Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Apresiasi Sastra

31 Maret 2012 | Sabtu, Maret 31, 2012 WIB Last Updated 2012-03-31T03:06:25Z
Di antara Rima, Efoni, dan Kokofoni dalam Puisi
Oleh: Usman D.Ganggang
SALAH satu unsur penting yang mendukung kehadiran sebuah puisi adalah unsur musikalitas. Dikatakan penting, karena  unsur ini merupakan unsur intrinsik (= unsur yang membangun puisi yang datangnya dari dalam karya) itu sendiri. Bahkan pada unsur inilah terletaknya ciri utama sebuah puisi.  Tanpa unsur ini, demikian Arsyad (1986: 2.21), rasanya tidak mungkinlah sebuah karya sastra disebut puisi.
Harus diakui, unsur bunyi yang dihadirkan penyair dalam puisinya memang bermaksud untuk menyarankan makna. Tetapi fungsi utama sebuah bunyi dalam puisi adalah untuk membangun musikalitas atau kemerduan. Kemerduan puisi merupakan ciri puisi yang paling dominan. Dari kemerduan ini pula dapat diketahui bahwa puisi yang disusun seorang penyair, berusaha menyarankan makna kegembiraan, keceriaan, dan kehalusan yang disebut bunyi efoni ataukah bunyi yang menyarankan makna berat – berat, menyeramkan, mengerikan dan atau menakutkan yang sering disebut bunyi kokofoni.
Dalam unsur musikalitas inilah terdapat masalah rima (persajakan atau persamaan bunyi) dan masalah  bunyi tadi, yakni bunyi efoni dan kokofoni. Rima atau persamaan bunyi itu terdapat dalam puisi dan biasanya terdapat secara vertikal (= kata – kata di antara baris /larik yang satu dengan baris yang lainnya) juga secara horizontal (= pada kata – kata dalam sebuah baris/larik sebuah puisi).
Rima atau persamaan bunyi ini akan lebih tampak pada karya sastra lama yakni pantun. Ciri utamanya adalah  memiliki sampiran (= alam sebagai perlambang) kemudian menuju pada isi dari perlambang yang diungkapkan. Iya, pemantun akan berusaha mengambil alam sebagai simbol untuk membantu hadirnya sebuah makna (isi). Selain itu, dikenali dengan pola rimanya (persajakan), yakni pola: a b a b.
Perhatikan contoh berikut ini!
Anak ikan dipanggang  saja
Hendak dipindang tiada berkunyit
Anak orang dipandang saja
Hendak dipinang tiada berduit
Pada larik (=baris) pertama dengan larik ketiga ada persamaan bunyi a (a) sedangkan pada larik kedua dan keempat ada persamaan bunyi t (b). Jelasnya, pola persajakan pada pantun adalah: a b a b. Dalam pola lama, persajakan ini jangan dilanggar karena kalau dilanggar akan menjadi tidak bernilai.
Selain persajakan atau persamaan bunyi, demikian Arsyad (1986: 2.24), maka sebuah puisi dikatakan baik, jika didukung pula oleh unsur bunyi. Unsur ini akan menjadi jauh lebih penting dari persajakan seperti terurai di atas tadi. Pasalnya, di samping membangun musikalitas (kemerduan), unsur bunyi juga menyarankan makna – makna tertentu pada sebuah puisi. Dalam unsur bunyi terdapat dua bunyi yaitu efoni dan kokofoni. Bunyi efoni adalah bunyi yang menyarankan makna: kegembiraan, keceriaan, atau melambangkan kehalusan atau yang bersifat kecil. Contoh bunyi vokal : a, i, e. Untuk tidak sekedar omong berikut ini contohnya:
titip rindu
karya Sri Wulan Punyacerita

gerimis masih menari
sedang suara- suara letih jatuh
menyentuh  rasa merasuk jiwa
dan dingin menyeruak
hati beriak

kucukupkan gelisahku malam ini
juga rindu, di tepian sudut yakin menepi
maafkan jika aku hanya bisa menyenggol lirih
menitipkan rindu telah membuncah
sebab aku hanya lirih

tercipta dari rintihan nafas
menyeruak dari takdir sepi terkupas
membentuk lokus -lokus diri tanpa batas
terpajang di kosongan waktu
Dan sepi pun lengkap...
Makasar, Jin69a_190809
Mencermati puisi karya Sri Wulan di atas, kita akan berdecak kagum, betapa “aku – lirik” berusaha untuk berkomunikasi dengan merdu. Dengan kehalusan rasa pada dirinya, dia  menyampaikan kehalusan rasanya melalui bunyi efoni (a, i, e) dalam beberapa kata, dan kalau dihitung dengan cermat, betapa bunyi vocal  i, a, dan e yang dominan. Dengan menimbang makna bunyi efoni ini, kepada kita diberitahu penyairnya dalam puisinya bahwa “aku – lirik”(aku yang diceritakan) dalam sepinya merindukan “dia – lirik” di seberang. Siapakah “dia = lirik”? Ya, bisa orangtua, bisa adik – kakak, bahkan bisa rindu kepada kekasihnya yang tidak berkontak baik lewat surat maupun melalui HP.
Bandingkan dengan Puisi vanera el arj dalam “Dalam Rindu Pinta Cintaku
 
aku menyapamu lembut dengan desah jiwa sukmaku,
menembus haribaan suci dadamu,
kemudian lirih suaramu mengerang dalam telingaku,
aku menggelinjang dalam sabana anugrah terindah
 
gemetar bibir menyebut Asma
dalam pinta untuk cinta,
memuji setiap inci geletar hati,
menembus kalbu memburu kilatan biru
 
jika cinta membawa aku ke jurang nista,
duhai Kekasih,
bunuhlah cinta dalam diriku,
hingga tiada satu tempatpun untuknya
 
jika cinta mengantarku ke haribaanmu,
izinkan aku bahagia dengan cinta ini...
atas kerelaan
 
"kelam itu masih membalut kelopak hatiku
 adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?"
 
terasa menindih, aku tertindih...
kini hujan, matahari tak lagi menampakkan diri
hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap
 aku menangis!!!
dalam sepi rindu pinta cintaku
 
“Aku – lirik”(hamba)  dalam “Dalam Rindu Pinta Cintaku”, berkomunikasi dengan “DIA – lirik (Allah ). Dia takut, ngeri,bahkan seram dialami dalam pengembaraan imajinasinya. Karena itu, sebelum “aku – lirik berpasrah total setelah tiba dari pengembaraannya dia masih bertanya dalam hatinya sebagai bahan introspeksi: /"kelam itu masih membalut kelopak hatiku/ adakah aku kan dapati senarai lentera di tengah kebutaan ini?"//. Dan tampaknya,”aku – lirik” menjawab sendiri : / hanya bengis sadis lumpur dan cercaan cucuran atap/ aku menangis!!!/ dalam sepi rindu pinta cintaku//. Inilah inti kerinduan “aku – lirik” pada sang Kekasih (Allah).
 
Vokal – vokal u yang melekat pada diksi yang tepat di atas, seakan memberitahu kepada penikmat bahwa “aku – lirik” dalam kondisi takut, ngeri, seram ketika berkomunikasi dengan Sang Kekasih (Allah). Kondisi kengerian, keseraman, serta ketakutan yang diimbangi dengan kehadiran vocal u di dalamnya pertanda bahwa betapa “aku – lirik” kian rindu untuk mengusir sepi yang menyebabkan dia menangis. Kehadiran bunyi vocal u (termasuk kalau ada kehadiran vocal o) akan tercipta  bunyi “kokofuni” (bunyi yang menyarankan makna kengerian, ketakutan, kegamangan, serta keseraman).Nah sekarang coba dihitung bunyi kokofoni dalam beberapa larik puisi  vanera el arj di atas? Pasti akan tampak dominan vocal u tinimbang dengan bunyi i, e, dan a (bunyi efoni) seperti spada puisi karya Sri Wulan dari Makasar.
Selain bunyi kokofoni dan efoni, juga dihadirkan rima (persajakan) dalam kedua puisi tersebut. Perhatikan pada larik/baris : /jika cinta membawa aku ke jurang nista, /duhai Kekasih, /bunuhlah cinta dalam diriku, /hingga tiada satu tempatpun untuknya//
 pada puisi  Dalam Rindu Pinta Cintaku karya vanera el arj  dan  pada “Titip Rindu” karya  Sri Wulan dari Makasar terbaca  juga:/ dan dingin menyeruak/hati beriak//. Kesemuanya  demi kemerduan  menuju makna  utuh . (*)
Penulis: Penyair kelahiran Bambor – Kempo NTT, dan berdomisili di Kota Bima –NTB.
×
Berita Terbaru Update