Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

CERPEN

04 Maret 2012 | Minggu, Maret 04, 2012 WIB Last Updated 2012-03-04T09:05:39Z

Si Dungu
Oleh: Moestafa Ibrahim
NAMA aslinya lingga tapi orang-orang di kampung kami memanggilnya dengan Si Dungu. terdengar sarkartis memang tapi lingga  cuek bebek. Tubuhnya gempal mata bulat seperti mata bocah dengan alis melengkung. Hidung bangir dengan kombinasi bibir yang tebal. Rambut si dungu dipotong ala tentara dan tidak pernah lupa mengenakan peci hitam ala Soekarno yang letaknya selalu sedikit miring entah disengaja atau tidak. Panggilan sidungu didapat oleh lingga ketika dia secara aneh
menolak untuk menjadi pegawai negeri sipil di kota kami padahal namanya termasuk diantara beberapa nama yang lolos tes penjaringan. Alasan lingga  bahwa dia hanya tidak ingin mabuk liberalisme. Ketika ditanya kenapa harus ikut tes lingga hanya menjawab enteng tes IQ yang dikaruniakan oleh Tuhan lagi pula katanya dia merasa bergairah mencarikan pemecahan masalah dari soal-soal yang diberikan seperti kegairahannya pada teka-teki tentang waktu dan gerak. Tak satupun yang mengerti jalan pikirannya dan untuk menghidupi dirinya Lingga berjualan buku di emperan pusat kota di kota kami.padahal orang-orang di kota kami rela menyogok puluhan juta rupiah untuk menjadi pegawai negeri sipil. Demiklianlah oleh kebenaran pendapat umum lingga memperoleh predikat si dungu.tapi seperti yang kukatakan sebelumnya lingga cuek bebek berlalu dengan mengepalkan tangannya dan berteriak ”Hidup jalan terus!” begitu selalu..
Si dungu hanya hidup berdua dengan seekor kucing bermata biru berwarna abu-abu yang selalu di bawa kemanapun si dungu pergi.kadang kucing itu digendongnya atau dibiarkan saja nangkring di atas pundaknya sering pula terlihat kucing itu mengekori dirinya.kucing itu diberinya nama jinx.jinx adalah sesosok mahluk penunggu jalan dalam sebuah mitologi kuno.mahluk itu selalu menanyakan kepada orang-orang yang melewati jalan itu.pertanyaannya sederhana.mahluk apakah waktu kecil berjalan dengan 4 kaki,waktu remaja 2 kaki dan waktu tuanya dengan 3 kaki.mahluk itu akan memangsa orang yang tidak bisa menjawab pertanyaannya dan membiarkan lewat orang yang mampu menjawab pertanyaannya.demikian kata si dungu muasal nama kucingnya.
 Bila si dungu berbicara pasti banyak yang mengerumuninya karena senang dengan tingkahnya yang lucu dan mengundang tawa dengan banyolan-banyolannya.suatu hari si dungu berlari mengelilingi gang-gang di kampung kami. hanya memakai sarung, bertelanjang dada. bongkahan lemak di tubuhnya bergerak gerak naik turun sambil mengancungkan kucingnya yang bermata biru ke udara si dungu berteriak.
“wahai musaaaa datanglaaaah musnahkan kekejian ini dengan tongkatmuuuu….!!!”
Warga kampung melongokkan kepala dari jendela-jendela rumah dan tersenyum melihat tingkah polah si dungu dan secara berkelakar menganggap Si Dungu kerasukan jin penunggu bukit kecil di tengah kampung kami.
Di kampung kami Si Dungu banyak disukai oleh warga tidak saja oleh teman sebaya orang-orang tua para gadis bahkan anak-anak kecil. Boleh dikata Si Dungu lah warga paling populer dikampung kami bahkan kepopulerannya melebihi lurah kami sendiri. dulu kami sempat bertaruh bahwa jika saja sidungu mencalonkan diri menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah kami semua yakin bahwa Si Dungu pasti mendapat suara mayoritas di kampung kami tapi Si Dungu ogah menjadi calon anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Waktu kami sarankan Si Dungu memicingkan matanya yang bulat.
“aku yakin ”katanya” sekiranya Montesque bangkit dari kematiannya ia akan semaput lagi melihat trias politika yang dikembangkannya menjadi sarang korupsi di negeri ini ha..ha..ha..” si dungu tertawa terpingkal-pingkal memegang perutnya yang buncit hingga matanya berair. Setelah tawanya agak reda reflek Si Dungu mencondongkan sedikit tubuhnya ke kiri lalu dengan cepat melompat. Tangannya terkepal meninju langit sambil berteriak.
“akuuu cintaaa negriii kacauuu iniiii….!!!”
Kami hanya melongo.
Dibalik sifatnya yang suka membanyol jika berdua denganku umumnya pembicaraan si dungu bagiku sendiri merupakan hal –hal yang aneh atau tepatnya topik-topik pembicaraanya merupakan hal yang janggal yang bukan merupakan topik pembicaraan seperti yang dimiliki oleh kami dikampung. Ya Si Dungu banyak berbicara tentang penciptaan tentang cinta tentang semesta dan semua hal-hal besar lainnya dan bagiku tidak mengenyangkan perut dan yang  mungkin hanya dimiliki oleh pemikir-pemikir besar dan juga para pujangga yang pernah dilahirkan oleh peradaban manusia. Aku termasuk salah seorang yang dekat dengan sidungu dan mengerti bahwa dibalik keceriaan yang ditampilkannya sidungu menyimpan kegelisahan-kegelisahan yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Pernah aku melihat Si Dungu terlentang di atas lapangan berumput bersandarkan kedua tangannya sebagai bantal memandang langit malam dengan atribut kemegahannya. Ketika aku mendekati dan bertanya kepadanya Si Dungu hanya menoleh sekilas dan menjawab dengan pendek ”belajar dari semesta” lalu kembali serius memandang langit malam seolah ingin memahami kebisuan yang ditawarkannya.
Aku duduk di samping si dungu. Udara padat dan berwarna pucat menelingkupi kami. Si Dungu masih terlentang memandang langit. Setelah beberapa saat dalam keheningan ia menoleh ke arahku. Matanya yang bulat kali ini terlihat kuyu.
“Bayangkan ”katanya” jika alam semesta tak di huni oleh satupun manusia.setiap benda hanya akan bergerak sesuai orde yang ditentukan. planet berputar mengelilingi matahari.matahari berputar mengelilingi pusat galaksi. Dan galaksi mengelilingi pusat jagad raya dalam keteratutan. Tampa kita manusia alam semesta hanya merupakan ruang raksasa tempat waktu bergulir begitu saja tampa ada yang memaknai. Kita manusia adalah pemberi makna alam semesta. Dan uniknya kita di tempatkan planet kecil ini bumi si kelereng biru yang jika dibandingkan dengan berjuta benda langit lainnya seakan hanya berupa setitik debu di keluasan angkasa raya”
Kami mendongak melihat langit. Bulan tampak bersinar dengan anggun. Gugusan bintang gemintang melayari langit. Kami memandangi sebuah bintang yang tampak pijaran cahayanya begitu terang sesaat lalu pada puncak pijarannya tampak bintang itu seperti meledakkan dirinya lalu tenggelam dalam kegelapan. Mungkin bintang itu sedang mengalami supernova.
Si dungu bangkit dari rebahannya lalu duduk menekuk. Kedua tangannya dilingkarkan di kakinya sesekali ia menghela nafas seperti membuang sebongkah batu besar yang bersemayam didadanya bersama hembusan nafasnya yang berat itu.
“Hasan “katanya menyebut namaku “keteraturan hanya bisa di hasilkan oleh sistem yang dikembangkan oleh sang pencipta karena Dia yang lebih mengetahui hakikat-hakikat ciptaannya. Demokrasi bagiku hanya menghasilkan penguasaan-penguasaan oleh kaum kapitalis di negeri ini juga di negeri tempat nenek moyang para nabi ia masih diterima setengah hati lantaran sebagian anak negerinya mengganggapnya sebagai berhala picisan baru. Demokrasi hanya baru bisa mapan di tempat kelahirannya Eropa barat laut beserta cecunguknya di Amerika utara sana. Tidak bisa tidak untuk mencapai keteraturan kita hanya perlu mengembangkan sistem yang telah dikembangkan oleh Tuhan. Kita hanya tinggal menerapkannya saja dalam kehidupan kita.
“Tidak sesederhana itu mengatur sistem sosial karena kita berbicara tentang manusia yang menggerakannya”
“Ya unik kita adalah mahluk yang unik bukan?” Si Dungu membentuk senyum tipis di bibirnya namun aku menangkap kesan kesinisan yang tajam pada senyumnya itu. Beberapa kali aku melihat Si Dungu membelai dadanya dan tampak seringai kesakitan yang coba disembunyikan di wajahnya.
“Meskipun sistem yang membangun tubuh kita manusia semua sama “katanya lebih lanjut “namun hampirlah mustahil menciptakan keseragaman dalam pola pikirnya. Banyak hal yang menjadi faktor pembedanya. Mungkin memang pikiranku hampir sepenuhnya utopis tapi aku bermimpi suatu saat bahwa kita mampu menerapkan sistem yang telah dikembangkan oleh Tuhan bagi keteraturan dan kesejahteraan kita semua. Ya di bumi Tuhan ini sudah sepatutnyalah kita menerapkan sistem dari Tuhan sendiri sebagai sang pencipta yang tentu saja mengerti hakikat-hakikat ciptaanNya.
Malam sudah beranjak setengahnya.satu-satu butiran embun membasahi rambut-rambut kami. Udara beruap dan rasa dingin menelingkupi tubuh kami. Pukul satu lewat tiga puluh kami bangkit dan beranjak meninggalkan lapangan berumput yang kami duduki. Dengan beriringan dan dalam kebisuan yang tertinggal dalam pikiran-pikiran, kami berjalan menuju rumah. Si dungu mengucap selamat malam sambil membuka pintu pagar rumahnya yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan rupanya itu adalah kali terakhir aku melihat Si Dungu membuat gerakan dengan tubuhnya.sesampainya di rumah setelah merebahkan tubuhnya yang gempal si dungu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Rupanya serangan jantung telah membungkam gerak di tubuhnya untuk selamanya.
Kini aku hanya memandangi tubuhnya yang telah terbujur kaku. Seperti pulau yang sepi teronggok sendiri membujur dalam keheningan. Jinx kucingg bermata biru itu terduduk  di pojok ruangan. Sesekali menggerakkan kumisnya dengan lesu dan merintih dengan caranya sendiri menangisi tuannya yang tlah beku.
Warga kampung banyak yang mengantar kepergian Si Dungu ke tempat peristrahatan terakhirnya. Gundukan tanah merah itu telah memendam tubuh Si Dungu dengan nisan tampa nama.hanya di letakan sebongkah batu sebagai nisannya. Memang begitulah pesan Si Dungu untuk kuburannya biarkanlah nisannya tampa nama karena baginya dirinya hanyalah seorang peziarah sementara di bumi tuhan ini. Si dungu hanya ingin kenangan tentang dirinya hidup dalam pikiran-pikiran orang yang telah mengenalnya.
Seekor burung terbang rendah lalu hinggap di atas batu nisan tanpa nama itu. Beberapa kali burung itu mematuk-matuk batu nisan itu. Lalu perlahan mengembangkan sayapnya untuk kemudian terbang melayang tinggi menuju langit.aku menatapi arah terbangnya burung itu.seolah burung itu mewujud si dungu dengan kebebasan yang ingin diraihnya juga dengan pikiran-pikiran utopisnya tentang sistem yang dikembangkan oleh Tuhan seperti yang di impikannya itu.
Aku meraih jinx kucing bermata biru itu lalu ku gendong sambil kubelai bulu berwana abu-abunya yang lembut. Sebongkah angin menampar tengkukku. Dingin. Dari pekuburan aku melangkahkan kaki ku dengan ringan dan merasa menjadi bagian dari Si Dungu yang hanya ingin menjadi peziarah di keluasan alam raya. (*)

TAMAT
×
Berita Terbaru Update