Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

APRESIASI SASTRA:

26 Mei 2012 | Sabtu, Mei 26, 2012 WIB Last Updated 2012-05-26T04:29:42Z
Usman D.Ganggang*)
Bentuk Puisi dan Julukan Penyair
Oleh: Usman D. Ganggang

DALAM sebuah kegiatan sastra, ada yang bertanya, ”Pak, mengapa orang yang menulis puisi itu bukan disebut pemuisi?” Kemudian, terdengar gumam, ”Penulis sajak bukan penyajak? Penyusun pantun bukan pemantun? Malah yang didengar adalah penyair”, sambung yang lainnya. Pertanyaan demikian, tentu butuh analisis jitu. Pasalnya, si penanya, paling kurang, paham akan jenis kata dengan segala penafsirannya, terkait dengan kehadiran imbuhan dalam sebuah kata yang didengarnya atau diungkapkannya.
Sekedar contoh: Orang yang melakukan kegiatan penelitian disebut peneliti. Orang yang melakukan kegiatan membeli disebut pembeli; dan orang yang ahli di bidang apotek disebut apoteker. Nah, mengapa kalau orang yang ahli menggubah puisi atau penggubah sajak tidak disebut pemuisi atau penyajak, malah disebut penyair? Maka, kita pun mendengar nama – nama penyair seperti: penyair Taufik Ismail; penyair Yudhistira Ardi Nugraha; penyair Amir Hamzah, penyair Moh.Wan Anwar, penyair Jamal D.Rahman, penyair Agus R.Sarjono, penyair Elkacen, penyair Yan Suryadin, penyair Husain Laodet, dan bukan penyajak Taufik Ismail, bukan pemuisi Yudhistira Ardi Nugraha, bukan pemantun Sutan Ali Haji, bukan pemantun Husain Laodet, atau pemantun Elkacen dan pemantun Yan Suryadin?
Iya, cara berpikir seperti ini, ada benarnya. Namun demikian, kalau dikaitkan dengan salah satu pengertian bahasa, yakni bahasa adalah konvensi (kesepakatan) masyarakat pengguna bahasa, maka cara berpikir kita pun akan berubah. Begitulah yang terjadi pada permasalahan yang diungkapkan di atas. Maka jika kita sepakat, mengapa tidak, ya, untuk yang menggubah puisi disebut penyair? Dan bukan yang lainnya?
“Hehehe…, tambah bingung nih!” gumam pembaca.
“Tidak perlu bingung, masih ada jalan lain yang lebih pas,”
“Lebih pas bagaimana tanggap pembaca?”.
OK, Jika dicermati dari perkembangan istilah dalam bentuk sastra terutama di Indonesia, maka akan ditemui istilah – istilah terkait dengan bentuk karya sastra terikat, sebagai berikut: pantun, syair, gurindam, puisi dan sajak. Kehadiran istilah – istilah tersebut tidak terlepas dari sejarah kehadiran bentuk karya sastra yang ada. Misalnya, pantun itu sendiri, adalah puisi asli Indonesia sejak zaman Melayu. Contoh yang lazim didengar: Dari mana datangnya linta/ dari sawah turun ke kali/ dari mana datangnya cinta/ dari mata turun ke hati//. Ada lagi pantun yang dipersingkat (pantun kilat): /Sudah gaharu /Cendana pula//. Kemudian, di zaman modern ini, masyarakat baru, menulis pantun modern. Contoh: /Cinta ditolak /dukun bertindak//.
Lalu syair, dari kata syuur yang artinya perasaan itu, berasal dari bahasa Arab (ingat kehadiran Islam di Indonesia), dan gurindam hadir bersama kehadiran Hindu di Indonesia. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa syair hadir bersama masuknya agama Islam; gurindam hadir bersama masuknya agama Hindu di Indonesia sedang pantun adalah puisi asli Indonesia.
“Bagaimana bentuk dari karya sastra tersebut?” tanya pembaca karena tak puas. Pertama, pantun yang asli Indonesia itu dikenal sejak lama dari Sabang sampai Merauke. Inilah bentuknya:
Dari mana datangnya linta
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati
Puisi di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila Anda akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syarat – syarat yang harus Anda patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah empat, jumlah suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik pertama mesti memuat sampiran, sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan pantun.
Lalu,  syair? Contohnya berikut ini:/
apalah daya patik tuanku
kepada siapa tempat mengadu
ke sana sini tiadalah tentu
laksana ayam tiada beribu
Sama seperti pantun, dalam syair pun, orang modern menulis syair modern, seperti berikut ini: /terang bulan terang di kali /buaya muncul disangka mati /jangan percaya mulut lelaki /berani sumpah takut mati//.
Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Seperti halnya pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. Perbedaan pantun dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.
Contoh yang bernafas agama, adalah berikut ini!
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Ialah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada mumin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
Dan, contoh gurindam? Bacalah contoh berikut ini! /Hati –hati memilih kawan /Salah – salah menjadi lawan//. Memperhatikan bentuknya, nyaris sama dengan bentuk pantun kilat. Tapi jika dicermati dengan baik, maka terdapat beda bentuknya, yakni bersajak a a. kemudian terlihat jelas, kohrerensi antara larik pertama dan kedua, menunjukkan hubungan sebab akibat. Ini dipahami, karena tujuan utama gurindam adalah pada pesan atau nasihatnya.
Lalu, puisi atau sajak? Konkretnya, istilah puisi dan sajak adalah dua buah istilah dalam bidang kesusastraan yang baru dikenal kemudian. Seperti yang ditulis Chairil Anwar berikut ini:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Bentuk puisi lama yang lebih dulu dikenal bangsa Indonesia adalah bentuk karya sastra: pantun dan syair. Semula pemantun diartikan orang yang mengucapkan /penulis pantun. Lalu, dengan kemajuan yang begitu pesat, lahirlah bentuk puisi baru/ modern. Maka kita kenal istilah pemuisi, adalah orang yang menulis puisi, dan penyajak orang yang menulis sajak, sedangkan penyair diartikan penggubah syair. Kemudian diluaskan artinya menjadi penggubah semua bentuk bahasa terikat seperti: pantun, gurindam, syair itu atau syuur, sajak, serta  puisi  itu, disebut penyair.
Jadi, kata penyair mengandung dua makna yakni makna yang sempit” penyusun syair salah satu bentuk puisi lama; sedangkan makna yang luas “penggubah puisi atau sajak” seperti Chairil Anwar; W.S Rendra; Sutardji Calzoum Bachri; Elkacen; S.Samada, dll. Lalu, di mana letak istilah penyajak dan pemuisi? Yang jelas, karena ada kesepakatan bahwa penggubah puisi atau sajak disebut penyair, maka istilah pemuisi dan penyajak memang tidak biasa dipakai. Iya, sekali lagi di sini, soal kebiasaan yang diterima oleh masyarakat pemakai bahasa terkait dengan makna konvensi di atas tadi. (*)
*) Penulis: penyair yang berdomisili di Sadia Kota Bima.
Sumber bacaan : Majalah Horisan dan materi MGMP Bahasa Indonesia tahun 2010
Kota Kesultanan Bima, 0200511A
×
Berita Terbaru Update