Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

APRESIASI SASTRA

02 Juni 2012 | Sabtu, Juni 02, 2012 WIB Last Updated 2012-06-04T02:39:25Z
SOROT PUISI
Jangan Abaikan Rima
Oleh: Usman D.Ganggang*)
SALAH satu ciri khas puisi adalah penggunaan rima oleh penyairnya. Rima itu sendiri itu merupakan sinonim dari persamaan bunyi, atau istilah lainnya adalah sajak (bukan sanjak karena sanjak identik dengan puisi), baik persamaan bunyi di awal, di tengah atau di akhir larik (baris) sebuah puisi. Bagaimana perkembangannya belakangan ini? Terasa ada miris buat pemerhati sastra, pasalnya calon penyair sudah cenderung mengabaikan pemanfaatan rima ini dalam karya puisinya.
Padahal kalau dicermati dengan saksama, tradisi pemanfaatan rima dalam sebuah puisi, adalah sebuah keniscayaan. Mengapa itu penting? Sebuah puisi akan lebih puitis (indah) dan bernas (bermakna), jika seorang penyair berusaha ekstra keras dalam mengolah rima (persamaan bunyi = sajak). Dengan mengolah irama (intonasi dan tekanan) dan rima, demikian Agus R.Sarjono dalam Majalah Horison, Juni 2001, maka kata biasa yang mudah disusun dalam bentuk puisi terpaksa harus dicari dan dicari lagi agar memiliki rima yang padu (terkait).
Apa yang diungkapkan Sarjono yang dosen sekaligus sastrawan itu, benar adanya. Pasalnya,  tindakan mencari irama dan rima itu adalah sebuah tindakan kreatif penyair untuk menemukan berbagai kemungkinan kata yang lebih puitis sekaligus lebih kuat pengaruhnya, sehingga membuat penikmat sastra terpukau terhadap apa yang dibacanya dari sebuah tulisan seorang penyair.
Fakta riil di lapangan, ternyata menunjukkan bahwa calon penyair kita cenderung abaikan rima dan terfokus pada bentuk puisi modern. Ini disadari, para calon penyair selalu berhadapan dengan puisi yang dihidupi oleh tradisi puisi bebas yang sekali lagi, selalu mengabaikan rima, sehingga, maaf kalau pengasuh lebih lancang, kalau dikatakan, hasilnya carut – marut pemanfaatan rimanya.
Diakui, puisi – puisi belakangan ini cendrung rimbun dan meledak – ledak. Akibatnya, pembaca tergoda untuk menerimanya sebagai sebuah pembicaraan. Konkretnya, penyair (penulisnya) tergoda untuk melihat dan mengelola puisi – puisinya sebagai serangkaian “pembicaraan – pembicaraan”. Terkait dengan masalah ini, Sarjono mengedepankan pengertian puisi itu adalah pertempuran abadi antara “bernyanyi” dengan “bicara”.
Maksudnya, pada “bicara” yang penting adalah pokok – pokok pembicaraan dan didukung oleh argumentasi. Sedangkan pada puisi, pokok pembicaraan hanyalah salah satu unsur. Masih ada unsur lain seperti: suasana; rima; rancang bangun; dan diksi yang kesemuanya digarap dengan baik oleh penyairnya. Jadi, kalau menulis puisi, mestilah aspek “bicara” harus diubah menjadi sebuah “nyanyi”. Dan kalau sudah jadi sebuah nyanyian, maka kata – kata penghubung yang  cendrung pada “argumentatif “ dihilangkan (ingat sebuah lagu, jarang kita lihat kata – kata penghubung mendukung argumerntasi!)
Nah, terkait dengan puisi dua kawan kita kali ini (Indrah dan Feri), perlu kita kaji bagaimana pemanfaatan rimanya, adakah puisinya mengarah ke sebuah “nyanyi”, artinya bukan “bicara”?  Dan karena itu, perlukah diedit kembali, sehingga puisi keduanya membuka kemungkinan dalam eksperimen berbahasa? Kita cermati terlebih dahulu, puisi – puisinya, berikut ini! “Ibu” karya Indrah dan “Ayah” karya Feri.
Ibu
Oleh: Indrah
Dalam keheningan malam aku terbangun
Ku mendengar suara tangisanmu
Memohon kepada yang kuasa
Engkau selalu berdoa untuk kami
Ibu betapa besar pengorbananmu
Hingga kami tak sadari Pengorbanamu telah mengalir
dalam darah dan daging kami
Dan bersemayam di dalam jiwa kami
Tanpamu kami takan tau arti hidup
Karenamu kami mengenal kasih sayang
Kau ajarkan kami kebenaran
Kau tanamkan budi pekerti yang luhur
Ibu kasihmu bagaikan lautan
Tak kan pernah berkurang
Walau zaman terus berganti
Dan sang waktu terus berjalan
Ayah
Oleh: Feri
Dunia terus berputar
Sang Waktu pun terus berjalan
Jasamu tak akan kulupakan
Sampai dunia berhenti berputar
Ayah Jasamu begitu besar
Gunung pun tidak bisa menandingi jasamu
Ayah Anda iaku bisa membalas jasamu
Akan Kuberikan walaupun nyawaku
Kita harus acungi jempol, bahwa Indrah dan Feri, sudah menghasilkan karya dalam bentuk puisi. Resep “mulai”, sudah dijalankan. Meski akhirnya, kita beri saran bahwa kalau menulis puisi perlu adanya upaya mengolah puisi sebagai sebuah “nyanyian” (kurangi kata penghubung) dan karena itu, jangan abaikan “rima” dan “irama”. Selain itu, perlu ada upaya pengendapan untuk kemudian menemukan “diksi” (pilihan kata mewakili maksud) sehingga pesannya komunikatif (pesan sampai pada pembaca).
Ingat! Puisi adalah ragam karya sastra yang dianggap paling mewakili ekspresi perasaan penyairnya.  Bentuk ekspresi itu, sudah ditulis oleh kedua teman kita ini, sayangnya, masih cendrung pada “bicara” sehingga pesan berupa “ pujian” dalam kedua puisi ini, nampaknya mengarah ke aspek “bicara “ dengan didukung oleh argument. Konkretnya, kedua teman kita ini, belum memberi “ruang” kepada penikmat untuk hadirkan “ tanya”, ada apa di balik yang tersurat. Iya, sekali lagi perlu ada “proses pengendapan” untuk menemukan “diksi” yang kuat dan “rima” yang puitis sehingga penikmat akan “terseret” ke dalam puisi – puisi itu.
Itu pula sebabnya, pengasuh meminta kedua calon penyair ini, untuk mengeditkan kembali puisinya, sehingga puisi itu nantinya bertenaga dalam membuka kemungkinan dalam eksperimen berbahasa dan tentu diawali dengan memilah untuk memilih sekaligus menambah serta membuang dan mengganti kata yang kurang tepat. Pertimbangan ini diambil dengan harapan untuk meningkatkan kepekaan pada : bunyi bahasa, irama, rima, dan diksi, dan akhirnya dapat, mempertajam rasa berbahasa dalam puisi yang disusun. Selamat menulis lagi! Anda adalah harapan masa depan ! mengapa tidak? (*)
*) Pengasuh: berdomisili di Sadia I Kota Bima. Komunitas KertaS
×
Berita Terbaru Update