Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Menakar Pentingnya Sertifikasi bagi Jurnalis (1)

17 Februari 2012 | Jumat, Februari 17, 2012 WIB Last Updated 2012-02-17T15:07:13Z

Regulasi terbaru dari Dewan Pers menyoal keberadaan, kapabilitas dan kompentensi jurnalis (wartawan) dengan melahirkan system sertifikasi kewartawanan. Uji kemampuan dan kemandirian profesi mulai ini, tentu dilandasi keberadaan dan sepak terjang wartawan yang berdinamika. Perlukah sertifikasi itu? Berikut catatan Wartawan Suara Mandiri, M Aris Effendi.

JURNALIS adalah perwarta. Pewarta adalah profesi pemberi informasi dan publikasi bagi publik. Di zaman serba canggih ini, hitam putihnya informasi tergantung sungguh apa yang disiarkan sang pewarta. Penciptaan opini begitupun sugesti sebuah makna berita berpengaruh dominasi atas penyelia berita itu sendiri.
Hakekat independensi dalam aktualisasi pemberitaan oleh pewarta, kini, mulai pudar. Bahkan cenderung kebablasan dan tak terkendali. Semau gue dan tidak sedikit menancapkan “kuku” nafsu pribadi layaknya opini pribadi dalam sebuah pemberitaan. Padahal imajinasi, opini pribadi yang tidak menyentuh esensi pemberitaan diharamkan dalam sebuah pemberitaan, kecuali awak media itu menulisnya dalam bentuk feature atau berita bercerita.
Fakta tak terbantahkan, ada banyak sumber yang ditulis dalam sebuah pemberitaan merasa kecewa, bahkan kesal dengan pencantuman nama dan pemberitaan atas jabatan dan profesi serta pribadinya, padahal tidak pernah dikonfirmasi sebelumnya. Padahal sesuai kode etik wartawaan dan aturan yang ada di Undang-undang (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Seperti tertuang dalam pasal 3 (1) UU dimaksud, bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Dan dalam penjelasan pasal 5-nya, menyebutkan, pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses penyelidikan, serta dapat mengakomodir kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Tidak sedikit pula, termasuk di Bima, hegemoni dan pengakuan tanpa batas akan profesi mulia ini, banyak dimanfaatkan oleh manusia tak bertanggung jawab yang berpura-pura menyandang predikat wartawan, cukup bermodalkan kartu pers yang gampang dibuat, lalu berkicau merdu “Saya Wartawan”. Mengintimidasi dan memanfaatkan kelemahan seseorang yang takut akan salah yang dibuat, lalu memeras dengan dalih tidak akan memberitakan. Senjata ini cukup ampuh untuk mendapat rupiah haram bukan dari memeras keringat atas kerja profesi itu. Sungguh miris dan memalukan profesi yang tengah dalam proses pencitraan dan membiasakan masyarakat tentang dunia jurnalis.
Tentu lahirnya ide baru Dewan Pers guna memberikan regulasi atas keberadaan jurnalis begitu penting dan perlu. Mungkin dengan model memberikan sertifikasi yang sebelumnya dilakukan uji kompentensi dan kemampuan serta keahlian sesuai bidang profesi tersebut, akan lahir pekerja media yang paham akan profesi dan tentunya berlaku professional. Berat memang, tetapi kalau tidak dimulai dari sekarang, dikhawatirkan profesi dan dunia jurnalis, akan menjadi “cendawan bau amis” dan “tak berbisa”. Orang lalu menganggap sepele dan mungkin akan memerangi profesi ini, akibat dari ketidak-profesionalismenya pemangku profesi itu sendiri.
Kabag Humas dan Protokol Setda Kota Bima, Muhammad Hasyim mengapresiasi, regulasi baru menyoal keberdaan jurnalis dengan proses pemberian sertifikasi terlebih dahulu atas profesi yang digelutinya itu. Menurutnya, sertifikasi wartawan yang diregulasikan Dewan Pers sangat bagus dan sangat perlu. Artinya dengan sertifikasi tersebut, payung hukum kebebasan publik dalam berpendapat, mengharuskan stackholder penerima informasi, memerlukan orang-orang cerdas.
Jurnalis, kata Hasyim, komponen penting sebagai garda terdepan dalam menyediakan informasi publik. Wartawan sebagai petugas lapangan haruslah memiliki kopentensi dan keahlian agar bisa menyajikan data dan informasi yang dijadikan berita yang layak dibaca masyarakat. Karena pemberitaan yang disajikan merupakan dogma dan referensi bagi perubahan pola pikir masyarakat pembaca. Pemerintah kata Hasyim, menyambut positif adanya ujian dan seleksi atau apapun namanya (sertifikasi). Dengan niat meregulasi sertifikasi oleh Dewan Pers tentu akan dapat menguji dan mengukur kualitas kuli tinta dalam menjalankan tugas dan profesi sebagai wartawan.   
Sekelumit harapan pemerintah, dengan uji kopentensi (Sertifikasi) akan mendorong dan memacu jurnalis dalam meningkatkan kemampuan serta bisa menjujung tinggi kode etik jurnalis dan UU Pers sebagai payung hukum keberadaan. Dimata pemerintah, jurnalis adalah pilar terpenting karena keberadaanya menggambarkan hitam putihnya kinerja pemerintah. Dengan uji kopentensi lalu adanya sertifikasi, maka membuktikan profesionalisme dan keahlian wartawan. “Kami apresiasi regulasi uji kelayakan itu, dan semoga didaerah ini lahir jurnalis yang bekerja secara nurani dengan mengedepankan profesionalisme profesi”, harapnya.
Tentu seleksi alampun akan melahirkan jurnalis beretika baik dan jurnalis bertanggung jawab, sehingga informasi yang dikonsumsi yang mencerdaskan bagi pola pikir, intelegensi serta dedikasi yang profesional pula. Pemerintah, katanya, ikut menyepakati apa yang menjadi kebijakan intern komunitas profesi ini (Dewan Pers). Termasuk nantinya dalam sebuah kebijakan yang tidak bertolak belakaang dengan niatan dan regulasi tersebut. (*)   
×
Berita Terbaru Update