Kota Bima,
(SM).- Dianggap
tidak transparan dan mahalnya biaya sekolah, sejumlah warga Kelurahan Rontu
menggelar aksi demo didepan SMPN 5 Kota Bima dan kantor Dinas Pendidikan Pemuda
dan Olahraga (dikpora). Satu tuntutan sekolah gratis yang digaungkan segera
direalisasikan.
Massa menuntut agar
sekolah gratis dapat direalisasikan tidak seperti saat ibi harus membayar uang
sampai Rp 460 ribu setiap siswa, transparansi keuangan khususnya dana BOS dan
Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Saat orasi, Adhar
menuding pihak sekolah telah terjadi penyalahgunaan anggaran dilakukan secara
bersama-sama oleh guru dan pihak Kepala Sekolah (kepsek) mengenai uang beasiswa
bagi siswa. Jumlah
anggaran beasiswa yang diterima siswa tidak sama jumlahnya namun berfariasi ini
yang menjadi pertayaan orang tua murid.
Seperti untuk
beasiswa ditahun 2013 ini siswa ada yang mendapat Rp 250 ribu, Rp 50 ribu bahkan ada
juga yang mendapatkan Rp 275 ribu, pembagian uang tersebut juga dikatakan tidak
transparan cenderung ditutup-tutupi. Begitupun dengan jumlah
uang yang arus dikumpulkan oleh siswa setiap tahunnya sangat besar mencapai Rp
460 ribu.
Menurut mereka,
uang sebesar Rp 460 ribu ditingkat SPMN begitu besar dan memberatkan bagi orang
tua murid, terlebih adanya aturan wajib belajar sembilan tahun dimana
pemerintah telah menganggarkan semua biaya sekolah sehingga masyarakat dapat
mengikuti pendidikan secara gratis.
Kata gratis kini
faktanya bohong belaka, di SMPN 5 siswa harus membayar berbagai biaya dari
komite, osis sampai pramukan.Usai menggelar aksi di depan SMPN 5 warga kemudian
mendatangi Dinas Dikpora menyuarakan tuntutan yang sama.
Kepsek SPMN 5 Kota
Bima, Zainudin, Spd diwawancara
terpisah, mengatakan semua yang
dikatakan pendemo tadi adalah tidak benar, pihaknya tetap berasaskan
tranparansi dalam tata kelola keuanga. Begitupun dengan adanya anggaran BMS,
seluruh siswa yang menerima BSM disampaikan secara gamblang mengenai jumlah
uang yang diterimanya.
Diakui juga, hanya
terjadi miskomunikasi dengan warga, masalahnya ada uang BSM yang diterima oleh
siswa kurang dari jumlah yang dituangkan. Itu bukan dipotong sengaja oleh pihak
sekolah namun prosesnya diberikan kepada siswa kemudian diminta untuk membayar
tunggakan komite.”tidak benar kita tidak transparana,” pungkasnya.
Kemudian mengenai
adanya baiaya yang diterapkan sekolah sebesar Rp 460 ribu bagi setiap siswa,
menurut Zainudin, itu berdasarkan
kesepakatan orang tua murid dan itu sebenarnya tidak wajib bagi siswa karena
memang masih ada 50 persen yang belum membayar.
Apalagi anggaran
itu digunakan sepenuhnya untuk perbaikan sarana dan prasarana sekolah yang
memang tidak akan mampu dibangun hanya dengan mengandalkan uang dari dana BOS
yang setiap tahunnya sangat minim dari pemerintah sehingga disiasati dengan
adanya uang komite dimaksud. (dd)