Oleh: Wardin Sulaiman
Memang dulu tidak banyak yang percaya
kalau sekolah Muhammadiyah mampu bangkit mengukir prestasi seperti sekarang
ini. Sering ada olok-olokan dan sikap meremehkan untuk mendiskreditkannya
sekalipun itu menyisakan kesan kurang wajar dan tidak proporsional terutama
dalam sektor etika dunia pendidikan kita Indonesia. Awal berdirinya memang
tidak jauh tampaknya seperti dalam tampilan film Sang Pencerah dengan bangku
mirip kotak sabun atau wajah gedungnya mirip sekolah belitung dalam film
Lasykar Pelangi. Tidak begitu berhenti sampai disitu adanya julukan sikap
meremehkan, kalau sekolah Muhammadiyah adalah tempat seperti penjara,
orang-orang buangan, ujung pelarian mereka yang nakal dan kurang mampu,
termasuk tidak mampu berprestasi sebagai pelarian akhir. Maka tidak sulit jika
kita hendak mengurai satu persatu pandangan tersebut. Kini sekolah pertama yang
didirikan KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 itu sejak tahun 2007 berturut-turut
telah menyabet predikat kinerja terbaik dan SD terbaik se-Kota Yogyakarta
dengan akreditasi nilai A atau 100 persen penuh. Sementara Sekolah Dasar
Muhammadiyah Belitung telah membuktikan pula para alumninya menjadi orang-orang
hebat di negeri ini.
Ia! Dikatakan juga penjara karena
sekolah Muhammadiyah selalu mendidik dan menggembleng anak didiknya dengan
pendidikan moral agama, pendidikan akal budi, dan terlebih bukan sekedar oper
dan main pimpong pengetahuan untuk gugurkan kewajiban. Belakangan ini istilah
itu ditenarkan sebagai pendidikan karakter. Begitupun menerima anak-anak kurang
mampu bahkan nakal, disebabkan Muhammadiyah memegang prinsip bahwa mereka
adalah tetap anak negeri yang patut mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang
layak dan wajar, ketika pula banyak sekolah lain lupa dengan mimpi amanat
konstitusi negara ini. Maka rangsangan untuk terciptanya dikhotomi dalam dunia
pendidikan kian memuncak dan disintegrasi yang tidak tertahankan terus terjadi
secara meluas. Dan itulah yang mempercepat kondisi Indeks Prestasi Manusia
indonesia pada simpulan dibawah rata-rata. Sekalipun kini telah didongkrak,
tetap saja dengan cara-cara yang tidak benar dan tidak proporsional. Bagi
Muhammadiyah, pendidikan yang baik sesungguhnya bukan merupakan mesin pabrik
yang hanya mampu memproduk siswa dan lembaran ijazahnya dengan sekedar merek
lulus atau tamat, akan tetapi merupakan taruhan human investmen, human
capital dan social capital meminjam istilahnya sang bapak mantan Mendiknas
RI. Prof.DR.A Malik Fajar, Ketua PP Muhammadiyah. Tentu baginya bukan investasi
sumber daya manusia yang asal-asalan, tetapi memiliki sasaran jangka panjang
yang cukup orisinal. Sehingga tidak heran tampil nama-nama termasyhur yang
dapat kita sebut seperti Presiden Soekarno, Jenderal Soedirman, Ki Bagus
Hadikusumo, Mas Mansyur, HAMKA, Amien Ra’is, Syafi’i Ma’arif, Busyro Mukhoddas,
dan lainnya lagi.
Tokoh hebat sekaliber Albert Einstein
mengatakan “Education is lift after the schooling is over” hasil dari
pendidikan itu jangan dilihat dari produk kegiatannya, tapi lihatlah lulusan
atau alumninya. Ketika pelaku terdidik dalam dunia pendidikan kini masih
menjadikan parameter keberhasilan yang membanggakan/sukses adalah pada jumlah
angka dalam raport dan ijazah dari hasil Ujian yang didapat siswa, maka sekolah
tidak jauh beda dengan pabrik yang prodaknya asal jadi dengan sebanyak mungkin
tapi tidak laku di jual, hanya menjadi penganggur kelas kakap dan pengacau
pasar peradaban. Disinilah akan terbukti kegagalan dunia pendidikan kita dengan
misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah tujuan kita hendak mengatasi
masalah dan ketertinggalan ini dengan tanpa melahirkan masalah baru yang lebih
merepotkan lagi? Tentu.
Lulusan/alumni adalah benar merupakan
investasi SDM jangka panjang. Dapat diharapkan mereka dengan bobot modal ilmu
pengetahuan dan kesiapan mental/moral yang baik dapat bersaing masuk sekolah
unggul, PTS/PTN terbaik, atau dapat cepat bekerja sesuai bidang ahlinya. Tentu
untuk tidak lagi menjadi pemulung, pemaling, perampok, pembunuh, TKI/TKW,
pelacur, bandar narkoba, penipu, pembohong, termasuk koruptor pembohong kelas
kakap pengacau peradaban.
Mungkin anda masih ingat ketika
Walikota Solo, Joko Widodo, membeli mobil produk lokal monumental yang
dijadikan sebagai mobil dinas Pemerintahan Kota Solo? Itu terjadi sebelum
sekolah-sekolah SMK lain sibuk-sibuk pamer produk di berbagai media. “Sang
Surya”, begitulah nama mobil produksi para siswa SMK ini, terdengar begitu
sangat identik dengan Muhammadiyah. Mobil tersebut adalah hasil karya para
siswa SMK di Jawa Tengah. Salah satu SMK swasta yang mampu memproduksi mobil
sendiri, itulah SMK Muhammadiyah 2 Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Konon
mereka pernah diremehkan. Dalam 6 kali pertemuan belum juga bisa bongkar pasang
roda karena 3 kali pertemuannya yang diajarkan dan diperbaiki pada do’anya.
Tentu kondisi membanggakan seperti ini
bukan langka terjadi di tempat lain dalam tubuh pendidikan Muhammadiyah
sendiri. Seperti prestasi sekolah Muhammadiyah di Jakarta, Surabaya, Bali,
Palembang, Makassar, NTB, dan tempat lain termasuk Bima ini. Dalam neracanya
Muhammadiyah, produknya bukan semata untuk pameran dan bisnis, tapi untuk karya
pengabdian dan gerakan amal. Tidak ditanya seberapa yang didapatkan dari
Muhammadiyah dan Bangsa ini. Tapi sudah seberapa yang saya perbuat untuk
Muhammadiyah dan Bangsa. Prinsip lain yang sama, hidup-hidupilah
Muhammadiyah/atau bangsa dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah/bangsa. (jangan
salah tafsir).
Pantas The largest modernis
islamic organitations, itulah julukan Organisasi Muhammadiyah yang
kelahirannya lewat tangan seorang pembaharu besar pada tahun 1912 di Kauman
Yogyakarta. Julukan oleh dunia internasional ini bagi Ketua Umum PP
Muhammadiyah Prof. DR. M. Din Symsuddin, MA. adalah tentu dengan modal sejarah
yang sangat besar. Dengan modal sejarah yang besar itu Muhammadiyah lebih awal
dari kelahirannya telah bertekad untuk ikut berpartisipasi dalam memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi Muhammadiyah dalam kancah
pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara itu memang patut disyukuri dan
dibanggakan dengan telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang signifikan pada
tiap-tiap level bidang kehidupan yang menjadi garapannya. Kita lihat bagaimana
geliat dan langkah gerakan dakwah, tajdid dan purifikasi Muhammadiyah dalam
meletakkan warna keislaman yang autentik dan berkemajuan. Begitupun pada bidang
seni dan budaya, sektor sosial dan politik, hukum dan HAM, ekonomi dan
pemerintahan, terlebih kesehatan dan pendidikan. Yang terakhir disebut ini
memang menarik dan merupakan agenda besar yang sangat perlu dimajukan dan
sangat mendasar bagi bangsa indonesia saat sekarang ini. Karena fakta
pendidikan sampai detik ini, bukan semata sistemnya yang tumpul dan amburadul
tetapi keseluruhan komponen dan tetebengeknya yang merepotkan, terlebih yang
lebih parah adalah merajalelanya moral literasi, buta aksara moral
istilah Din Syamsuddin. Dan pandangan yang lebih ironi adalah bahwa kebutaan
aksra moral ini telah menghinggapi para elit dan kaum terdidik hingga membuat
negeri ini terkurung membusuk dalam kelambanannya memajukan kehidupan di
berbagai sektor bidang kehidupan. Inilah kemudian yang menampilkan gejala
menyuburnya korupsi, terorisme, pembunuhan dan perampokan, kekerasan dan
narkoba, pergaulan bebas dan perdagangan manusia, eksploitasi alam, kesenjangan
ekonomi, dan kejahatan yang lainnya.
Memang persoalan pendidikan tidak bisa
lagi dikategorikan sekedar main-main seperti main kelereng dan jalan-jalan ke
pasar. Mewartakan lebih lanjut isi pidato iftitah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada acara pembukaan Muktamar satu Abad Muhammadiyah ke 46 di Stadion Mandala
Krida, 3 juli 2010. Adalah, Muhammadiyah mengajak seluruh pihak untuk bekerja
sama dan membangun kemitraan strategis yang sejati untuk membangun bangsa dan
negeri ini, tentu hubungan yang sifatnya proporsional atau loyal kritis.
A Malik Fajar di gedung dakwah
Muhammadiyah, Menteng Raya, Jakarta. Mengatakan setelah mencermati ada 4 unsur
yang dipegang dan menjadi kata kunci sehingga pendidikan Muhammadiyah tidak
terbawa arus dan tidak pula tertinggal:
Pertama, Pertumbuhan;
Etos pemikiran yang segar dan maju memang tidak bisa jauh dari pimpinan dan
kader Muhammadiyah untuk merangsang pertumbuhan selangkah demi selangkah
usaha-usaha gerakannya. Tentu gerakan berbasis integratif dan loyal kritis.
Kedua, Perubahan;
Liriklah contoh kemegahan dan keunggulan kampus putih UMM Malang, begitupun UMS
Surakarta, UMY dan UAD Yogyakarta, UMJ dan UHAMKA Jakarta, UMM Makassar dan UMP
Palembang. Dari kampus kumuh menuju world class. Maka, bukan pimpinan
dan kader Muhammadiyah kalau tidak mampu bersaing untuk perubahan yang lebih
baik. Pantaslah Muhammadiyah merupakan organisasi modernis terbesar dan tetap
menempati juara bertahan.
Ketiga, Pembaruan; gagasan-gagasan baru serta
langkah-langkah nyata sangat mewarnai setiap usaha dan gerakannya. dan Keempat, Kesinambungan; titik tekannya adalah
penguasaan pada segala bidang ilmu pengetahuan dan ilmu agama sebagai aspek
terpenting yang harus dimiliki.