Oleh: Nuraeni *)
PERKEMBANGAN pemikiran-pemikiran,
membawa kita kepada hal-hal yang cukup positif dan konstruktif, dengan memahami
akan fungsi dan peranan sebuah pemikiran yang positif dan objektif, maka akan
dapat hadir sebuah impian yang dicita-citakan. Manusia berkembang dengan perananya
sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sempurna dibandingkan
dengan makhluk hidup yang lainnya.
Jika agamawan cenderung
mengokohkan “Tujuan” dan “Hakikat” hidup seorang manusia, filosof cenderung
mengatakan “kemungkinan-kemungkinan” hidup dari dan kemana akan dibawa
akhirnya. Jika dulu orang suka menggunakan “tanda seru” di dalam rangkaian
hidup, manusia modern lebih banyak menggunakan “tanda tanya” bahkan menjadikan
dirinya sebagai “tanda tanya”.
Dua tanda tanya bahasa ini –
“tanda seru” dan “tanda tanya” – mengifatkan dua dunia yang berbeda, dunia
dahulu dan dunia sekarang. “Tanda seru” menyifatkan adanya dunia yang tetap,
baku, stabil, tertentukan, dan tertutup. Dunia “tanda seru” adalah dua dunia
kebenaran dan kepastian yang menyingkirkan pertanyaan dan kesangsian hidup.
Dunia “tanda seru” adalah dunia statis dari pada dinamis, dunia konserfatif
dari pada progresif, dan dunia stabil dari pada efolutif. Sebaliknya, dunia
“tanda tanya” menyifatkan adanya dunia keterbukaan, dunia yang menekankan
relatifitas dan historisitas, dunia dengan penuh dinamis, progretif, dan evolutif.
Pertanyaan-pertanyaan apapun
diajukan dalam kehidupan adalah seruan orientasi dinamis, progresif, dan
efolutif. Pertanyaan merupakan alat pendobrak keterbukaan dan ketertutupan
hidup yang menghintip setiap manusia. Pertanyaan merupakan indikasi kecerdasan
seseorang melihat kemungkinan masa depan lebih baik. Kenapa demikian? Karena
kehidupan adalah gerakan. Sesuatu bisa dikatakan hidup bila ia bergerak
(dinamis) tidak semua sesuatu yang bergerak dikatakan hidup kecuali gerakan
yang membawa kepada keberkahan.
Keberkahan membawa kepada
kebertambahan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Orang yang tidak mampu secara
dinamis, progresif, dan evolutif disebut miskin. Orang miskin (diam, statis,
dan beku) disebut pengangguran, baik karena faktor internal maupun pengaruh
eksternal. Yang dimaksud faktor internal, misalnya, adalah rasa malas, rasa
tidak berharga (minder), dan rasa tidak memiliki baik special skill, life skill, maupun leather life skill. Sedangkan
pengaruh eksternal dimaksud adalah faktor-faktor seperti ekonomi, sosial,
politik (sistem kekuasaan dan pemerintahan), dan budaya, serta global.
Tetapi hidup dan kehidupan kadang
tidaklah seperti yang dibayangkan. Sebab, hidup juga menyifatkan
pilihan-pilihan dan pendakian-pendakian yang membutuhkan kecakapan. Karena itu,
hidup harus diperjuangkan dan merelakan diri untuk berkorban. “berani hidup
bererti berani beresiko,” demi kian kata-kata hikmah yang sering kaluk didengungkan
para filosuf agar manusia memahami ujian-ujian dan sekalian
konsekuansi-konsekuensi hidup baik yang ada dibawah kendali rasio maupun diluar
pertimbangan logika.
Jadi gaya hidup seseorang
bergantung pada kemampuan kualitatif yang dimiliki khususnya pendidikan.
Pendidikan merupakan jendela pembuka bagi mimpi-mimpi dan cita-cita seseorang
pemimpin didalam menjalani hidup.
Orang sering bertanya, “mengapa
dia jatuh miskin?” “kenapa orang itu bisa beranjak dari hidup yang susah?”
“kenapa orang itu hidupnya gelandangan, pengangguran, dan menjadi benalu bagi
yang lain?” jawaban yang kerap kali di ajukan adalah pendidikan. Karena
pendidikan memberikan peranan sentral bagi keberlangsungan hidup seseorang.
Bahwa warna corak kehidupan seseorang bergantung pada seberapa besar volume
orang itu mau menjadi pembelajar di sekolah kehidupan ini. Konstruksi
mimpi-mimpi dan cita-cita akan menjadi istana kehidupan yang nyata bila ia
meleburkan diri di kolam pendidikan. Jangan ditanyakan, “sudah berapa banyak
ilmu yang didapatkan dari buku/bangku kuliah,” tapi tanyakannlah “sudah berapa
banyak waktumu yang kau hibahkan membaca buku/bangku kuliah.”
Secara sosiologis, pendidikan
memberikan amumisi memasuki masa depan ia juga memiliki hibingan dialegtikal
dengan transformasi sosial-masyarakat. Bahwa transformasi pendidikan selalu
merupakan hasil transformasi sosial-masyarakat dan begitu sebaliknya. Pola dan
pelbagai corak sistem pendidikan menggambarkan corak dari tradisi dan budaya
sosial-masyarakat yang ada. Sistem pendidikan pesantrem misalnya, pada dasarnya
merupakan usaha sadar kelompok islam di Jawa untuk memelihara dan
mempertahankan paham Islam tradisional demi tegak dan kokohnya “warga
ahlussunah wal Jama’ah”. Kerangka sosiologi ini memberikan pengertian bahwa
suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” untuk
menyalurkan anggota-anggotanya kedalam posisi-posisi tertentu. Suatu sistem
pendidikan bagaimana mampu menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi
posisionil bagi civitas akademika untuk menghadapi masa depannya.
Ilmu di dalam Islam, yang sering
kali diterjemahkan dengan sains (science), merupakan materi pokok pendidikan
yang harus diajarkan di sekolah-sekolah karena fungsinya sebagai penentu pola
hidup masyarakat, seperti mobilitas sosial (berpindah-pindah atau berpegian
dari satu tempat ke tempat lain), pengetahuan kehidupan (individual maupun
sosial), kerangka nilai dan kehidupan dan sebagainya. Sebagai kerangka
mobilitas sosial, ilmu pengetahuan atau sains telah menemukan cara-cara mengubah
satu bentuk energi ke bentuk lainnya, lebih praktis lebih pragmatis, dan lebih
berdaya guna bagi kehidupan manusia.
Pelbagai kemajuan sains dan
tekhnollogi di dalam kehidupan masyarakat bisa dirumuskan ke dalam kerangka
yang masih mendasar sifatnya, yaitu bahwa sains itu tumbuh dan berkembang
melalui proses pendidikan. Pendidikanlah yang meneruskan sejumlah pengetahuan
dari generasi ke generasi, rekonstruksi sesuai dengan kebutuhan masyarakat
pengguna di setiap zaman. Pendidikan hadir menyapa manusia untuk mengetahui
sesuatu, baik mengenai lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.
Pengetahuan lingkungan alam bisa
diketahui proses pembelajaran yang disebut observasi. Kemudian dari observasi
diketahui mengenai mekanisme hukum-hukum alam. Lalu muncul apa yang melekat
pada manusai keinginan tahu dan pikiran rasional guna menguak “misteri” alam
ini. Ini menunjukan bahwa pendidikan memberikan rasa “keberpihakan” kepada
peserta didik yaitu keberpihakan kepada sesuatu yang rasional dan berguna, dan
pada gilirannya menimbulkan sesuatu motivasi yang secara pokok mampu menentukan
pilihan terbaik bagi masa depannya.
Kiranya masyarakat sepakat bahwa
pendidikan merupakan sarana mengubah masa depan. Pendidikan diyakini sebagai
amunisir yang mampu memberikan kemampuan tekhnologi, fungsional, informatif,
dan terbuka bagi pilihan utama masyarakat. Kecenderungan ini makin menguat
manakala budaya gobal membikin masyarakat semakin terbuka dan sistematis yang lebih ditentukan oleh kompetensi
rasional-individual, penguasaan informasi dan tekhnologi, dan kerjakeras. Bukan
lagi ditentukan oleh sesuatu yang tidak rasional seperti kharisma, kesalehan
lahiriah, dan keturunan.
Pendidikan dipersepsikan sebagai
wahana bagi pertumbuhan daya kritis, kreatif, akal kecerdasan personal, sosial,
dan kemanusiaan di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme kehidupan mengharuskan
pelaku kehidupan ini dibekali pendidikan yang bernbilai positif menuju pribadi
pintar, kreatif dan berbudi luhur. Orang yang cerdas/pintar selalu menggunakan
nalarnya secara benar dan objektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam
memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan
pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan.
Kecerdasan dan kearifan bersumber
dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh
kepedulian pada sesama. Karena itu, proses pembelajaran haruslah dibebaskan
dari doktrin legal formal. Seperti baik-buruk, benar-salah, halal-haram,
mukmin-kafir dan sebagainya, yang dapat mengebiri peserta didik kepada
berpihakan sosial.
Proses pembelajaran hendaknya
juga dijauhkan dari proses reproduksi ideologi kelas dominan yang memaksa
nilai-nilai pendidikan ke arah komoditi bisnis dan langgengnya kekuasaan.
Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada terciptanya tranformasi dan
edukasi sosial secara menyeluruh.
Yang jelas, belajarlah! Karena
dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih menjadi terbuka bagi
munculnya alternatif masa depan yang lebih. Seorang pembelajar akan senantiasa
merasa bodoh dan haus akan ilmu baru, laksana seseorang dalam kehausan, lalu ia
meminum air garam maka ia justru semakin haus dan haus. Jadi, ilmu dan orang
berilmu merupakan pengawal sejati kelangsungan kehidupan manusia.
Penting dan perlu untuk kita
pahami bahwa kehidupan ini adalah sebuah cerita tentang masa depan yang baik.
Dan yang menjadi pemeran utama adalah kita yang menyadari akan eksistensi
pendidikan dalam kehidupan kita, karena pendidikan akan menjadi sutradara yang
pantas untuk mendapatkan nominasi terbaik. (*)
Penulis: Mahasiswa STISIP Bima *)