Kicauan
burung yang hinggap di rimbunan pohon yang masih tersisa, gemericik tak beratur
sesekali menerpa air laut yang bersinggungan langsung dengan daratan, seakan
jadi saksi, betapa indah panorama di semenanjung utara Kecamatan
Sanggar Kabupaten Bima, tepatnya di Oi Tampuro.
SADAM, bocah usia SMP yang tengah bersenda gurau bersama
kawan-kawan sebayanya di mata air Oi Tampuro pagi Ahad (16/12), raut keraguan
menjawab, nama sebenarnya mata air itu. “Oi Tampuro atau Oi Tampiro. Samapa pae
(Sama aja pak, bahasa Bima),“ ujarnya sembari mengaku yang tahu pasti Ama Ka’U
(menyebutkan Raja Bima Putra Kahir). Tentu keraguan bocah itu, tidak berbeda
bagi warga di dua desa, Oi Saro dan Piong wilayah terdekat mata air itu.
Sebagian
dari penduduk sekitar, masih meyakini nama mata air itu, padanan kata Tampu’u
ra (mulai) yang bermakna filosofi, gunung berapi tertinggi Tambora yang
pernah menyembulkan larva pijar dan bebatuan hingga Benua Eropa dan Amerika,
sesaat akan meletus.
Kata
Kades Piong, Syarifudin Ahmad, Mada Oi Tampuro dari sejarah panjang yang
diterimanya turun temurun dari warga asli sebagai pendatang pertama Rabadompu,
sesungguhnya lapang yang gersang dan tandus. Bukan saja di sekitar lokasi
dimana Mada Oi (mata air) Tampuro yang terlihat sekarang. Hampir di seluruh
wilayah yang masih kawasan gunung Tambora, tidak memiliki sumber air yang
memadai sebagai bagian penting dari tatanan kehidupan.
Dulu,
kata kepala desa yang terlihat supel ini, Ama Ka’u berujar suatu saat akan ada
mata air di sekitar ini. Dan tidak berselang dari titah sang Raja Bima itu,
terkabulkan dan bukan saja di sekitar itu, beberapa sumber mata air menyembul
di Kecamatan Sanggar.
Meski
disayangkan dirinya selaku pejabat tertinggi di desa itu, beberapa kali
pengusulan melalui proposal resmi di Pemerintah Kabupaten Bima, guna membendung
air laut yang bercampur langsung dengan sumber mata air tawar tersebut.
“Beberapa kali diusulkan belum ada realsiasinya. Maunya kami air laut pasang
bisa dibendung,“ harapnya.
Tapi,
mendebatkan nama sesungguhnya mata air itu, tidak akan pernah selesai sampai
kapanpun. Memandang dan menikmati puluhan mata air disepanjang Mada Oi Tampuro
konon ceritanya bersumber dari kawah Gunung Tambora, sungguh bagai Mutiara
Sanggar yang terpendam. Di bongkahan cekungan (lubang) besar dengan diameter
sebesar kolam ikan di rumah para pejabat, menyembul mata air dengan debit tak
terukur besarnya. Sementara disisi depan kubangan besar itu, berderet mata air
lainnya yang tidak kalah menyembulkan debit air serupa.
Drs
H Arifuddin (mantan Camat Tambora) bersama sejumlah keluarganya yang tengah
asyik menikmati sejuknya air tawar yang berdempetan dengan tepi laut Piong,
mengaku mandi di mata air menjadi rutinitasnya. “Air ini bisa menghilangkan
pegal-pegal dan rematik. Juga bisa menyembuhkan berbagai penyakit,“ ujarnya
sesekali memendam sekujur tubuhnya di kedalaman kubangan.
Konon,
katanya, air yang menyembul di sejumlah lubang di mata air Tampuro, bisa awet
muda dan melanggengkan hubungan rumah tangga.
Sesekali
nampak pula, warga sekitar, menggunakan sepeda motor dan puck up yang
sudah didesain untuk keperluan mengangkut air. Ternyata bukan saja untuk tempat
wisata masyarakat di luar Sanggar, Mada Oi Tampuro merupakan sumber air warga
sekitar. Sungguh ini seperti mata rantai tak terpisahkan dan saling
membutuhkan. (bersambung)