membandingkannya dengan
kemampuan dan popularitas tokoh lain termasuk Wakil Walikota sendiri, hal ini
nantinya akan menjadi Daftar Infentaris Masalah (DIM) yang akan dikalkulasikan
secara hukum matematika politik atau teori psikologi masa. Dari sisi ini
marketing politik Qurais berada pada arash yang benar, karena telah
mampu melempar “bola panas” ke tengah publik.
Ketiga Purifikasi Politik, cara ini adalah mainan baru dan
sangat ilmiah bagi kaum akademis dan golongan idealis dalam memperjuangkan
hak-hak dalam berpolitik kelak. Mengingat cara ini sangat memberikan output
yang mewabah dan menular pada segenap lapisan masyarakat sebagai konstituen.
Tentu ini tidak sembarang orang dapat melakukannya dan memiliki efek bias yang
tinggi terhadap segala lapisan. Baik untuk partai politik sebagai kendaraan
dalam politik termasuk didalamnya mahar dan cos politik, golongan yang
seharusnya idealis yang bukan partisan sehingga harus obyektif, penyelenggara
yang obyektif, hingga masyarakat sebagai ujung tombak sekaligus pemilik,
pengelola dan penikmat hasil politik. Hal ini didasari dengan dua hal utama
yang ada dalam diri Qurais, yakni Qurais awalnya bukan orang Parpol (meski
sekarang sudah punya) dan masih minim pengalaman dalam mengelola parpol secara
ekternal dan internal. Ini terbukti saat dirinya terpental dari pemilihan
menjadi ketua Golkar Kota melawan Ketua DPRD Kota Bima. Selanjutnya Qurais
bukan Birokrat, karena dalam Birokrasi itu cenderung budaya Paternalistik
(kebapakan) yakni hormat atau berterima kasih pada atasan yang dapat memberikan
jabatan basah atau dingin. Langkah ini akan mengurangi permainan tidak fair
dalam merebut EA 1, seperti pemamfaatan birokrasi dan black campaign.
Blunder
Menariknya lagi, bersurat semacam ini menunjukkan bahwa, sejumlah
kalangan terpelajar yang inovatif tentu berada dibaliknya. Bukan golongan
oportunis yang hanya pandai “stor muka” dan menjadi pembisik yang tidak
obyektif dan cenderung menghasut kala berada di lingkaran kekuasaan. Nampaknya style
politik Bima berubah kejawen (kejawa-jawaan). Disinilah belum
terkoneksinya pandangan kejawen yang pekewuh (hau ade) dengan
karakter bima yang blak-blakan. Pekewuh (hau ade) untuk mengungkapkan
keinginan untuk masih tetap berkuasa padahal sebenarnya masih ada kemungkinan,
yang mana surat itu ia bantah dalam rentan waktu yang sangat pendek.
Sebenarnya bersurat semacam ini akan memberikan nilai bargaining
yang mahal bagi Qurais jika saja dapat mengelolanya dengan baik. Positioning-nya
sudah pas berdasarkan rentan waktu pemilu yang lebih dari satu tahun. Isu
ini harusnya mengantar Qurais sebagai Single Fighter yang tangguh
layaknya raja hutan, di dengar saja suaranya menakutkan apalagi menjadi lawan.
Namun hal tersebut membalikkan keadaan, seakan-akan Qurais adalah sosok yang
kaku dalam menanggapi resistensi publik yang beragam.
Adapun pendapat yang mengatakan curi start, secara politik incumbent
dimanapun itu, selalu curi start karena kewenangan dan kekuasaannya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan agar di kenal masyarakat adalah pendapat
yang keliru secara akal sehat, karena tidak ada satu orang dewasapun warga Kota
Bima yang sehat jasmani dan rohani yang tidak mengenal wajah apa lagi
nama Walikotanya.
Sebenarnya, hal tepat yang harus dilakukan Qurais adalah
membiarkan isu itu menjadi “bola liar”, mengingat faktanya surat tersebut tidak
atas nama Qurais pribadi dan lagi pula tidak menyudutkan dirinya. Tidak
seharusnya di bantah atau mengingkari dengan lantang, karena itu telihat
seakan-akan mementahkan langkah besar yang telah dilakukan oleh penyebar surat
tersebut. Karena sudah sering Qurais sendiri berstatement bahwa dirinya tidak
akan ikut dalam bursa Cawali berikutnya, akan tetapi statement tersebut akan
tereliminasi oleh tingginya ekspektasi publik terhadap diri Qurais jika tidak
buru-buru membantah langkah progresif kalangan tertentu dengan bersurat itu.
Artinya setengah jalan yang di lalui Qurais sudah tidak berarti
apa-apa lagi di mata publik, karena Qurais terlihat berperan antagonis
berdasarkan statement bantahannya terhadap surat terebut yang sebenarnya
mengangkat dirinya secara tidak langsung. Kedepannya Qurais harus dengan cara
progresif lagi untuk menggugah publik jika dirinya masih punya hasrat politik.
Seandainya ia membiarkan isu dalam surat tersebut menjadi santapan publik
hingga basi, tinggal di tambah dengan bumbu atau isu baru agar lebih variatif
dan modis dalam mengemas isu, sehingga nama Qurais dalam pengemas wacana tetap
awet dan akan berjalan di atas angin. Sehingga tujuan utama dari tiga aspek
yang saya kaji diatas dari penebar surat dapat terwujud.
Atau bisa jadi Qurais berspekulasi, karena ia sudah menancapkan
pengaruh terhadap masyarakat kota Bima dan benar-benar tidak ikut nyalon,
kemudian mengalihkan dukungannya pada orang yang ia restui, Sementara dirinya
hanya menjadi dalang di balik layar. Wallahualam bissawab.
Penulis. Ketua BEM STIH 2008, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM),
anggota Forum Mahasiswa Pascasarja Surakarta NTB (Forms Surakarta-NTB). Sedang
menempuh Pascasarjana F,Hukum UMS.