SOROT PUISI
Jangan Abaikan Rima
Oleh: Usman
D.Ganggang*)
SALAH satu ciri
khas puisi adalah penggunaan rima oleh penyairnya. Rima itu
sendiri itu merupakan sinonim dari persamaan bunyi, atau istilah lainnya adalah
sajak (bukan sanjak karena sanjak identik dengan puisi), baik persamaan bunyi
di awal, di tengah atau di akhir larik (baris) sebuah puisi. Bagaimana
perkembangannya belakangan ini? Terasa ada miris buat pemerhati sastra,
pasalnya calon penyair sudah cenderung mengabaikan pemanfaatan rima ini
dalam karya puisinya.
Padahal kalau dicermati dengan
saksama, tradisi pemanfaatan rima dalam sebuah puisi, adalah sebuah
keniscayaan. Mengapa itu penting? Sebuah puisi akan lebih puitis (indah) dan
bernas (bermakna), jika seorang penyair berusaha ekstra keras dalam mengolah rima
(persamaan bunyi = sajak). Dengan mengolah irama (intonasi dan tekanan)
dan rima, demikian Agus R.Sarjono dalam Majalah Horison, Juni 2001, maka
kata biasa yang mudah disusun dalam bentuk puisi terpaksa harus dicari dan
dicari lagi agar memiliki rima yang padu (terkait).
Apa yang diungkapkan Sarjono yang
dosen sekaligus sastrawan itu, benar adanya. Pasalnya, tindakan mencari irama
dan rima itu adalah sebuah tindakan kreatif penyair untuk menemukan
berbagai kemungkinan kata yang lebih puitis sekaligus lebih kuat pengaruhnya,
sehingga membuat penikmat sastra terpukau terhadap apa yang dibacanya dari
sebuah tulisan seorang penyair.
Fakta riil di lapangan, ternyata
menunjukkan bahwa calon penyair kita cenderung abaikan rima dan terfokus
pada bentuk puisi modern. Ini disadari, para calon penyair selalu berhadapan
dengan puisi yang dihidupi oleh tradisi puisi bebas yang sekali lagi, selalu
mengabaikan rima, sehingga, maaf kalau pengasuh lebih lancang, kalau dikatakan,
hasilnya carut – marut pemanfaatan rimanya.
Diakui, puisi – puisi belakangan
ini cendrung rimbun dan meledak – ledak. Akibatnya, pembaca tergoda untuk
menerimanya sebagai sebuah pembicaraan. Konkretnya, penyair (penulisnya)
tergoda untuk melihat dan mengelola puisi – puisinya sebagai serangkaian
“pembicaraan – pembicaraan”. Terkait dengan masalah ini, Sarjono mengedepankan
pengertian puisi itu adalah pertempuran abadi antara “bernyanyi” dengan
“bicara”.
Maksudnya, pada “bicara” yang
penting adalah pokok – pokok pembicaraan dan didukung oleh argumentasi.
Sedangkan pada puisi, pokok pembicaraan hanyalah salah satu unsur. Masih ada
unsur lain seperti: suasana; rima; rancang bangun; dan diksi
yang kesemuanya digarap dengan baik oleh penyairnya. Jadi, kalau menulis puisi,
mestilah aspek “bicara” harus diubah menjadi sebuah “nyanyi”. Dan kalau sudah
jadi sebuah nyanyian, maka kata – kata penghubung yang cendrung pada
“argumentatif “ dihilangkan (ingat sebuah lagu, jarang kita lihat kata – kata
penghubung mendukung argumerntasi!)
Nah, terkait dengan puisi dua
kawan kita kali ini (Indrah dan Feri), perlu kita kaji bagaimana pemanfaatan rimanya,
adakah puisinya mengarah ke sebuah “nyanyi”, artinya bukan “bicara”? Dan
karena itu, perlukah diedit kembali, sehingga puisi keduanya membuka
kemungkinan dalam eksperimen berbahasa? Kita cermati terlebih dahulu, puisi –
puisinya, berikut ini! “Ibu” karya Indrah
dan “Ayah” karya Feri.
Ibu
Oleh: Indrah
Dalam keheningan malam aku terbangun
Ku mendengar suara tangisanmu
Memohon kepada yang kuasa
Engkau selalu berdoa untuk kami
Ibu betapa besar pengorbananmu
Hingga kami tak sadari Pengorbanamu telah mengalir
dalam darah dan daging kami
Dan bersemayam di dalam jiwa kami
Tanpamu kami takan tau arti hidup
Karenamu kami mengenal kasih sayang
Kau ajarkan kami kebenaran
Kau tanamkan budi pekerti yang luhur
Ibu kasihmu bagaikan lautan
Tak kan
pernah berkurang
Walau zaman terus berganti
Dan sang waktu terus berjalan
Ayah
Oleh: Feri
Dunia terus berputar
Sang Waktu pun terus berjalan
Jasamu tak akan kulupakan
Sampai dunia berhenti berputar
Ayah Jasamu begitu besar
Gunung pun tidak bisa menandingi jasamu
Ayah Anda iaku bisa membalas jasamu
Akan Kuberikan walaupun nyawaku
Kita harus acungi jempol, bahwa
Indrah dan Feri, sudah menghasilkan karya dalam bentuk puisi. Resep “mulai”,
sudah dijalankan. Meski akhirnya, kita beri saran bahwa kalau menulis puisi
perlu adanya upaya mengolah puisi sebagai sebuah “nyanyian” (kurangi kata
penghubung) dan karena itu, jangan abaikan “rima” dan “irama”. Selain itu,
perlu ada upaya pengendapan untuk kemudian menemukan “diksi” (pilihan kata
mewakili maksud) sehingga pesannya komunikatif (pesan sampai pada pembaca).
Ingat! Puisi adalah ragam karya sastra yang
dianggap paling mewakili ekspresi perasaan penyairnya. Bentuk ekspresi
itu, sudah ditulis oleh kedua teman kita ini, sayangnya, masih cendrung pada
“bicara” sehingga pesan berupa “ pujian” dalam kedua puisi ini, nampaknya
mengarah ke aspek “bicara “ dengan didukung oleh argument. Konkretnya, kedua
teman kita ini, belum memberi “ruang” kepada penikmat untuk hadirkan “ tanya”,
ada apa di balik yang tersurat. Iya, sekali lagi perlu ada “proses pengendapan”
untuk menemukan “diksi” yang kuat dan “rima” yang puitis sehingga penikmat akan
“terseret” ke dalam puisi – puisi itu.
Itu pula sebabnya, pengasuh
meminta kedua calon penyair ini, untuk mengeditkan kembali puisinya, sehingga
puisi itu nantinya bertenaga dalam membuka kemungkinan dalam eksperimen
berbahasa dan tentu diawali dengan memilah untuk memilih sekaligus menambah
serta membuang dan mengganti kata yang kurang tepat. Pertimbangan ini diambil
dengan harapan untuk meningkatkan kepekaan pada : bunyi bahasa, irama, rima,
dan diksi, dan akhirnya dapat, mempertajam rasa berbahasa dalam puisi yang
disusun. Selamat menulis lagi! Anda adalah harapan masa depan ! mengapa tidak?
(*)
*) Pengasuh: berdomisili di Sadia I Kota Bima. Komunitas KertaS