PROSES upacara adat hanta U’a Pua dalam
rangka memperingati Maulud Nabi Besar Muhammad SAW tahun 1433 H, Rabu kemarin
di Museum ASI Bima, berlangsung meriah. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya. Perayaan penuh nilai sakralitas dan kental kebudayaan itu tak hanya
disaksikan oleh jajaran pejabat pemerintah daerah, tapi menjadi tontonan
menarik dari lapisan masyarakat.
Upacara adat tersebut, selain
dihadiri seluruh jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, juga dihadiri
pejabat eselon Pemerintah Kabupaten Bima. Turut hadir saat itu, Gubernur NTB
diwakili oleh Kepala Pariwisata Provinsi NTB dan Walikota Bima yang diwakili
oleh Wakil Walikota Bima.
Upacara dimulai sekitar pukul 09.00
wita, diawali dengan penampilan drum band siswa SMPN Kabupaten Bima, kemudian berlanjut
dengan tarian massal dengan menggunakan pakaian adat Bima oleh siswa dan siswi
SDN se Kabupaten Bima.
Usai itu, Ketua Majelis Adat Sara
Dana Mbojo Dr. Hj. St. Maryam M. Salahuddin, SH dalam sambutan singkatnya
mengatakan, atas nama majelis adat dana Mbojo dan Pemerintah Daerah
menyampaikan ucapan selamat datang dan terimakasih yang tiada terhingga kepada
seluruh undangan yang sempat hadir menyaksikan prosesi Hanta U’a Pua.
Kata dia, jaman dahulu, pada prosesi
Hanta U’a Pua membawa pesan, mulai dari jajaran Sultan Bima hingga seluruh
rakyat, diwajibkan untuk menjalankana ajaran agama Islam dengan sebaik-baiknya.
Upacara Hanta Pua sendiri, sebagai
bentuk awal masuknya agama Islam yang dibawa sejak tahun 1609. “Sebelumnya
agama Islam masuk di Goa Makassar sekitar tahun 1605. Kemudian berlanjut ke
Bima,” katanya.
Tradisi Hanta U’a Pua sudah
dilakukan sejak jaman dahulu kala, pelaksanaannya sempat terhenti dan oleh
Majelis Adat Sara Dana Mbojo mulai melaksanakannya kembali sekitar tahun 2003
silam.
“Upacara ini bukan dibuat-buat.
Pelaksanaannya hari ini, merupakan upacara yang sejak jaman dahulu
dilaksanakan, dengan seluruh rangkaian kegiatannya yang penuh dengan nilai,”
ujarnya.
Kemudian Wakil Walikota Bima H. A. Rahman
H. Abidin dalam sambutannya mengatakan, tradisi Hanta U’a Pua bagi masyarakat
Bima memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi, bukan saja karena tradisi
tersebut telah menjadi agenda sejarah yang mampu dilestarikan, akan tetapi
upacara tersebut memiliki nilai yang amat sakral.
“Karena secara historis, upacara ini
menandai kesungguhan masyarakat Bima dalam menjalankan ajaran Islam secara
totalitas dengan menerima Al-Quran sebagai pedoman hidup dan Nabi Muhammad SAW
sebagai teladan yang wajib diikuti,” tuturnya.
Lanjutnya, peringatan upacara Hanta
U’a Pua bukan semata pelestarian kebudayaan dan pariwisata Bima atau agenda
seremonial semata, tetapi menjadi momentum refleksi masyarakat Bima, tentang
dimensi keimanan dan keislaman yang diyakini. “Momentem ini merupakan hal
penting untuk merekatkan kembali serpihan tali silahturahim yang pernah
terkoyak. Mari kita satukan kembali untuk kemjauan Bima secara utuh,” ajaknya.
Selanjutnya, Bupati Bima pada
sambutannya mengatakan, dirinya melihat adanya pergeseran nilai, moral, akidah,
budaya dan adat istiadat pada masyarakat. Oleh karena itu, dirinya berharap dan
berpesan, agar orang Bima kembali ke adat dan istiadat orang tua, nenek moyang
dan leluhur sejak tanah Bima ada. Karena dengan itulah, masyarakat Bima bisa
merajut kembali hubungan kekeluargaan yang sangat kental pada saat itu.
Dirinya melihat, hal-hal itu sudah
banyak yang ditinggalkan. Melalui moment upacara Hanta U’a Pua, dia mengajak
untuk ajarkan kembali anak cucu dan generasi, bahwa Bima kita adalah daerah
yang maju, sejahtera, dan daerah yang menghargai sejarah.
“Orang Bima memiliki karakter yang
islami, cinta damai, mau menghargai satu dengan yang lain. Itu tercermin juga
dalam falsafah dan sistem Kesultanan Bima. Maka dari itu, melalui moment ini,
kita mulai merangkai kembali pergeseran itu,” ajaknya.
Memasuki proses hanta U’a Pua,
pasukan Jara Wera sebagai pengawal pendekar memasuki halaman istana, kemudian
disusul kedatangan Jara Saru atau pasukan berkuda dengan kuda yang pandai
menari. Tak berselang lama, diiringi suara gendang kerajaan, Uma Lige (Rumah
Mahligai) yang menyerupai Masjid, ditanduk oleh masyarakat Bima memasuki
halaman istana.
Uma Lige yang membawa salah seorang
tokoh Melayu dan membawa empat orang putra dan putri serta serumpun tangkai
bunga telur berwarna warni yang dimasukan dalam wadah segi empat dan dihias ala
Melayu yang berjumlah 99 tangkai sesuai dengan Asmaul Husna di antar menuju
pewaris kerajaan.
Usai diserahkan salah Al-Quran oleh
tokoh Melayu kepada Jena Teke, dilanjutkan dengan tarian oleh empat putra dan
putrid dihadapan pewaris kerajaan. Setelah itu, tangkai bunga telur yang
kemudian dibagikan ke masyarakat yang hadir, sekaligus menjadi akhir proses
upacara adat tersebut. (adv-bin)