Usman D.Ganggang*) |
Bentuk Puisi dan Julukan Penyair
Oleh: Usman D. Ganggang
DALAM sebuah kegiatan sastra, ada yang bertanya, ”Pak, mengapa orang yang menulis puisi itu bukan disebut pemuisi?” Kemudian, terdengar gumam, ”Penulis sajak bukan penyajak? Penyusun pantun bukan pemantun? Malah yang didengar adalah penyair”, sambung yang lainnya. Pertanyaan demikian, tentu butuh analisis jitu. Pasalnya, si penanya, paling kurang, paham akan jenis kata dengan segala penafsirannya, terkait dengan kehadiran imbuhan dalam sebuah kata yang didengarnya atau diungkapkannya.
Oleh: Usman D. Ganggang
DALAM sebuah kegiatan sastra, ada yang bertanya, ”Pak, mengapa orang yang menulis puisi itu bukan disebut pemuisi?” Kemudian, terdengar gumam, ”Penulis sajak bukan penyajak? Penyusun pantun bukan pemantun? Malah yang didengar adalah penyair”, sambung yang lainnya. Pertanyaan demikian, tentu butuh analisis jitu. Pasalnya, si penanya, paling kurang, paham akan jenis kata dengan segala penafsirannya, terkait dengan kehadiran imbuhan dalam sebuah kata yang didengarnya atau diungkapkannya.
Sekedar contoh: Orang yang melakukan kegiatan penelitian
disebut peneliti. Orang yang melakukan kegiatan membeli disebut pembeli; dan
orang yang ahli di bidang apotek disebut apoteker. Nah, mengapa kalau orang
yang ahli menggubah puisi atau penggubah sajak tidak disebut pemuisi atau penyajak,
malah disebut penyair? Maka, kita pun mendengar nama – nama penyair seperti:
penyair Taufik Ismail; penyair Yudhistira Ardi Nugraha; penyair Amir Hamzah, penyair
Moh.Wan Anwar, penyair Jamal D.Rahman, penyair Agus R.Sarjono, penyair Elkacen,
penyair Yan Suryadin, penyair Husain Laodet, dan bukan penyajak Taufik Ismail,
bukan pemuisi Yudhistira Ardi Nugraha, bukan pemantun Sutan Ali Haji, bukan
pemantun Husain Laodet, atau pemantun Elkacen dan pemantun Yan Suryadin?
Iya, cara berpikir seperti ini, ada benarnya. Namun
demikian, kalau dikaitkan dengan salah satu pengertian bahasa, yakni bahasa
adalah konvensi (kesepakatan) masyarakat pengguna bahasa, maka cara berpikir
kita pun akan berubah. Begitulah yang terjadi pada permasalahan yang diungkapkan
di atas. Maka jika kita sepakat, mengapa tidak, ya, untuk yang menggubah puisi
disebut penyair? Dan bukan yang lainnya?
“Hehehe…, tambah bingung nih!” gumam pembaca.
“Tidak perlu bingung, masih ada jalan lain yang
lebih pas,”
“Lebih pas bagaimana tanggap pembaca?”.
OK, Jika dicermati dari perkembangan istilah dalam
bentuk sastra terutama di Indonesia, maka akan ditemui istilah – istilah
terkait dengan bentuk karya sastra terikat, sebagai berikut: pantun, syair,
gurindam, puisi dan sajak. Kehadiran istilah – istilah tersebut tidak terlepas
dari sejarah kehadiran bentuk karya sastra yang ada. Misalnya, pantun itu
sendiri, adalah puisi asli Indonesia sejak zaman Melayu. Contoh yang lazim
didengar: Dari mana datangnya linta/ dari sawah turun ke kali/ dari mana
datangnya cinta/ dari mata turun ke hati//. Ada lagi pantun yang dipersingkat
(pantun kilat): /Sudah gaharu /Cendana pula//. Kemudian, di zaman modern ini,
masyarakat baru, menulis pantun modern. Contoh: /Cinta ditolak /dukun bertindak//.
Lalu syair, dari kata syuur yang artinya
perasaan itu, berasal dari bahasa Arab (ingat kehadiran Islam di Indonesia),
dan gurindam hadir bersama kehadiran Hindu di Indonesia. Dengan demikian,
jelaslah kiranya bahwa syair hadir bersama masuknya agama Islam; gurindam hadir
bersama masuknya agama Hindu di Indonesia sedang pantun adalah puisi asli
Indonesia.
“Bagaimana bentuk dari karya sastra tersebut?”
tanya pembaca karena tak puas. Pertama, pantun yang asli Indonesia itu dikenal
sejak lama dari Sabang sampai Merauke. Inilah bentuknya:
Dari mana datangnya linta
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati
Puisi
di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila Anda
akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syarat – syarat yang harus Anda
patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah empat, jumlah
suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua belas, rimanya
mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian
juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik pertama mesti memuat sampiran,
sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan
pantun.
Lalu, syair? Contohnya berikut
ini:/
apalah daya patik tuanku
kepada siapa tempat mengadu
ke sana sini tiadalah tentu
laksana ayam tiada beribu
Sama
seperti pantun, dalam syair pun, orang modern menulis syair modern, seperti
berikut ini: /terang bulan terang di kali /buaya muncul disangka mati /jangan
percaya mulut lelaki /berani sumpah takut mati//.
Syair
bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13,
seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Seperti halnya pantun, syair
memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas empat kata
atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak
pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat
dalam syair memuat isi syair tersebut. Perbedaan pantun dan syair terletak juga
pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.
Contoh yang bernafas agama, adalah berikut ini!
Bismillah itu mulia
dikata
Limpah rahmat terang
cuaca
Berkat Mohammad
penghulu kita
Ialah penghulu alam
pendeta
Al rahman itu sifat
yang sani
Maknanya murah amat
mengasihani
Kepada mumin hati
nurani
Di situlah tempat
mengasihani
Al rahim itu
pengasihan kita
Kepada Allah puji
semata
Itulah Tuhan yang
amat nyata
Memberi hambanya
berkata-kata
Dengarkan tuan suatu
rencana
Dikarang oleh dagang
yang hina
Sajaknya janggal
banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
Dan, contoh gurindam? Bacalah contoh berikut ini! /Hati
–hati memilih kawan /Salah – salah menjadi lawan//. Memperhatikan bentuknya,
nyaris sama dengan bentuk pantun kilat. Tapi jika dicermati dengan baik, maka
terdapat beda bentuknya, yakni bersajak a a. kemudian terlihat jelas,
kohrerensi antara larik pertama dan kedua, menunjukkan hubungan sebab akibat.
Ini dipahami, karena tujuan utama gurindam adalah pada pesan atau nasihatnya.
Lalu, puisi atau sajak? Konkretnya, istilah puisi
dan sajak adalah dua buah istilah dalam bidang kesusastraan yang baru dikenal
kemudian. Seperti yang ditulis Chairil Anwar berikut ini:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar
menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima
segala tiba
Tak kutahu setinggi
itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Bentuk puisi lama yang lebih dulu dikenal bangsa
Indonesia adalah bentuk karya sastra: pantun dan syair. Semula pemantun
diartikan orang yang mengucapkan /penulis pantun. Lalu, dengan kemajuan yang
begitu pesat, lahirlah bentuk puisi baru/ modern. Maka kita kenal istilah
pemuisi, adalah orang yang menulis puisi, dan penyajak orang yang menulis
sajak, sedangkan penyair diartikan penggubah syair. Kemudian diluaskan artinya
menjadi penggubah semua bentuk bahasa terikat seperti: pantun, gurindam, syair
itu atau syuur, sajak, serta puisi itu, disebut penyair.
Jadi, kata penyair
mengandung dua makna yakni makna yang sempit” penyusun syair salah satu bentuk
puisi lama; sedangkan makna yang luas “penggubah puisi atau sajak” seperti
Chairil Anwar; W.S Rendra; Sutardji Calzoum Bachri; Elkacen; S.Samada, dll.
Lalu, di mana letak istilah penyajak dan pemuisi? Yang jelas, karena ada
kesepakatan bahwa penggubah puisi atau sajak disebut penyair, maka istilah
pemuisi dan penyajak memang tidak biasa dipakai. Iya, sekali lagi di sini, soal
kebiasaan yang diterima oleh masyarakat pemakai bahasa terkait dengan makna
konvensi di atas tadi. (*)
*) Penulis: penyair
yang berdomisili di Sadia Kota Bima.
Sumber bacaan : Majalah Horisan dan materi MGMP Bahasa Indonesia
tahun 2010
Kota Kesultanan Bima, 0200511A