Oleh: Fidel Hardjo
GAWAT mencermati aksi demo akhir-akhir ini. Ada-ada saja alasan untuk berdemo. Sebentar demo KPK, lalu demo DPR, sebentar FPI, sebentar demo premanisme, dan kini demo tolak naik harga BBM. Jika kerjaan kita demo melulu, kapan fokus kerjanya? Atau kita namakan saja negeri ini “Republik Sebentar-Sebentar” (Demo)?
Hari-hari ini
demo riuh rendah BBM berkecamuk di mana-mana. Protes mahasiswa di kampus sudah
menjalar demo ke jalan-jalan. Di ruang DPR, diskusi para dewan lebih sengit.
Para pakar pun mulai angkat bicara di televisi bahkan berkoar-koar di koran. Di
kampung pun, Pak RT sudah rancang demo. Nelayan di laut pun siap gantung jala.
Ibu-ibu di dapur pun lebih memilih gantung periuk hanya untuk demo.
Energi bakal
habis hanya untuk demo dan protes. Belum terhitung (akan) terjadi aksi anarkis.
Setuju, kita protes. Tetapi saya khwatir, kita lupa tugas pokok. Mahasiswa
belajar. Petani turun ke sawah. Nelayan menebarkan jala. DPR rumuskan
Undang-Undang bantai korupsi (urgen). Para pakar bikin penelitian lintas.
Adakah
keuntungan di balik semua aksi ini? Atau, lebih banyak kerugiannya? Kerugian
material dan imaterial sudah bakal menumpuk. Secara ekonomis, kita tidak
produktif. Pemerintah juga terkelepot stagnan. Dunia akademis kampus juga
mampet. Belum terhitung derita stres dan sakit hati akibat aksi demo yang
kandas.
Anda boleh mencibir
saya. Kalau saya agak berseberangan dengan aksi demo belakangan ini. Saya justru
mempersilakan SBY untuk tancap gas dengan kebijakannya, sejauh alasan menaikkan
harga BBM bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya, dan partainya. Kita
sudah mendengar semua alasan harga BBM naik. Atau, sekalipun ada alasannya,
pasti tolak mentah-mentah. Tetapi, BLSM-nya tidak.
Ini yang
ganjil. Tolak naikkan harga BBM, tetapi diam-diam besok terima duit BLSM. Tak
dapat duit itu, main habok lurahnya. Jelas-jelas ganjil. Coba kita beri
kepercayaan kepada pemerintah. Boleh-boleh saja protes kebijakan. Itu tandanya
warga yang kritis.
Bayangkan
saja. Kalau setiap bulan demo, kapan kita fokus kerja. Pemerintah linglung
tadah protes atas kebijakannya. Sementara warga sibuk tak karuan rancang protes
kebijakan pemerintah. Adakah hasil yang maksimal? Tengok, negara lain terus
meninggalkan keterbelakangan kita. Kita hanya sibuk berdemo. Sebentar, kok!
Negara tetangga
sibuk bekerja keras merancang masa depannya. Kita malah sibuk demo melulu.
Kapan kerja kerasnya dan kapan pula ada hasilnya? Hasilnya juga, pasti hasilnya
sebentar-sebentar saja. Manakala, negara tetangga agak bangga akan kemajuannya,
kita malah cepat sensitif bahkan cepat naik darah tanpa alasan.
Mengapa kita
tidak gumpalkan kekuatan? Bekerja lebih tekun dengan pekerjaan kita. Selain
hasilnya bisa dinikmati sendiri, juga membangun bangsa ini. Daripada kita sibuk
menggunting kebijakan pemerintah, lebih baik kita sibuk dengan pekerjaan kita
masing-masing. Itu jauh lebih berguna. Toh, kita sendiri menyetir ritme hidup
ini.
Lain halnya, kalau pemerintah kita korup. Korupsi harus dilawan mati-matian. Bila perlu seret dan gantung ramai-ramai koruptor di tugu monas. Karena, penyakit ini membuat negara kita klepek ketinggalan dengan negara lain. Kalau koruptor dibiarkan, apapun impian kita, negeri ini hanya makmur seperti kisah lagu romantika.
Lain halnya, kalau pemerintah kita korup. Korupsi harus dilawan mati-matian. Bila perlu seret dan gantung ramai-ramai koruptor di tugu monas. Karena, penyakit ini membuat negara kita klepek ketinggalan dengan negara lain. Kalau koruptor dibiarkan, apapun impian kita, negeri ini hanya makmur seperti kisah lagu romantika.
Lawan korupsi
adalah obligasi moral kolektif perlu digalakkan. Bukan protes kebijakan
pemerintah. Jelas setiap kebijakan itu pasti ada lost-benefit-nya. Tentu,
pemerintah tidak bermain sandiwara. Tugas kita sebenarnya dukung bulat. Jika
kebijakan sekarang dinilai jelek dari pilihan terjelek, jangan kita bikin lebih
jelek lagi.
Kalau besok
harga sembako melambung, apakah kondisi kita lebih jelek dari kemarin. Atau
jika esok ongkos transportasi lebih mahal dari hari ini, apakah kondisi kita
lebih baik besok? Saya tidak bermaksud meminimalisir situasi negatif terjelek
pasca kenaikan harga BBM. Tetapi, mari kita lakukan hal-hal yang positif untuk
kita.
Lagian,
kenaikan harga BBM bukan baru pertama kali. Dan, bukan hanya di Indonesia.
Negara lain pun sudah menaikkan harga BBM. Tetapi reaksi mereka tidak
seberingas kita. Bahkan jika dibanding dengan negara tetangga, harga BBM kita
masih terlalu murah. Tetapi reaksi mereka lebih terkonsilidasi ke energi
positif.
Asal tahu
saja. Kenaikan harga BBM di masa pemerintahan SBY sudah mau yang ketiga
kalinya. Dari kebijakan yang sudah-sudahnya, tak satupun kebijakan itu
dinegosibel apalagi dianulir. Pasca kenaikan harga BBM (2005, 2008) riak-riak
ekonomi memang ada, tetapi bisa dikendalikan. Tidak seram seperti yang
diyelkan.
Memang ada
kesan, gelombang demo di republik ini lebih berbau politis. Antara politisi
selalu mencari cela untuk saling mencongkel. Ada protes yang benar dan banyak
pula yang menurut saya, semestinya tidak perlu. Tidak selektif dan produktif.
Ada juga mahasiswa tak sadar bergerombol mengikuti kerumunan politisi seperti
ini.
Warga yang
tidak tahu menahu pun ikut demo. Sebab mahasiswa sudah menjadi ikon perubahan,
entah salah atau benar apa yang didemo mahasiswa, asal mahasiswa demo. Ayo
demo! Padahal, aksi demo mahasiswa sekarang tidak sejernih demo 98. Benar atau
salah kritik ini silahkan nurani mahasiswa menjawab.
Oleh karena
itu, apa yang harus kita lakukan? Kita terus melawan dengan demo kenaikan harga
BBM, yang jelas-jelas sudah pasti tidak bisa dianulir atau menyambutnya dengan
lapang dada, sambil terus bekerja giat dan mengawasi subsidi pemerintah, yang
sudah diprogramkan agar terlaksana baik dan tepat sasar.
Pertama, jika
kita tetap konsisten dengan sikap berdemo maka kerugian yang kita dapat jauh
lebih banyak daripada apa kita terima. Dari segi efektivitas program subsidi
ditawarkan pemerintah bisa saja kandas. Roda pemerintahan sudah jelas tidak
fokus. Padahal, masih banyak masalah lain yang harus ditangani pemerintah.
Selain
pemerintah tidak fokus, rakyat juga lebih tidak fokus. Sibuk demo atau kerja.
Sibuk belajar atau demo. Sibuk bikin penelitian atau demo. Pilihannya,
mengangkang di dua pilihan. Sebentar kerja, sebentar demo. Sebentar belajar,
sebentar demo, sebentar penelitian, sebentar demo. Hasilnya,
“sebentar-sebentar”.
Lain hal
dengan politisi. Ini ladang mereka. Semakin seru protes warga, semakin solid
wilayah politiknya. Dan, semakin besar kans melumpuhkan lawan politiknya.
Ujung-ujungnya merebut kekuasaan. Meski, dengan cara yang kesannya membela
rakyat kecil. Biasa, setelah mendapat kekuasaan, selamat pula riwayat rakyat
itu.
Bagaimana
impak pasca kenaikkan BBM? Rumitlah. Semua harga barang naik. Betul, itu
konsekuensi ekonomis yang ditakut-takuti.Terimalah itu dengan tulus. Hidup
lebih hemat adalah pilihan arif di moment seperti ini. Ini juga bentuk ikhtiar
membangun bangsa ini. Kompensasi BLSM tak perlu dipolitisir berlebihan. Betapa
indahnya jika ketulusan dua pihak sahut menyahut daripada menyalak saat-saat
ini.
Kedua, jika
kita menerima kebijakan ini tentu berlaku prinsip minus malum (jelek-jelek tapi
ada baiknya juga). Baiknya apa? Paling utama kita hemat energi. Energi kita
tidak dikuras untuk demo. Kita fokus energi dengan pekerjaan kita, entah siapa
saja mulai dari mahasiswa, petani, nelayan, pakar sampai ibu-ibu rumah tangga.
Alangkah eloknya, jika ketulusan dikedepankan daripada demo tak habis-habisnya.
Berilah waktu
bagi pemerintah memfokuskan dirinya bekerja lebih produktif lagi. Mahasiswa
bisa lebih tekun menyelesaikan studinya. Para pakar lanjutkan penelitian.
Jangan terpengaruh oleh politisi yang otaknya hanya merancang trik menjatuhkan
lawan atas nama rakyat dan targetnya ke-kuasa-an. Justru mental politisi inilah
yang memperkeruh situasi politik tanah air kian blunder dan sekarat.
Sayangnya,
kita lebih suka demo. Hasilnya, kapan tamat kuliahnya, sebentar lagi. Kapan
selesai penelitiannya, sebentar ya, sebentar la. Kapan negara ini menjadi
negeri kolam susu, sebentar. Jadilah, Republik Sebentar-Sebentar. Karena, apa
yang dikerjakan serba sebentar-sebentar, maka hasilnya serba sebentar-sebentar!
(*)
Penulis, penonton aksi demo dari sudut utara kota
Jakarta