Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

APRESIASI SASTRA:

02 Februari 2013 | Sabtu, Februari 02, 2013 WIB Last Updated 2013-02-02T04:32:38Z

Usman D.Ganggang
Menulis Puisi Butuh Sikap Mental Tahan Banting

ADA sebuah pertanyaan yang diajukan Sastrawan Cecep Syamsul Hari dalam sebuah tulisannya di Majalah Horison. Pertanyaannya adalah sebagai berikut, ”sebenarnya mana yang lebih dahulu: puisi yang lebih dahulu menemukan pernyair atrau sebaliknya, penyair yang lebih dahulu menemukan puisi?”

Pertanyaan di atas, pada akhirnya dijawab sendiri oleh penyairnya. Dengan singkat ia memberi jawab bahwa pertanyaan di atas hanya berbau retoris (=pertanyaan yang tidak perlu dijawab, artinya jawabannya sudah diketahui). Ia membandingkannya dengan, pertanyaan seperti, ”mana yang lebih dahulu muncul, telur atau ayam?” Maka bagi kita, jelas jawaban sudah pasti, ayamlah yang terlebih dahulu baru ada telurnya. Ini disadari bahwa kalau telur tidak dingeram oleh ayam, pastilah busuk.
Kembali pada kasus proses kreatif seseorang terkait dengan penulisan puisi. Disadari atau tidak, dalam menulis puisi, terkadang seseorang malah begitu mudahnya dia menulis, ketika sebuah ide datang, langsung digarap menjadi sebuah wacana. Pada tataran ini, Cecep Syamsul Hari mengungkapkan kata – kata bagaikan dikirim melalui fax dari langit atau tempat lain, entah di mana, dengan transmisi sangat cepat dan meresponnya dengan gairah dan gerak tangan otomatis, maka akhirnya sebuah puisi telah lahir.
Kondisi seperti terungkap di atas, memberi gambaran kepada kita bahwa penyair atau calon penyairnya seakan – akan sekedar medium dari suatu proses kreatif lahirnya sebuah puisi. Proses kreatif yang dimaksud berasal dari sebuah kekuatan terutama untuk membius, mendorong, dan menggerakkan. Keadaan seperti ini disebut Cecep, sebagai sebuah ilham.Yang jelas, ketika puisi itu ditulis, kondisi penyair memang dalam keadaan siaga untuk memungkinkan puisi itu lahir tanpa hambatan dan kendala.
Menurut Cecep, selain kondisi seperti terurai di atas, ada lagi keadaan ketika seorang penyair berusaha dengan dorongan kesadaran yang penuh untuk menulis puisi. Maksudnya, selain ada niat juga perlu ada perencanaan yang matang, terlebih dahulu. Penyair sengaja menyiagakan dirinya untuk kegiatan membangun suasana, lalu menyatukan dirinya dengan alam dan suasana sekitarnya untuk bersama–sama dengan dirinya dalam menulis puisi. Dengan melalui niat, perencanaan dan persiapan yang matang, kemudian lahirlah sebuah puisi.
Dua kondisi yang terurai tadi sering dialami penyair. Artinya, dalam dia menulis puisi, bisa saja melalui kondisi yang pertama tadi. Sebaliknya, seorang penyair juga akan bisa menulis ketika ada niat dan perlu ada persiapan matang dalam menulis kreatif puisi. Bagaimana aplikasinya? Iya jawabannya bergantung kepada sejauh mana kondisi mental dalam menghadapi dua kondisi tersebut. Apakah penyair harus bersikap tahan banting? Artinya, apakah penyairnya tidak panik ketika kondisi pertama tidak hadir di depannya? Lalu memilih kondisi kedua, eh… ternyata juga tidak kesampaian. Kalau ini terjadi, maka dapat dipastikan kecewa, bahkan mungkin tidak mau lagi berusaha untuk menulis puisi.
Harus diakui bahwa dalam menulis puisi, seorang penyair tidak semata – mata memahami persoalan teknis seperti merangkai kata sehingga menimbulkan rasa indah;  mencari diksi (pilihan kata yang tepat untuk sebuah puisi sehingga penikmat tersihir); memperhatikan korespondensi (jalinan makna antarlarik atau antarbait); memanfaatkan majas seperti majas personifikasi (=mengorangkan benda mati) atau majas metofor (=membandingkan); dan atau pada persoalan imajinasi (daya khayal). Kesemua persoalan teknis yang dimaksud, diadakan untuk menemukan bingkai rancang bangun puisi yang yang cocok sesuai dengan harapan penyairnya dan pada gilirannya, penikmatnya merasa terdorong untuk menemukan makna tersirat dari makna tersurat puisi.
Menulis puisi bisa juga ditentukan oleh faktor nonteknis. Salah satunya disebutkan Cecep, adalah sikap mental. Yang dimaksud dengan sikap mental di sini adalah seperangkat nilai dan perilaku yang menjadi standar bagi pembentukan mentalitas kepenyairan yang tahan banting. Sengaja penulis angkat faktor ini, fakta riil di lapangan, ada calon penyair yang tidak tahan banting dengan kondisi yang ada. Katakan saja misalnya, ketika puisinya tidak dimuat di harian atau majalah, dia pun kecewa dan tidak mau lagi menulis puisi. Padahal dengan menulis puisi yang merupakan bagian dari kegiatan sastra umumnya, bertujuan menghargai rasa yang dimiliki seseorang. Artinya bicara sastra berarti bicara rasa. Dan ketika kita berbicara rasa, maka tidak ada seorang pun yang tidak memiliki rasa. Maka, sastra bukanlah hanya milik seorang sastrawan, akan tetapi milik setiap orang.
“Kenapa harus tahan banting?” begitu tanya retoris selanjutnya. Dikaitkan dengan dua keadaan tadi, maka tahan banting yang dimaksud adalah (1) penyair pantang menyerah apabila keadaan kedua tidak bisa menulis puisi dan sebagai penggantinya tetap terus berusaha hingga puisi lahir dari tangannya dan (2) apabila keadaan pertama justru datang menyergap, penyair harus tetap tahan banting untuk rendah hati, sebab pada dasarnya bahwa dia adalah sebuah medium dari mekanisme kerja alam kreatif yang sering bekerja dengan cara yang misterius. Selanjutnya, persoalan lazim yang dilalui penyair terutama proses mengoreksi  kesalahan elementer dan proses penyuntingan, dan ini dia, perlu diadakan publikasi sederhana seperti memberi kesempatan kepada teman untuk mengapresiasi puisi yang ditulis, kemudian masukan teman dilengkapi, barulah dipublikasikan ke koran atau majalah.
Sekarang kita cermati puisi teman kita berikut ini, apakah melalui proses yang sudah disebutkan dan mereka boleh disebut tahan banting? Mari kita mengoreksi kesalahan elementernya dan berusaha menyuntingnya. Dan terutama kepada calon penyairnya sebelum menyunting hadirkan pertanyaan sebagai berikut: (1) apakah aku sudah melih diksi; (2) apakah aku sudah memanfaatkan majas?; (3) apakah rancang bangun puisiku sudah cocok dengan tema?; dan (4) apakah korespondensi antarlarik dan antarbaitnya sudah terjalin dengan baik? Lalu (5) Sudahkah kuperhatikan persoalan bunyi efoni (bunyi yang menyarankan makna bahagia, senang, ria) dan bunyi kokofoni (bunyi yang menyarankan makna menakutkan dan atau menyedihkan? (*)

Ketika Rindu Datang Menggoda
Karya Sonia Wulandari, (siswa SMAN 3 Kota Bima)

Hari ini kutulis puisi tentang cinta
Bersama suara kicauan burung merdu sekali
Teringat aku pada dirimu, lagi di depan cermin
Rindu pun tak terbendung lagi

Tetapi suara indahmu membawa aku pada jurang lagi menganga
Aku teringat sosok itu ternyata buaya darat lagi menunggu
Hingga rinduku pergi dan sirna seketika
Dan ujungnya kukuburkan dalam – dalam

Kucari Pengganti Dirimu
Karya Bunga Khilwa P

Cintamu kemarin membara
Tak pernah datang menjumpaiku lagi
Malah kini sirna dibawa hujan tak lagi berhenti
Mengantarkan kata ingin kembali darimu
Karena kutahu hatimu untuk orang lain

Letih hatiku menghadapi sebingkai kemarau
Mencari tambatan hati
Tak pernah kutemukan pangeran hati
Dapat menggantikan namamu di hati
Karena hanya kau yang di hatiku

Khayal Liarku
(buat Usman)

Untukmu kuberikan cinta
Sampai akhir hayat selalu kukenang selalu, tetapi
Mengapa rindu rasa tak bisa hilang
Adakah dirimu juga begitu
Namun kusadari tak mungkin kau mencintaiku
×
Berita Terbaru Update