Hj Mulyati |
Bima, (SM).- Aspirasi rakyat di lembaga terhormat, DPRD Kabupaten Bima,
jarang ditanggapi serius Pemerintah Daerah. Muncul ansumsi, suara wakil rakyat
sengaja dipasung sedemikian rapi oleh sistem pemerintahan. Hal itu diungkapkan
Hj. Mulyati, seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, baru-baru ini.
Kata dia, kebenaran mutlak tidak
ada, yang ada mendekati kebenaran. Sistemlah yang membuat lembaga ini mandul.
Kalau diuraikan satu per satu, tidak mampu lagi dihitung lagi.
“Dengan sistem yang dikemas
diubah-ubah setiap tahun, nyaris tidak ada kebenaran yang diusung oleh anggota
DPRD. Yang terbanyak angkat tangan, tanda setuju, itulah yang ditetapkan,
meskipun sudah tahu itu salah”, ungkapnya.
Sementara itu, anggota dewan
lainnya, Yasin S.Pd.I di tempat yang sama mengatakan, sesungguhnya kebenaran
ada di lembaga ini, tetapi bisa dikalahkan dengan kebersamaan. “Yang paling
banyak setuju, itulah yang dijadikan keputusan. Walaupun keputusan itu lahir
dari ragam kepentingan,” ujarnya.
Kembali Mulyati menjelaskan,
kebenaran yang samar-samar adalah yang terbanyak produk dari DPRD Kabupaten
Bima. “Yang mau bersuara tegakkan kebenaran sangatlah sedikit. Yang lainnya
banyak,” sorotnya.
Lanjutnya, sisi kepentingan kelembagaan
hampir “sekian persen”. Paling banyak, sebutnya, adalah suara untuk kepentingan
personal dan kelompok. “Sebenarnya lembaga DPRD ini sudah tidak ada harga diri
lagi,” tandasnya.
Pengakuan anggota dewan yang sudah
menjabat dua periode itu dibenarkan, Ahmad Yani Umar, anggota DPRD yang juga
Ketua BK DPRD Kabupaten Bima. “Secara pribadi kami memahami. Faktanya memang
demikian,” tuturnya.
Mulyati mencontohkan pengalamannya
selama duduk di lembaga DPRD. Sebelum masa periodenya, kata dia, setiap anggota
DPRD diberikan gaji pokok lebih dari Rp1 juta. Namun anggota dewan memperoleh
tambahan penghasil sah lainnya yang diterima setiap kali ada rapat atau
kegiatan dewan. “Ada absen yang ditandatangan setiap anggota dewan. Yang tidak
hadir, tidak dikasi,” kenangnya.
Dengan sistem tersebut, tidak ada
alasan bagi anggota dewan untuk tidak hadiri rapat atau datang ke kantor, meski
tidak ada agenda. “Dengan sistem digaji bulanan seperti sekarang, tentu mana
maunya anggota dewan hadir,” tukasnya.
Dahulu, ada LPJ setiap akhir tahun
anggaran. Pada saat itu, lembaga DPRD sangat berwibawa di hadapan eksekutif.
Karena ada istilah ditolak atau diterima. “Lembaga ini benar-benar berjalan
fungsi kontrolnya,” ulasnya.
Kenanganan masa silam wakil rakyat
itu kini tinggal kenangan seiring dengan dirubahnya dari istilah LPj menjadi
LKPj. “Seiring itu, DPRD tidak berwibawa lagi. Mulailah seperti ini lembaga
DPRD,” imbuhnya.
Kemudian muncul lagi istilah
eksekutif dan legislatif, yang konotasinya diartikan adalah penyelenggara
pemerintahan. Pemerintahan ini ada dua, pemerintah dan DPRD. Kalau Pemerintah
berbuat salah, kita juga berbuat salah. Parahnya lagi, bila Ketua atau unsur
Pimpinan DPRD diusung oleh partai penguasa (Bupati/Walikota), kata dia, selalu
pasang badan mengamankan kebijakan eksekutif. “Kalau tidak nurut, siap-siap
angkat kaki,” sindirnya. (ima)