ADA sebuah pertanyaan yang
diajukan Sastrawan Cecep Syamsul Hari dalam sebuah tulisannya di Majalah
Horison. Pertanyaannya adalah sebagai berikut, ”sebenarnya mana yang lebih
dahulu: puisi yang lebih dahulu menemukan pernyair atrau sebaliknya, penyair
yang lebih dahulu menemukan puisi?”
Pertanyaan di atas, pada akhirnya
dijawab sendiri oleh penyairnya. Dengan singkat ia memberi jawab bahwa
pertanyaan di atas hanya berbau retoris (=pertanyaan yang tidak perlu dijawab,
artinya jawabannya sudah diketahui). Ia membandingkannya dengan, pertanyaan
seperti, ”mana yang lebih dahulu muncul, telur atau ayam?” Maka bagi kita,
jelas jawaban sudah pasti, ayamlah yang terlebih dahulu baru ada telurnya. Ini
disadari bahwa kalau telur tidak dingeram oleh ayam, pastilah busuk.
Kembali pada kasus proses kreatif
seseorang terkait dengan penulisan puisi. Disadari atau tidak, dalam menulis
puisi, terkadang seseorang malah begitu mudahnya dia menulis, ketika sebuah ide
datang, langsung digarap menjadi sebuah wacana. Pada tataran ini, Cecep Syamsul
Hari mengungkapkan kata – kata bagaikan dikirim melalui fax dari langit atau
tempat lain, entah di mana, dengan transmisi sangat cepat dan meresponnya
dengan gairah dan gerak tangan otomatis, maka akhirnya sebuah puisi telah
lahir.
Kondisi seperti terungkap di
atas, memberi gambaran kepada kita bahwa penyair atau calon penyairnya seakan –
akan sekedar medium dari suatu proses kreatif lahirnya sebuah puisi. Proses
kreatif yang dimaksud berasal dari sebuah kekuatan terutama untuk membius,
mendorong, dan menggerakkan. Keadaan seperti ini disebut Cecep, sebagai sebuah
ilham.Yang jelas, ketika puisi itu ditulis, kondisi penyair memang dalam
keadaan siaga untuk memungkinkan puisi itu lahir tanpa hambatan dan kendala.
Menurut Cecep, selain kondisi
seperti terurai di atas, ada lagi keadaan ketika seorang penyair berusaha
dengan dorongan kesadaran yang penuh untuk menulis puisi. Maksudnya, selain ada
niat juga perlu ada perencanaan yang matang, terlebih dahulu. Penyair sengaja menyiagakan
dirinya untuk kegiatan membangun suasana, lalu menyatukan dirinya dengan alam
dan suasana sekitarnya untuk bersama–sama dengan dirinya dalam menulis puisi.
Dengan melalui niat, perencanaan dan persiapan yang matang, kemudian lahirlah
sebuah puisi.
Dua kondisi yang terurai tadi
sering dialami penyair. Artinya, dalam dia menulis puisi, bisa saja melalui
kondisi yang pertama tadi. Sebaliknya, seorang penyair juga akan bisa menulis
ketika ada niat dan perlu ada persiapan matang dalam menulis kreatif puisi.
Bagaimana aplikasinya? Iya jawabannya bergantung kepada sejauh mana kondisi
mental dalam menghadapi dua kondisi tersebut. Apakah penyair harus bersikap
tahan banting? Artinya, apakah penyairnya tidak panik ketika kondisi pertama
tidak hadir di depannya? Lalu memilih kondisi kedua, eh… ternyata juga tidak
kesampaian. Kalau ini terjadi, maka dapat dipastikan kecewa, bahkan mungkin
tidak mau lagi berusaha untuk menulis puisi.
Harus diakui bahwa dalam menulis
puisi, seorang penyair tidak semata – mata memahami persoalan teknis seperti
merangkai kata sehingga menimbulkan rasa indah;
mencari diksi (pilihan kata yang tepat untuk sebuah puisi sehingga
penikmat tersihir); memperhatikan korespondensi (jalinan makna antarlarik atau
antarbait); memanfaatkan majas seperti majas personifikasi (=mengorangkan benda
mati) atau majas metofor (=membandingkan); dan atau pada persoalan imajinasi
(daya khayal). Kesemua persoalan teknis yang dimaksud, diadakan untuk menemukan
bingkai rancang bangun puisi yang yang cocok sesuai dengan harapan penyairnya
dan pada gilirannya, penikmatnya merasa terdorong untuk menemukan makna
tersirat dari makna tersurat puisi.
Menulis puisi bisa juga
ditentukan oleh faktor nonteknis. Salah satunya disebutkan Cecep, adalah sikap
mental. Yang dimaksud dengan sikap mental di sini adalah seperangkat nilai dan
perilaku yang menjadi standar bagi pembentukan mentalitas kepenyairan yang
tahan banting. Sengaja penulis angkat faktor ini, fakta riil di lapangan, ada
calon penyair yang tidak tahan banting dengan kondisi yang ada. Katakan saja
misalnya, ketika puisinya tidak dimuat di harian atau majalah, dia pun kecewa
dan tidak mau lagi menulis puisi. Padahal dengan menulis puisi yang merupakan
bagian dari kegiatan sastra umumnya, bertujuan menghargai rasa yang dimiliki
seseorang. Artinya bicara sastra berarti bicara rasa. Dan ketika kita berbicara
rasa, maka tidak ada seorang pun yang tidak memiliki rasa. Maka, sastra
bukanlah hanya milik seorang sastrawan, akan tetapi milik setiap orang.
“Kenapa harus tahan banting?”
begitu tanya retoris selanjutnya. Dikaitkan dengan dua keadaan tadi, maka tahan
banting yang dimaksud adalah (1) penyair pantang menyerah apabila keadaan kedua
tidak bisa menulis puisi dan sebagai penggantinya tetap terus berusaha hingga
puisi lahir dari tangannya dan (2) apabila keadaan pertama justru datang
menyergap, penyair harus tetap tahan banting untuk rendah hati, sebab pada
dasarnya bahwa dia adalah sebuah medium dari mekanisme kerja alam kreatif yang
sering bekerja dengan cara yang misterius. Selanjutnya, persoalan lazim yang
dilalui penyair terutama proses mengoreksi
kesalahan elementer dan proses penyuntingan, dan ini dia, perlu diadakan
publikasi sederhana seperti memberi kesempatan kepada teman untuk mengapresiasi
puisi yang ditulis, kemudian masukan teman dilengkapi, barulah dipublikasikan
ke koran atau majalah.
Sekarang kita cermati puisi teman
kita berikut ini, apakah melalui proses yang sudah disebutkan dan mereka boleh
disebut tahan banting? Mari kita mengoreksi kesalahan elementernya dan berusaha
menyuntingnya. Dan terutama kepada calon penyairnya sebelum menyunting hadirkan
pertanyaan sebagai berikut: (1) apakah aku sudah melih diksi; (2) apakah aku
sudah memanfaatkan majas?; (3) apakah rancang bangun puisiku sudah cocok dengan
tema?; dan (4) apakah korespondensi antarlarik dan antarbaitnya sudah terjalin
dengan baik? Lalu (5) Sudahkah kuperhatikan persoalan bunyi efoni (bunyi yang
menyarankan makna bahagia, senang, ria) dan bunyi kokofoni (bunyi yang
menyarankan makna menakutkan dan atau menyedihkan? (*)
Ketika Rindu Datang
Menggoda
Karya Sonia Wulandari,
(siswa SMAN 3 Kota
Bima)
Hari ini kutulis puisi tentang cinta
Bersama suara kicauan burung merdu sekali
Teringat aku pada dirimu, lagi di depan cermin
Rindu pun tak terbendung lagi
Tetapi suara indahmu membawa aku pada jurang lagi menganga
Aku teringat sosok itu ternyata buaya darat lagi menunggu
Hingga rinduku pergi dan sirna seketika
Dan ujungnya kukuburkan dalam – dalam
Kucari Pengganti
Dirimu
Karya Bunga Khilwa P
Cintamu kemarin membara
Tak pernah datang menjumpaiku lagi
Malah kini sirna dibawa hujan tak lagi berhenti
Mengantarkan kata ingin kembali darimu
Karena kutahu hatimu untuk orang lain
Letih hatiku menghadapi sebingkai kemarau
Mencari tambatan hati
Tak pernah kutemukan pangeran hati
Dapat menggantikan namamu di hati
Karena hanya kau yang di hatiku
Khayal Liarku
(buat Usman)
Untukmu kuberikan cinta
Sampai akhir hayat selalu kukenang selalu, tetapi
Mengapa rindu rasa tak bisa hilang
Adakah dirimu juga begitu
Namun kusadari tak mungkin kau mencintaiku