Si
Dungu
Oleh:
Moestafa Ibrahim
NAMA aslinya
lingga tapi orang-orang di kampung kami memanggilnya dengan Si Dungu. terdengar
sarkartis memang tapi lingga cuek bebek. Tubuhnya gempal mata bulat
seperti mata bocah dengan alis melengkung. Hidung bangir dengan kombinasi bibir
yang tebal. Rambut si dungu dipotong ala tentara dan tidak pernah lupa mengenakan
peci hitam ala Soekarno yang letaknya selalu sedikit miring entah disengaja
atau tidak. Panggilan sidungu didapat oleh lingga ketika dia secara aneh
menolak untuk menjadi pegawai negeri sipil di kota kami padahal namanya
termasuk diantara beberapa nama yang lolos tes penjaringan. Alasan lingga
bahwa dia hanya tidak ingin mabuk liberalisme. Ketika ditanya kenapa
harus ikut tes lingga hanya menjawab enteng tes IQ yang dikaruniakan oleh Tuhan
lagi pula katanya dia merasa bergairah mencarikan pemecahan masalah dari
soal-soal yang diberikan seperti kegairahannya pada teka-teki tentang waktu dan
gerak. Tak satupun yang mengerti jalan pikirannya dan untuk menghidupi dirinya
Lingga berjualan buku di emperan pusat kota di kota kami.padahal orang-orang di
kota kami rela menyogok puluhan juta rupiah untuk menjadi pegawai negeri sipil.
Demiklianlah oleh kebenaran pendapat umum lingga memperoleh predikat si
dungu.tapi seperti yang kukatakan sebelumnya lingga cuek bebek berlalu dengan
mengepalkan tangannya dan berteriak ”Hidup jalan terus!” begitu selalu..
Si dungu hanya hidup berdua dengan
seekor kucing bermata biru berwarna abu-abu yang selalu di bawa kemanapun si
dungu pergi.kadang kucing itu digendongnya atau dibiarkan saja nangkring di
atas pundaknya sering pula terlihat kucing itu mengekori dirinya.kucing itu
diberinya nama jinx.jinx adalah sesosok mahluk penunggu jalan dalam sebuah
mitologi kuno.mahluk itu selalu menanyakan kepada orang-orang yang melewati
jalan itu.pertanyaannya sederhana.mahluk apakah waktu kecil berjalan dengan 4
kaki,waktu remaja 2 kaki dan waktu tuanya dengan 3 kaki.mahluk itu akan
memangsa orang yang tidak bisa menjawab pertanyaannya dan membiarkan lewat
orang yang mampu menjawab pertanyaannya.demikian kata si dungu muasal nama
kucingnya.
Bila si dungu berbicara pasti
banyak yang mengerumuninya karena senang dengan tingkahnya yang lucu dan
mengundang tawa dengan banyolan-banyolannya.suatu hari si dungu berlari
mengelilingi gang-gang di kampung kami. hanya memakai sarung, bertelanjang
dada. bongkahan lemak di tubuhnya bergerak gerak naik turun sambil
mengancungkan kucingnya yang bermata biru ke udara si dungu berteriak.
“wahai musaaaa datanglaaaah
musnahkan kekejian ini dengan tongkatmuuuu….!!!”
Warga kampung melongokkan kepala
dari jendela-jendela rumah dan tersenyum melihat tingkah polah si dungu dan
secara berkelakar menganggap Si Dungu kerasukan jin penunggu bukit kecil di
tengah kampung kami.
Di kampung kami Si Dungu banyak
disukai oleh warga tidak saja oleh teman sebaya orang-orang tua para gadis
bahkan anak-anak kecil. Boleh dikata Si Dungu lah warga paling populer
dikampung kami bahkan kepopulerannya melebihi lurah kami sendiri. dulu kami
sempat bertaruh bahwa jika saja sidungu mencalonkan diri menjadi anggota dewan
perwakilan rakyat daerah kami semua yakin bahwa Si Dungu pasti mendapat suara
mayoritas di kampung kami tapi Si Dungu ogah menjadi calon anggota dewan
perwakilan rakyat daerah. Waktu kami sarankan Si Dungu memicingkan matanya yang
bulat.
“aku yakin ”katanya” sekiranya
Montesque bangkit dari kematiannya ia akan semaput lagi melihat trias politika
yang dikembangkannya menjadi sarang korupsi di negeri ini ha..ha..ha..” si
dungu tertawa terpingkal-pingkal memegang perutnya yang buncit hingga matanya
berair. Setelah tawanya agak reda reflek Si Dungu mencondongkan sedikit
tubuhnya ke kiri lalu dengan cepat melompat. Tangannya terkepal meninju langit
sambil berteriak.
“akuuu cintaaa negriii kacauuu
iniiii….!!!”
Kami hanya melongo.
Dibalik sifatnya yang suka membanyol
jika berdua denganku umumnya pembicaraan si dungu bagiku sendiri merupakan hal
–hal yang aneh atau tepatnya topik-topik pembicaraanya merupakan hal yang
janggal yang bukan merupakan topik pembicaraan seperti yang dimiliki oleh
kami dikampung. Ya Si Dungu banyak berbicara tentang penciptaan tentang cinta
tentang semesta dan semua hal-hal besar lainnya dan bagiku tidak mengenyangkan
perut dan yang mungkin hanya dimiliki oleh pemikir-pemikir besar dan juga
para pujangga yang pernah dilahirkan oleh peradaban manusia. Aku termasuk salah
seorang yang dekat dengan sidungu dan mengerti bahwa dibalik keceriaan yang
ditampilkannya sidungu menyimpan kegelisahan-kegelisahan yang hanya dimengerti
oleh dirinya sendiri. Pernah aku melihat Si Dungu terlentang di atas lapangan
berumput bersandarkan kedua tangannya sebagai bantal memandang langit malam
dengan atribut kemegahannya. Ketika aku mendekati dan bertanya kepadanya Si
Dungu hanya menoleh sekilas dan menjawab dengan pendek ”belajar dari semesta”
lalu kembali serius memandang langit malam seolah ingin memahami kebisuan yang
ditawarkannya.
Aku duduk di samping si dungu. Udara
padat dan berwarna pucat menelingkupi kami. Si Dungu masih terlentang memandang
langit. Setelah beberapa saat dalam keheningan ia menoleh ke arahku. Matanya
yang bulat kali ini terlihat kuyu.
“Bayangkan ”katanya” jika alam
semesta tak di huni oleh satupun manusia.setiap benda hanya akan bergerak
sesuai orde yang ditentukan. planet berputar mengelilingi matahari.matahari
berputar mengelilingi pusat galaksi. Dan galaksi mengelilingi pusat jagad raya
dalam keteratutan. Tampa kita manusia alam semesta hanya merupakan ruang
raksasa tempat waktu bergulir begitu saja tampa ada yang memaknai. Kita manusia
adalah pemberi makna alam semesta. Dan uniknya kita di tempatkan planet kecil
ini bumi si kelereng biru yang jika dibandingkan dengan berjuta benda langit
lainnya seakan hanya berupa setitik debu di keluasan angkasa raya”
Kami mendongak melihat langit. Bulan
tampak bersinar dengan anggun. Gugusan bintang gemintang melayari langit. Kami
memandangi sebuah bintang yang tampak pijaran cahayanya begitu terang sesaat
lalu pada puncak pijarannya tampak bintang itu seperti meledakkan dirinya lalu
tenggelam dalam kegelapan. Mungkin bintang itu sedang mengalami supernova.
Si dungu bangkit dari rebahannya
lalu duduk menekuk. Kedua tangannya dilingkarkan di kakinya sesekali ia
menghela nafas seperti membuang sebongkah batu besar yang bersemayam didadanya
bersama hembusan nafasnya yang berat itu.
“Hasan “katanya menyebut namaku
“keteraturan hanya bisa di hasilkan oleh sistem yang dikembangkan oleh sang
pencipta karena Dia yang lebih mengetahui hakikat-hakikat ciptaannya. Demokrasi
bagiku hanya menghasilkan penguasaan-penguasaan oleh kaum kapitalis di negeri
ini juga di negeri tempat nenek moyang para nabi ia masih diterima setengah
hati lantaran sebagian anak negerinya mengganggapnya sebagai berhala picisan
baru. Demokrasi hanya baru bisa mapan di tempat kelahirannya Eropa barat laut
beserta cecunguknya di Amerika utara sana. Tidak bisa tidak untuk mencapai
keteraturan kita hanya perlu mengembangkan sistem yang telah dikembangkan oleh
Tuhan. Kita hanya tinggal menerapkannya saja dalam kehidupan kita.
“Tidak sesederhana itu mengatur
sistem sosial karena kita berbicara tentang manusia yang menggerakannya”
“Ya unik kita adalah mahluk yang
unik bukan?” Si Dungu membentuk senyum tipis di bibirnya namun aku menangkap
kesan kesinisan yang tajam pada senyumnya itu. Beberapa kali aku melihat Si
Dungu membelai dadanya dan tampak seringai kesakitan yang coba disembunyikan di
wajahnya.
“Meskipun sistem yang membangun
tubuh kita manusia semua sama “katanya lebih lanjut “namun hampirlah mustahil
menciptakan keseragaman dalam pola pikirnya. Banyak hal yang menjadi faktor
pembedanya. Mungkin memang pikiranku hampir sepenuhnya utopis tapi aku bermimpi
suatu saat bahwa kita mampu menerapkan sistem yang telah dikembangkan oleh
Tuhan bagi keteraturan dan kesejahteraan kita semua. Ya di bumi Tuhan ini sudah
sepatutnyalah kita menerapkan sistem dari Tuhan sendiri sebagai sang pencipta
yang tentu saja mengerti hakikat-hakikat ciptaanNya.
Malam sudah beranjak
setengahnya.satu-satu butiran embun membasahi rambut-rambut kami. Udara beruap
dan rasa dingin menelingkupi tubuh kami. Pukul satu lewat tiga puluh kami
bangkit dan beranjak meninggalkan lapangan berumput yang kami duduki. Dengan
beriringan dan dalam kebisuan yang tertinggal dalam pikiran-pikiran, kami
berjalan menuju rumah. Si dungu mengucap selamat malam sambil membuka pintu
pagar rumahnya yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan rupanya itu adalah kali
terakhir aku melihat Si Dungu membuat gerakan dengan tubuhnya.sesampainya di
rumah setelah merebahkan tubuhnya yang gempal si dungu menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Rupanya serangan jantung telah membungkam gerak di tubuhnya
untuk selamanya.
Kini aku hanya memandangi tubuhnya
yang telah terbujur kaku. Seperti pulau yang sepi teronggok sendiri membujur
dalam keheningan. Jinx kucingg bermata biru itu terduduk di pojok
ruangan. Sesekali menggerakkan kumisnya dengan lesu dan merintih dengan caranya
sendiri menangisi tuannya yang tlah beku.
Warga kampung banyak yang mengantar
kepergian Si Dungu ke tempat peristrahatan terakhirnya. Gundukan tanah merah itu
telah memendam tubuh Si Dungu dengan nisan tampa nama.hanya di letakan
sebongkah batu sebagai nisannya. Memang begitulah pesan Si Dungu untuk
kuburannya biarkanlah nisannya tampa nama karena baginya dirinya hanyalah
seorang peziarah sementara di bumi tuhan ini. Si dungu hanya ingin kenangan
tentang dirinya hidup dalam pikiran-pikiran orang yang telah mengenalnya.
Seekor burung terbang rendah lalu
hinggap di atas batu nisan tanpa nama itu. Beberapa kali burung itu
mematuk-matuk batu nisan itu. Lalu perlahan mengembangkan sayapnya untuk
kemudian terbang melayang tinggi menuju langit.aku menatapi arah terbangnya
burung itu.seolah burung itu mewujud si dungu dengan kebebasan yang ingin
diraihnya juga dengan pikiran-pikiran utopisnya tentang sistem yang dikembangkan
oleh Tuhan seperti yang di impikannya itu.
Aku meraih jinx kucing bermata biru
itu lalu ku gendong sambil kubelai bulu berwana abu-abunya yang lembut.
Sebongkah angin menampar tengkukku. Dingin. Dari pekuburan aku melangkahkan
kaki ku dengan ringan dan merasa menjadi bagian dari Si Dungu yang hanya ingin
menjadi peziarah di keluasan alam raya. (*)
TAMAT