SK 188 Bukan ‘Kitab Suci’
DESAKAN pencabutan SK188 oleh warga masyarakat Kecamatan Lambu
sudah menjadi harga mati dalam tuntutan setiap aksi yang digelar sejak
bergulirnya rencana eksplorasi tambang emas di wilayah Kecamatan Sape, Lambu
dan Kecamatan Langgudu, hingga berujung maut yang menewaskan dua warga Lambu
saat pembubaran paksa massa aksi yang menduduki Pelabuhan Sape, 24 Desember
2011.
Seharusnya hal ini menjadi pelajaran
penting bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bima, khususnya Bupati Bima selaku
pemilik kebijakan. Namun Bupati Bima enggan merubah keputusannya untuk mencabut
secara penuh izin eksplorasi pertambangan dimaksud dengan alasan takut
melanggar hukum dan tidak mau masuk penjara. SK 188 itu bukanlah ‘kitab
suci’ yang diagung-agungkan menjadi petunjuk perjalanan hidup manusia,
sehingga tak bisa dirubah lagi. Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia tahun 1945 saja masih bisa dilakukan amandemen karena disesuaikan
dengan tuntutan zaman dan situasi kehidupan bernegara, apalagi hanya sekedar
Surat Keputusan (SK) yang nilai kepentingannya tak seberapa dibanding dengan
kepentingan rakyat banyak.
Seperti halnya desakan dua Fraksi di
DPRD Kabupaten Bima masing-masing Fraksi PAN dan Fraksi PKDIR yang yang
memberikan rekomendasi untuk mencabut SK 188 itu pada rapat pembahasan tuntutan
warga Kecamatan Lambu yang mendesak pencabutan SK 188, di Gedung DPRD Kabupaten
Bima, Sabtu (21/1). Desakan itu atas pertimbangan masalah stabilitas daerah
karena dikhawatirkan jika terus dipaksakan berjalan, maka menyebabkan persoalan
yang jauh lebih besar.
Masalah lain yang mendesak dan
menjadi alasan penting pencabutan izin dimaksud yakni penyetoran uang jaminan
keseriusan dari PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang melakukan eksplorasi
tambang di wilayah Sape, Lambu dan Langgudu. Keberadaan dana dimaksud menjadi
bahan pembicaraan dalam rapat anggota dewan. Sebab, baik dalam neraca ABPD
tahun 2011 maupun laporan eksekutif sendiri, tidak pernah adanya penjelasan
tentang uang jaminan keseriusan sebagai kewajiban dari PT SMN. Seharusnya uang
jaminan keseriusan itu disetorkan perusahaan sebelum izin eksplorasi diteken
Kepala Daerah. Nyatanya, sampai sekarang tidak ada uang itu. Tapi izin
pertambangan (SK188) itu muncul dipermukaan. Pertanyaannya, ke mana uang
tersebut? Kedok lahirnya izin usaha pertambangan (IUP) PT SMN pada wilayah Sape
dan Lambu tersebut, diakui Mulyati sebagai Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bima
pada periode sebelumnya.
Kondisi ini menyeret Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Bima dinilai telah melanggar Undang-Undang (UU) atas
lahirnya IUP eksplorasi PT SMN di Kecamatan Sape dan Lambu. Sebab adanya
uang jaminan keseriusan dari PT SMN yang disetorkan pada kas Pemerintah sebelum
SK eskplorasi, padahal SK lahir, setelah uang jaminan keseriusan disetor.
Seharusnya dalam hal Bupati Bima tidak perlu takut untuk mencabut total SK izin eksplorasi PT
SMN dengan alasan takut melanggar UU karena pemerintah sendiri juga sudah
langgar UU. Alasan Bupati khawatir melanggar UU dan didatangi ramai-ramai warga
karena telah melanggar sumpah jabatan (impechment), tidak beralasan karena
pemerintah sendiri sudah melanggar UU. Kecuali memang uang keseriusan PT SMN
itu sudah dikantongi ‘secara pribadi’? Jadi, tidak ada alasan lagi pemerintah
untuk tidak mencabut secara penuh izin dimaksud. Sekali lagi, SK 188 ‘bukan
kitab suci’! (*)