Kota
Bima, (SM).- kerasnya
menjalani hidup sebagai pemecah batu, mungkin belum dirasakan semua warga Kota
Bima, tetapi oleh pasangan suami istri, A. rajak (70) dibantu istri tercinta
(Fatimah (65) tidak ada pilihan lain, walaupun diusia tuanya masih tetap
bekerja untuk tetap menafkahi keluarganya.
Berbincang
dengan A. Rajak saat bekerja dipegunungan Bedi, jalan lintas Kuburan Dana
Taraha, sedikit memberikan motifasi menjalani kerasnya kehidupan.
Diceritakannya, sudah 30 bekerja menjadi pemecah batu, sejak remaja sampai
kemudian saat sekarang telah memiliki tujuh anak dan cucu.
Pendapatan
tidak menentu, menjadikan pekerjaan pemecah batu sangat tidak disukai pada
jaman itu, warga lebih memilih menjadi buruh pasar, walaupun demikian tetap
dijalani, bahkan sampai saat ini. Berbicara penghasilan A.Rajak mengaku masih
tetap tidak menentu padahal kerja memecahkan batu cukup keras.
Untuk
harga satu truk batu ukuran besar, hanya dihargai Rp 150 ribu itupun belum
ongkos buruh angkut, belum waktu yang dibutuhka untuk memecahkan batu cukup
lama, yaitu empat sampai lima hari. Dengan waktu tersebut belum tentu langsung
mendapatkan pembeli,”ya kita tunggu lagi pembeli, untung kalau ada yang
langsung dating membeli,” ujarnya.
Begitupun
dengan batu ukuran kerikil, butuh waktu satu sampai dua bahkan tiga bulan untuk
mencapai target muatan satu truknya, sementara untuk harga sangat murah, kerja
tiga bulan dihargai hanya Rp. 500 ribu.
Dengan
tidak menentunya dan kerasnya perjuangan memecah, mengumpulkan hasilnya yang
tidak menentu, A. Rajak mengaku tetap menjalaninya karena kurangnya lapangan
pekerjaan. Bila dihitung- hitung penghasilan tidak menentu tersebut tentunya
sangat kurang untuk memenuhu kebutuhan hidup sehari-hari.
Bericara
bantuan, A. Rajak enggan tertalu mengarah pembicaraan mengenai adanya perhatian
pemerintah, diakuinya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian, apalagi
bantuan. Yang dibutuhkan bantuan peralatan yang lebih baik tidak pernah
direalisasikan bahkan kerap memasukan proposal tetap tidak pernah diperhatikan.
Terakhir
memang ada bantuan dari Dinas Sosial iwalaupun hanya satu ekor kambing, A.
rajak menilai sedikit membantu, namun yang sangat diharapkan tentunya bukan
kambing tetapi sarana dan prasarana pendukung pekerjaan menjadi pemecah batu
yang dibutuhkan sehingga dapat meningkatkan produksi.(dd)