Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Menakar Pentingnya Sertifikasi bagi Wartawan (2)

20 Februari 2012 | Senin, Februari 20, 2012 WIB Last Updated 2012-02-20T02:51:17Z

Regulasi Dewan Pers menyoal keberadaan kapabilitas dan kompetensi jurnalis melahirkan sistem sertifikasi kewartawanan. Namun yang terpenting, hanya dengan berbuat dan berjuang membangun kembali pranata pers yang beradab, disegani dan dihormati, harkat dan harga diri seorang Juarnalis dapat dihargai publik.
Berikut catatan Wartawan Suara Mandiri, M.Aris Effendi.

DIBILANG penting sangat penting. Tetapi sesungguhnya regulasi sertifikasi bagi wartawan yang digulirkan Dewan Pers, bukan semata mengukur kemampuan, kompetensi dan kapabilitas serta keahlian wartawan dalam melakoni profesi pewartanya. Yang lebih penting pertanyaannya, apakah dengan regulasi dan mengukur itelegensi wartawan, sanksi dan akibat hukum apa, jika terjadi pelanggaran etika dan profesi sesuai undang-undang pers yang berlaku yang bisa disikapi Dewan Pers. Begitu sentilan awal terlontar dari bibir, Khairuddin M Ali, mantan Ketua PWI Cabang Bima, membuka percakapan dengan Suara Mandiri, baru-baru ini.
Dewan Pers, tidak bisa berbuat dan tidak memiliki kewenangan “mencubit pers nakal dan perusahaan media nakal” dengan meregulasikan sertifikasi semacam itu. Sebabnya, dalam pasal 15 Undang-Undang Pers nomor 04 tahun 1999, menyebutkan tugas pokoknya mengadvokasi kebebasan pers saja. Mestinya, dipikirkan apa sanksi dan konskwensi hukum yang tepat, jika ada jurnalis dan perusahaan media yang bekerja diluar jalur hukum dan etika yang telah ditentukan. “Toh selama ini, kita dibiarkan berjalan tanpa ada konsekwensi hukum apapun, “timpalnya. Sembari mengatakan, wajar saja tumbuh perusahaan media (dengan terbitan Koran yang tidak dicetak) asal-asalan, padahal semuanya sudah diatur dalam UU tersebut. Tidak ada yang mampu berkata apa-apa, semuanya berjalan tanpa bisa dilarang. Membangun media dengan tampilan foto copy, wartawan tidak punya gaji yang oleh “perusahaannya” dibiarkan “mengais” rezeki sesuka hati. Lalu tiba-tiba seseorang tanpa berproses bisa jadi Pemimpin Redaksi (Pimred) dan banyak lagi fenomena lain, telah membuat dinamika negatif di tanah Bima ini, terhadap potret dunia media informasi yang tentu akan berpengaruh tidak sehat pula.  
Bicara regulasi yang digulirkan Dewan Pers, kata wartawan senior dan pemilik berbagai perusahaan Media ini, sesungguhnya, telah terpikirkan olehnya jauh massa sebelumnya. Fenomena dan problematika dan dinamika yang mengarah kepencitraan negatif, terhadap keberadaan wartawan berikut perusahaan pers yang tidak profesionalisme, sudah dibayangkannya puluhan tahun silam, sama saat dirinya membangun dan melahirkan perusahaan pers serta bergelut dalam dunia jurnalis.
Saking bersemangatnya, untuk membuat pers dan perusahaan media yang professional dengan berdasar serta berkiblat pada kode etik dan UU Pers yang ada, selalu dan secara tegas mengatakan kebenaran atas kekhawatiran, munculnya paradigma yang bertolak belakang dengan domain pers professional seperti yang terjadi sekarang, dimana, siapapun dengan mudahnya mendirikan media pers tanpa memperhatikan stigma aturan yang berlaku. Hingga dirinya di demo dan ditimpali sebagai seorang yang takut disaingi. Padahal niat untuk membuat pers yang dihormati dan disegani, bukan profesi yang dapat ditukar dengan amplop oleh seseorang, lalu semuanya dapat dimaafkan.
Kini, media dan predikat pers, sudah dijadikan alat propaganda untuk memuluskan kepentingan pribadi. Profesi mulia itu, seakan telah pudar dengan pencitraan yang sengaja dipraktekan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab yang hanya memanfaatkan profesi tersebut sebagai lambang, untuk menakut-nakuti pihak lain. Track record wartawan sesuai kode etik yang berlaku, telah dikesampingkan. 
Niat baik mewujudkan pers professional dan perusahaan media yang berkualitas, tetap menjadi harapan dalam membangun pers dan media yang beradab, disegani dan dihormati. Sebab hanya dengan berbuat dan berjuang membangun kembali pranata pers semacam itulah, harkat dan harga diri seorang yang berprofesi sungguh-sungguh terhadap dunia jurnalis, dapat dihargai public. “Saya memiliki tanggung jawab moral akan hal itu, “ujarnya.
Malah tudingnya, peran pemerintah atas fenomena dan tumbuh suburnya jurnalis dan perusahaan media “kebablasan” sangat besar. Pemerintah telah melakukan pembiaran atas fenomena tersebut. Media dan pers manapun, tanpa memiliki kejelasan, semua diakomodir.  Bahkan parahnya pemerintah seakan mengkotak-kotakan keberadaan media, sesuai kepentingan dan keinginan pejabat tertentu yang tengah berkuasa.
“Kalau pengkotakan itu karena alasan menegakan aturan yang ada dan membuat pers dan perusahaan media yang professional sesuai aturan, itu bagus. Tetapi karena kedekatan dan latar belakang kepentingan, sungguh keliru dan tidak membawa dampak positif terhadap perkembangan dunia pers pada hakekatnya,“ sentilnya.
Kalau pemerintah, serius mensinergikan kode etik dan UU pers yang berlaku dengan bersikap tegas pada pers dan perusahaan media yang betul-betul taat akan aturan yang berlaku. Maka seleksi alam pada profesi tersebut akan berjalan dengan baik. Siapapun yang berkeinginan menggantungkan harapan menjadi Pers dan membangun perusahaan media, pasti akan mengendepankan profesionalisme dan kualitas. Sebab, pemerintah utama sekali dan publik pada umunya, dengan kesadaran pula, akan mengkonsumi Koran yang berkualitas dengan pers yang professional dan berkualitas pula.
Pada ranah ini, harus ada keberanian pemerintah untuk memulai, menfilterisasi dan menyeleksi profesi pers yang mana yang mesti diterima dan perusahaan media yang mana yang menjadi langganan. Dengan begitu, pemerintah telah ikut berpartisipasi memberikan pencerdasan dan meregulasikan aturan yang ada secara bermartabat pula. (*)
×
Berita Terbaru Update