Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Hj Mulyati: Sistem Pemerintah Memasung Suara Dewan

27 November 2012 | Selasa, November 27, 2012 WIB Last Updated 2012-11-27T06:16:43Z
Hj Mulyati
Bima, (SM).- Aspirasi rakyat di lembaga terhormat, DPRD Kabupaten Bima, jarang ditanggapi serius Pemerintah Daerah. Muncul ansumsi, suara wakil rakyat sengaja dipasung sedemikian rapi oleh sistem pemerintahan. Hal itu diungkapkan Hj. Mulyati, seorang anggota DPRD Kabupaten Bima, baru-baru ini.
Kata dia, kebenaran mutlak tidak ada, yang ada mendekati kebenaran. Sistemlah yang membuat lembaga ini mandul. Kalau diuraikan satu per satu, tidak mampu lagi dihitung lagi.

“Dengan sistem yang dikemas diubah-ubah setiap tahun, nyaris tidak ada kebenaran yang diusung oleh anggota DPRD. Yang terbanyak angkat tangan, tanda setuju, itulah yang ditetapkan, meskipun sudah tahu itu salah”, ungkapnya.
Sementara itu, anggota dewan lainnya, Yasin S.Pd.I di tempat yang sama mengatakan, sesungguhnya kebenaran ada di lembaga ini, tetapi bisa dikalahkan dengan kebersamaan. “Yang paling banyak setuju, itulah yang dijadikan keputusan. Walaupun keputusan itu lahir dari ragam kepentingan,” ujarnya.
Kembali Mulyati menjelaskan, kebenaran yang samar-samar adalah yang terbanyak produk dari DPRD Kabupaten Bima. “Yang mau bersuara tegakkan kebenaran sangatlah sedikit. Yang lainnya banyak,” sorotnya.
Lanjutnya, sisi kepentingan kelembagaan hampir “sekian persen”. Paling banyak, sebutnya, adalah suara untuk kepentingan personal dan kelompok. “Sebenarnya lembaga DPRD ini sudah tidak ada harga diri lagi,” tandasnya.
Pengakuan anggota dewan yang sudah menjabat dua periode itu dibenarkan, Ahmad Yani Umar, anggota DPRD yang juga Ketua BK DPRD Kabupaten Bima. “Secara pribadi kami memahami. Faktanya memang demikian,” tuturnya.
Mulyati mencontohkan pengalamannya selama duduk di lembaga DPRD. Sebelum masa periodenya, kata dia, setiap anggota DPRD diberikan gaji pokok lebih dari Rp1 juta. Namun anggota dewan memperoleh tambahan penghasil sah lainnya yang diterima setiap kali ada rapat atau kegiatan dewan. “Ada absen yang ditandatangan setiap anggota dewan. Yang tidak hadir, tidak dikasi,” kenangnya.
Dengan sistem tersebut, tidak ada alasan bagi anggota dewan untuk tidak hadiri rapat atau datang ke kantor, meski tidak ada agenda. “Dengan sistem digaji bulanan seperti sekarang, tentu mana maunya anggota dewan hadir,” tukasnya.
Dahulu, ada LPJ setiap akhir tahun anggaran. Pada saat itu, lembaga DPRD sangat berwibawa di hadapan eksekutif. Karena ada istilah ditolak atau diterima. “Lembaga ini benar-benar berjalan fungsi kontrolnya,” ulasnya.
Kenanganan masa silam wakil rakyat itu kini tinggal kenangan seiring dengan dirubahnya dari istilah LPj menjadi LKPj. “Seiring itu, DPRD tidak berwibawa lagi. Mulailah seperti ini lembaga DPRD,” imbuhnya.
Kemudian muncul lagi istilah eksekutif dan legislatif, yang konotasinya diartikan adalah penyelenggara pemerintahan. Pemerintahan ini ada dua, pemerintah dan DPRD. Kalau Pemerintah berbuat salah, kita juga berbuat salah. Parahnya lagi, bila Ketua atau unsur Pimpinan DPRD diusung oleh partai penguasa (Bupati/Walikota), kata dia, selalu pasang badan mengamankan kebijakan eksekutif. “Kalau tidak nurut, siap-siap angkat kaki,” sindirnya. (ima)
×
Berita Terbaru Update