Kota Bima, (SM).- Dua
orang guru lingkup Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bima mempertanyakan
sertifikasi yang tak dicairkan Bendahara kantor setempat. Uang yang dibayarkan
senilai gaji pokok itu ditahan bendahara sejak Desember 2011 lalu.
Dua guru yang dimaksud itu yakni
Kepala RA Ar-Rosyid Kelurahan Penatoi Dra. Siti Marjan dan Kepala Sekolah MIN
Tolobali, Jaenab. Menurut pengakuan Marjan, sebelum dirinya diangkat menjadi
kepala sekolah RA Ar-Rosyid, dulu dia mengajar di Ponpes Al-Husaini dengan
bidang studi akidah akhlak. Setelah menjadi kepala Sekolah sekarang, sejak
Desember 2011 lalu, hingga kini sertifikasinya tak diberikan.
“Kata Bendahara Kemenag yang kami
datangi, tempatnya sekarang bekerja tak ada sistim guru bidang studi, maka
pencairan sertifikasi tak bisa dilakukan,” ujarnya, Senin kemarin.
Marjan membeberkan, demikian pula
dengan rekannya, Ibu Jaenab. Dulu, Jaenab mengajar di MAN Satu Atap Tolobali,
kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah di MIN Tolobali. Setelah berada di
tempat yang baru tersebut, Jaenab juga tidak mendapatkan sertifikasi. “Alasan dari
Bendahara Kemenag juga hampir sama dengan masalah yang saya hadapi,” bebernya.
Dia mengakui, uang sertifikasi
itu merupakan hak mereka dan tidak boleh untuk tidak diberikan. Jika
dijumlahkan semua uang yang hingga kini tidak mereka terima, maka sudah menjadi
belasan juta rupiah.
Bendahara Kemenag Kota Bima,
Fahmi, SH yang ditemui di meja kerjanya Senin kemarin menjelaskan, untuk
masalah Ibu Marjan, sertifikasi yang diajukan dulu yakni akidah akhlak. Karena
sertifikasi harus dibayar sesuai peruntukan, maka dengan jabatannya yang baru
sekarang pada sekolah yang tidak memiliki bidang studi yang dimaksud, maka
pihaknya tak bisa dibayarkan. “Kami tidak bisa membayar sertifikasi yang tak
sesuai peruntukan,” ujarnya.
Kata Fahmi, salah satu syarat
pembayaran sertifikasi itu, guru harus memiliki surat pernyataan pelaksanaan tugas dari
Kepala Kemenag untuk sekolah swasta yang lingkup pemabayarannya di Kemenag.
“Jadi persoalan membayar itu harus kembali lagi ke surat penyataan tugs tersebut,” imbuhnya.
Dia juga membahas masalah mutasi
yang justru merugikan dua kepala sekolah itu. Seperti contoh St Marjan, dari
sekolah yang dulunya ada bidang studi, kemudian dimutasi ke sekolah yang tak
ada bidang studi. Mestinya, St Marjan dimutasi ke sekolah seperti MTs atau sekolah
yang ada bidang studinya. “Jadi solusinya cuman harus dimutasi lagi ke sekolah
yang ada bidang studi. Karena pengajuan sertifikasi awalnya menggunakan bidang
studi. Tapi syukur St Marjan sudah mendapatkan SK mutasi itu,” terangnya.
Demikian pula yang berlaku pada
Ibu, dijelaskannya, masalahnya hampir saja. untuk membayarkan sertifikasinya
harus pindah ke sekolah yang ada bidang studinya.
Dia menambahkan, untuk
sertifikasi selama enam bulan yang tak dicairkan, otomatis hangus dengan
sendirinya. Dan akan mulai dibayar kembali setelahj mereka mengajar pada
sekolah yang ada bidang studi. (SM.07)