Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

OPIN I: Pendidikan Bukan Pabrik

04 Juni 2012 | Senin, Juni 04, 2012 WIB Last Updated 2012-06-04T02:28:12Z

Oleh: Wardin Sulaiman

Memang dulu tidak banyak yang percaya kalau sekolah Muhammadiyah mampu bangkit mengukir prestasi seperti sekarang ini. Sering ada olok-olokan dan sikap meremehkan untuk mendiskreditkannya sekalipun itu menyisakan kesan kurang wajar dan tidak proporsional terutama dalam sektor etika dunia pendidikan kita Indonesia. Awal berdirinya memang tidak jauh tampaknya seperti dalam tampilan film Sang Pencerah dengan bangku mirip kotak sabun atau wajah gedungnya mirip sekolah belitung dalam film Lasykar Pelangi. Tidak begitu berhenti sampai disitu adanya julukan sikap meremehkan, kalau sekolah Muhammadiyah adalah tempat seperti penjara, orang-orang buangan, ujung pelarian mereka yang nakal dan kurang mampu, termasuk tidak mampu berprestasi sebagai pelarian akhir. Maka tidak sulit jika kita hendak mengurai satu persatu pandangan tersebut. Kini sekolah pertama yang didirikan KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 itu sejak tahun 2007 berturut-turut telah menyabet predikat kinerja terbaik dan SD terbaik se-Kota Yogyakarta dengan akreditasi nilai A atau 100 persen penuh. Sementara Sekolah Dasar Muhammadiyah Belitung telah membuktikan pula para alumninya menjadi orang-orang hebat di negeri ini.
Ia! Dikatakan juga penjara karena sekolah Muhammadiyah selalu mendidik dan menggembleng anak didiknya dengan pendidikan moral agama, pendidikan akal budi, dan terlebih bukan sekedar oper dan main pimpong pengetahuan untuk gugurkan kewajiban. Belakangan ini istilah itu ditenarkan sebagai pendidikan karakter. Begitupun menerima anak-anak kurang mampu bahkan nakal, disebabkan Muhammadiyah memegang prinsip bahwa mereka adalah tetap anak negeri yang patut mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak dan wajar, ketika pula banyak sekolah lain lupa dengan mimpi amanat konstitusi negara ini. Maka rangsangan untuk terciptanya dikhotomi dalam dunia pendidikan kian memuncak dan disintegrasi yang tidak tertahankan terus terjadi secara meluas. Dan itulah yang mempercepat kondisi Indeks Prestasi Manusia indonesia pada simpulan dibawah rata-rata. Sekalipun kini telah didongkrak, tetap saja dengan cara-cara yang tidak benar dan tidak proporsional. Bagi Muhammadiyah, pendidikan yang baik sesungguhnya bukan merupakan mesin pabrik yang hanya mampu memproduk siswa dan lembaran ijazahnya dengan sekedar merek lulus atau tamat, akan tetapi merupakan taruhan human investmen, human capital dan social capital meminjam istilahnya sang bapak mantan Mendiknas RI. Prof.DR.A Malik Fajar, Ketua PP Muhammadiyah. Tentu baginya bukan investasi sumber daya manusia yang asal-asalan, tetapi memiliki sasaran jangka panjang yang cukup orisinal. Sehingga tidak heran tampil nama-nama termasyhur yang dapat kita sebut seperti Presiden Soekarno, Jenderal Soedirman, Ki Bagus Hadikusumo, Mas Mansyur, HAMKA, Amien Ra’is, Syafi’i Ma’arif, Busyro Mukhoddas, dan lainnya lagi.
Tokoh hebat sekaliber Albert Einstein mengatakan “Education is lift after the schooling is over” hasil dari pendidikan itu jangan dilihat dari produk kegiatannya, tapi lihatlah lulusan atau alumninya. Ketika pelaku terdidik dalam dunia pendidikan kini masih menjadikan parameter keberhasilan yang membanggakan/sukses adalah pada jumlah angka dalam raport dan ijazah dari hasil Ujian yang didapat siswa, maka sekolah tidak jauh beda dengan pabrik yang prodaknya asal jadi dengan sebanyak mungkin tapi tidak laku di jual, hanya menjadi penganggur kelas kakap dan pengacau pasar peradaban. Disinilah akan terbukti kegagalan dunia pendidikan kita dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah tujuan kita hendak mengatasi masalah dan ketertinggalan ini dengan tanpa melahirkan masalah baru yang lebih merepotkan lagi? Tentu.
Lulusan/alumni adalah benar merupakan investasi SDM jangka panjang. Dapat diharapkan mereka dengan bobot modal ilmu pengetahuan dan kesiapan mental/moral yang baik dapat bersaing masuk sekolah unggul, PTS/PTN terbaik, atau dapat cepat bekerja sesuai bidang ahlinya. Tentu untuk tidak lagi menjadi pemulung, pemaling, perampok, pembunuh, TKI/TKW, pelacur, bandar narkoba, penipu, pembohong, termasuk koruptor pembohong kelas kakap pengacau peradaban.
Mungkin anda masih ingat ketika Walikota Solo, Joko Widodo, membeli mobil produk lokal monumental yang dijadikan sebagai mobil dinas Pemerintahan Kota Solo? Itu terjadi sebelum sekolah-sekolah SMK lain sibuk-sibuk pamer produk di berbagai media. “Sang Surya”, begitulah nama mobil produksi para siswa SMK ini, terdengar begitu sangat identik dengan Muhammadiyah. Mobil tersebut adalah hasil karya para siswa SMK di Jawa Tengah. Salah satu SMK swasta yang mampu memproduksi mobil sendiri, itulah SMK Muhammadiyah 2 Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Konon mereka pernah diremehkan. Dalam 6 kali pertemuan belum juga bisa bongkar pasang roda karena 3 kali pertemuannya yang diajarkan dan diperbaiki pada do’anya.
Tentu kondisi membanggakan seperti ini bukan langka terjadi di tempat lain dalam tubuh pendidikan Muhammadiyah sendiri. Seperti prestasi sekolah Muhammadiyah di Jakarta, Surabaya, Bali, Palembang, Makassar, NTB, dan tempat lain termasuk Bima ini. Dalam neracanya Muhammadiyah, produknya bukan semata untuk pameran dan bisnis, tapi untuk karya pengabdian dan gerakan amal. Tidak ditanya seberapa yang didapatkan dari Muhammadiyah dan Bangsa ini. Tapi sudah seberapa yang saya perbuat untuk Muhammadiyah dan Bangsa. Prinsip lain yang sama, hidup-hidupilah Muhammadiyah/atau bangsa dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah/bangsa. (jangan salah tafsir).
Pantas The largest modernis islamic organitations, itulah julukan Organisasi Muhammadiyah yang kelahirannya lewat tangan seorang pembaharu besar pada tahun 1912 di Kauman Yogyakarta. Julukan oleh dunia internasional ini bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. DR. M. Din Symsuddin, MA. adalah tentu dengan modal sejarah yang sangat besar. Dengan modal sejarah yang besar itu Muhammadiyah lebih awal dari kelahirannya telah bertekad untuk ikut berpartisipasi dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi Muhammadiyah dalam kancah pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara itu memang patut disyukuri dan dibanggakan dengan telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang signifikan pada tiap-tiap level bidang kehidupan yang menjadi garapannya. Kita lihat bagaimana geliat dan langkah gerakan dakwah, tajdid dan purifikasi Muhammadiyah dalam meletakkan warna keislaman yang autentik dan berkemajuan. Begitupun pada bidang seni dan budaya, sektor sosial dan politik, hukum dan HAM, ekonomi dan pemerintahan, terlebih kesehatan dan pendidikan. Yang terakhir disebut ini memang menarik dan merupakan agenda besar yang sangat perlu dimajukan dan sangat mendasar bagi bangsa indonesia saat sekarang ini. Karena fakta pendidikan sampai detik ini, bukan semata sistemnya yang tumpul dan amburadul tetapi keseluruhan komponen dan tetebengeknya yang merepotkan, terlebih yang lebih parah adalah merajalelanya moral literasi, buta aksara moral istilah Din Syamsuddin. Dan pandangan yang lebih ironi adalah bahwa kebutaan aksra moral ini telah menghinggapi para elit dan kaum terdidik hingga membuat negeri ini terkurung membusuk dalam kelambanannya memajukan kehidupan di berbagai sektor bidang kehidupan. Inilah kemudian yang menampilkan gejala menyuburnya korupsi, terorisme, pembunuhan dan perampokan, kekerasan dan narkoba, pergaulan bebas dan perdagangan manusia, eksploitasi alam, kesenjangan ekonomi, dan kejahatan yang lainnya.
Memang persoalan pendidikan tidak bisa lagi dikategorikan sekedar main-main seperti main kelereng dan jalan-jalan ke pasar. Mewartakan lebih lanjut isi pidato iftitah Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada acara pembukaan Muktamar satu Abad Muhammadiyah ke 46 di Stadion Mandala Krida, 3 juli 2010. Adalah, Muhammadiyah mengajak seluruh pihak untuk bekerja sama dan membangun kemitraan strategis yang sejati untuk membangun bangsa dan negeri ini, tentu hubungan yang sifatnya proporsional atau loyal kritis.
A Malik Fajar di gedung dakwah Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta. Mengatakan setelah mencermati ada 4 unsur yang dipegang dan menjadi kata kunci sehingga pendidikan Muhammadiyah tidak terbawa arus dan tidak pula tertinggal:  
Pertama, Pertumbuhan; Etos pemikiran yang segar dan maju memang tidak bisa jauh dari pimpinan dan kader Muhammadiyah untuk merangsang pertumbuhan selangkah demi selangkah usaha-usaha gerakannya. Tentu gerakan berbasis integratif dan loyal kritis.
Kedua, Perubahan; Liriklah contoh kemegahan dan keunggulan kampus putih UMM Malang, begitupun UMS Surakarta, UMY dan UAD Yogyakarta, UMJ dan UHAMKA Jakarta, UMM Makassar dan UMP Palembang. Dari kampus kumuh menuju world class. Maka, bukan pimpinan dan kader Muhammadiyah kalau tidak mampu bersaing untuk perubahan yang lebih baik. Pantaslah Muhammadiyah merupakan organisasi modernis terbesar dan tetap menempati juara bertahan.
Ketiga,    Pembaruan; gagasan-gagasan baru serta langkah-langkah nyata sangat mewarnai setiap usaha dan gerakannya. dan Keempat,    Kesinambungan; titik tekannya adalah penguasaan pada segala bidang ilmu pengetahuan dan ilmu agama sebagai aspek terpenting yang harus dimiliki.
 
Penulis: - Guru SMA Muhammadiyah Kota Bima/PDPM Kabupaten Bima
×
Berita Terbaru Update