Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Hanta U’a Pua, Momentum Refleksi Masyarakat Bima

23 Februari 2012 | Kamis, Februari 23, 2012 WIB Last Updated 2012-02-23T13:33:05Z

PROSES upacara adat hanta U’a Pua dalam rangka memperingati Maulud Nabi Besar Muhammad SAW tahun 1433 H, Rabu kemarin di Museum ASI Bima, berlangsung meriah. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Perayaan penuh nilai sakralitas dan kental kebudayaan itu tak hanya disaksikan oleh jajaran pejabat pemerintah daerah, tapi menjadi tontonan menarik dari lapisan masyarakat.

Upacara adat tersebut, selain dihadiri seluruh jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, juga dihadiri pejabat eselon Pemerintah Kabupaten Bima. Turut hadir saat itu, Gubernur NTB diwakili oleh Kepala Pariwisata Provinsi NTB dan Walikota Bima yang diwakili oleh Wakil Walikota Bima.
Upacara dimulai sekitar pukul 09.00 wita, diawali dengan penampilan drum band siswa SMPN Kabupaten Bima, kemudian berlanjut dengan tarian massal dengan menggunakan pakaian adat Bima oleh siswa dan siswi SDN se Kabupaten Bima.
Usai itu, Ketua Majelis Adat Sara Dana Mbojo Dr. Hj. St. Maryam M. Salahuddin, SH dalam sambutan singkatnya mengatakan, atas nama majelis adat dana Mbojo dan Pemerintah Daerah menyampaikan ucapan selamat datang dan terimakasih yang tiada terhingga kepada seluruh undangan yang sempat hadir menyaksikan prosesi Hanta U’a Pua.
Kata dia, jaman dahulu, pada prosesi Hanta U’a Pua membawa pesan, mulai dari jajaran Sultan Bima hingga seluruh rakyat, diwajibkan untuk menjalankana ajaran agama Islam dengan sebaik-baiknya.
Upacara Hanta Pua sendiri, sebagai bentuk awal masuknya agama Islam yang dibawa sejak tahun 1609. “Sebelumnya agama Islam masuk di Goa Makassar sekitar tahun 1605. Kemudian berlanjut ke Bima,” katanya.
Tradisi Hanta U’a Pua sudah dilakukan sejak jaman dahulu kala, pelaksanaannya sempat terhenti dan oleh Majelis Adat Sara Dana Mbojo mulai melaksanakannya kembali sekitar tahun 2003 silam.
“Upacara ini bukan dibuat-buat. Pelaksanaannya hari ini, merupakan upacara yang sejak jaman dahulu dilaksanakan, dengan seluruh rangkaian kegiatannya yang penuh dengan nilai,” ujarnya.
Kemudian Wakil Walikota Bima H. A. Rahman H. Abidin dalam sambutannya mengatakan, tradisi Hanta U’a Pua bagi masyarakat Bima memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi, bukan saja karena tradisi tersebut telah menjadi agenda sejarah yang mampu dilestarikan, akan tetapi upacara tersebut memiliki nilai yang amat sakral.
“Karena secara historis, upacara ini menandai kesungguhan masyarakat Bima dalam menjalankan ajaran Islam secara totalitas dengan menerima Al-Quran sebagai pedoman hidup dan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang wajib diikuti,” tuturnya.
Lanjutnya, peringatan upacara Hanta U’a Pua bukan semata pelestarian kebudayaan dan pariwisata Bima atau agenda seremonial semata, tetapi menjadi momentum refleksi masyarakat Bima, tentang dimensi keimanan dan keislaman yang diyakini. “Momentem ini merupakan hal penting untuk merekatkan kembali serpihan tali silahturahim yang pernah terkoyak. Mari kita satukan kembali untuk kemjauan Bima secara utuh,” ajaknya.
Selanjutnya, Bupati Bima pada sambutannya mengatakan, dirinya melihat adanya pergeseran nilai, moral, akidah, budaya dan adat istiadat pada masyarakat. Oleh karena itu, dirinya berharap dan berpesan, agar orang Bima kembali ke adat dan istiadat orang tua, nenek moyang dan leluhur sejak tanah Bima ada. Karena dengan itulah, masyarakat Bima bisa merajut kembali hubungan kekeluargaan yang sangat kental pada saat itu.
Dirinya melihat, hal-hal itu sudah banyak yang ditinggalkan. Melalui moment upacara Hanta U’a Pua, dia mengajak untuk ajarkan kembali anak cucu dan generasi, bahwa Bima kita adalah daerah yang maju, sejahtera, dan daerah yang menghargai sejarah.
“Orang Bima memiliki karakter yang islami, cinta damai, mau menghargai satu dengan yang lain. Itu tercermin juga dalam falsafah dan sistem Kesultanan Bima. Maka dari itu, melalui moment ini, kita mulai merangkai kembali pergeseran itu,” ajaknya.
Memasuki proses hanta U’a Pua, pasukan Jara Wera sebagai pengawal pendekar memasuki halaman istana, kemudian disusul kedatangan Jara Saru atau pasukan berkuda dengan kuda yang pandai menari. Tak berselang lama, diiringi suara gendang kerajaan, Uma Lige (Rumah Mahligai) yang menyerupai Masjid, ditanduk oleh masyarakat Bima memasuki halaman istana.
Uma Lige yang membawa salah seorang tokoh Melayu dan membawa empat orang putra dan putri serta serumpun tangkai bunga telur berwarna warni yang dimasukan dalam wadah segi empat dan dihias ala Melayu yang berjumlah 99 tangkai sesuai dengan Asmaul Husna di antar menuju pewaris kerajaan.
Usai diserahkan salah Al-Quran oleh tokoh Melayu kepada Jena Teke, dilanjutkan dengan tarian oleh empat putra dan putrid dihadapan pewaris kerajaan. Setelah itu, tangkai bunga telur yang kemudian dibagikan ke masyarakat yang hadir, sekaligus menjadi akhir proses upacara adat tersebut. (adv-bin)
×
Berita Terbaru Update