Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Apresiasi Sastra

16 April 2012 | Senin, April 16, 2012 WIB Last Updated 2012-04-28T06:20:47Z
CERPEN
Hadiah Yang Terindah (1)
Oleh: M.Udak Cello
“Yang saya hormati, Bapak Kepala Sekolah, bapa dan ibu guru, staf tata usaha, bapa dan mama, serta yang saya cintai teman-teman dan adik-adik sekalian. Tiga tahun sudah kebersamaan kita dilembaga ini. Begitu banyak kisah yang kita lalui bersama. Ada canda dan tawa, dan ada air mata. Yang paling utama dari semua itu adalah ilmu dan nasihat kami peroleh dari setiap cucuran keringat dan tuntutan penuh kasih dari bapa dan ibu guru sekalian. Untaian beribu terima kasih untuk semua yang sudah tercurah ikhlas. Dan beribu maaf kami pinta apabila sampai saatnya tiba, kami meninggalkan almamater ini, masih ada nasihat ataupun petuah yang tidak kami turuti, baik secara sadar maupun tidak. Doa kami, semoga Tuhan selalu memberikan limpahan berkatNya agar selalu sehat dalam menjalankan tugas mulia ini……………”
SEPENGGAL kalimat awal sambutan yang disampaikan Tony, sang mantan Ketua OSIS, memecah keheningan pagi itu. Semilir angin pantai yang berhembus perlahan, menyeruak lewat jendela aula temu pisah, nakal memainkan rambut Nurani, yang sengaja dibiarkan terurai, tanpa ikat rambut. Ia dan tiga ratus sembilan puluh temannya, tertunduk ketika sang kepala sekolah mengangkat mukanya dari atas panggung acara dan menatap satu persatu wajah mereka.
“Nur, tu lagi dilihat sama pa kepala tu.” Elen berbisik pada Nuraini yang persis berada di sebelahnya. Tak bergeming sedikitpun, Nurani menatap kosong deretan keramik putih di depannya. Baginya setiap detik yang bergerak maju dan berganti menit akan semakin mempercepat perpisahan itu. Pikirannya menerawang jauh. Deretan kisah yang dirajut sejak awal menginjakan kakinya di tangga sekolah itu seperti terekam jelas.
***
Medio Juli duaribu delapan. Musim tahun ajaran baru untuk lembaga pendidikan. Cuaca dingin dimalam hari dan panas kala siang. Kamis hari itu. Jam enam tiga puluh. Berkas cahaya matahari menyelinap di dedaunan jambu air depan rumah. Jalanan masih sangat sepih. Angkutan pedesaan yang biasa beroperasi belum muncul. Angin sepoi berhembus pelan menyapu satu dua dedaunan yang rontok semalam. Titik-titik embun masih terlihat segar pada pucuk bunga kembang sepatu, yang berbaris rapih didepan rumah.
Di teras depan rumah setengah tembok, Nurani sudah siap ke kota, setelah ia dinyatakan lulus dalam ujian akhir tingkat SMP, dengan nilai yang sangat memuaskan. Tampilannya sederhana. Tas punggung yang sudah agak lusuh, yang sudah menemaninya selama tiga tahun sebelumnya, tergantung di punggungnya. Sweater tipis tak lupa dikenakan untuk mengusir dinginnya udara malam yang masih terasa. Wajah yang cantik alami tanpa dipoles kosmetik apapun. Sesekali ia memperhatikan jamnya. Sepuluh menit berlalu. “Pelangi”, nama angkutan pedesaan itu berhenti di depan rumahnya.
Seorang penumpang bergegas turun dan mengemasi barang bawaannya. “Pasti bapak,” Nurani bergumam sambil berjalan ke arah angkot. “Mat pagi, bapa”, ucap Nurani sambil mencium tangan keriput ayahnya.
“Pekerjaannya sudah selesai ya, pa?” serga Nuraini.
“Kebetulan materialnya habis, jadi bapa pulang dulu”, jawab Ayahnya sambil memperhatikan dengan seksama penampilan putrinya. “Mau ke mana, nak?” “Ke kota, pa. Mau mendaftar. Ibu sama Brian di dalam,” jelas Nurani. “Sendirian?” Ayahnya terperangah heran.
Terlintas dibayangannya, kejadian heboh seminggu yang lalu. Iapun menceritakan kejadian yang menggemparkan ibukota. Seorang gadis belia ditemukan tak bernyawa, dalam got berair, di pinggir kota dekat kantor polisi.
“Tidak!! Bapak takut, nak.”
Nurani bingung dan cemas. Harus ke kota untuk mendaftar karena menurut informasi dari brosur yang diterimanya, besok adalah hari terakhir pendaftaran siswa baru ataukah membatalkan niatnya setelah mendengar berita barusan dari ayahnya. “Pa, tapi…”
“Kalau itu memang sudah menjadi niatmu, nanti sama bapa.” Sergahnya ayahnya, sebelum Nurani menyelesaikan kalimatnya. Nurani mengangguk.
Setelah ngobrol sesaat dengan orang rumah dan ganti pakaian, Nurani dan ayahnya pamit. Di jalanan angkutan pedesaan sudah hilir mudik.
“Nak, bapak dan mama sangat setuju dengan keputusanmu. Apapun caranya, dengan jalan halal, bapak tetap mengusahakan yang terbaik untuk membiayai sekolahmu. Ingat, bapak cuma minta ijasah kelulusanmu. Brian, adikmu, tahun depan sudah masuk SMP”, ujar ayahnya pelan di tengah deru mesin angkutan pedesaan.
Bening air mata Nurani luruh satu-satu membasahi sweaternya, hingga tiba di terminal timur.
Suasana kota sangat bising. Nurani membuka formulir. Diperhatikan alamat sekolah dengan jelas. Jalan Tribun Timur No. 35. Sang ayah hanya memperhatikan anaknya. Sambil memperhatikan papan nama jalan di sebelah utara terminal, matanya terhenti pada sebuah papan pengumuman yang berada tepat di depan jalan masuk sebuah SMK. Keduanya lalu masuk ke areal sekolah itu.
Berada di depan sekolah itu, terlihat beberapa bangunan lantai dua. Setelah mendapat informasi dari Satpam, keduanya menuju lantai dua, pada bangunan yang paling tengah.
“Mat pagi, Pak. Saya mau mendaftar.” Sapa Nurani di depan meja pendaftaran. Disiapkan juga berbagai kelengkapan yang perlu.
“Mat pagi juga. Silahkan duduk”, jawab Pa Jon, Ketua Panitia ramah.
Nurani tersenyum sipuh setelah menyelesaikan semua proses pendaftaran. Suasana sekolah sangat sepi, karena masih liburan. Di depan mading sekolah, seorang lelaki berseragam cleaning service sibuk membersihkan kaca. Nurani bersandar pada tembok di ujung anak tangga paling atas sambil sesekali bercanda dengan ayahnya di sisi tangga yang lain. Matanya menyapu semua obyek indah di sekitar sekolah. Di depan setiap kelas di lantai satu, taman-taman kecil tertata rapih. Bunga ros, yang sedang mekar, bunga matahari yang menguning, di kelilingi bonsai. Indah nian. Di pojok sekolah, rindangnya pohon sawo membuat suasana teduh.
“Hai, mat pagi. Siswa baru ya?”. Sapaan lelaki seusianya mengagetkan.
“Ya”
“Kenalan, dong.”
“Ivan”
“Nurani”
Ayahnya hanya memperhatikan mereka dari tangga sebelah.
***
Hari pertama sekolah, dengan penampilan baru. Berseragam putih abu. Tas punggung kesayangan warisan SMP tetap setia dipunggungnya. Tanda waktu di jam tangannya, enam tiga puluh pagi. Nurani bergegas menuju gerbang sekolah. Dua orang Satpam sudah menunggu.
“Ayo cepat”, terdengar nada perintah dari balik gerbang. Nurani dan sekelompok siswa lekas memasuki halaman sekolah.
Seperti biasanya, sebelum melaksanakan rutinitas belajar di kelas, apel pagi digelar. “Segera bentuk barisan. Kelas sepuluh pada posisi paling kanan. Ingat nomor pendaftaran anda. Setiap barisan terdiri dari empat puluh siswa. Kelas sebelas dan duabelas menyesuaikan diri. Dimulai dari sekarang”, suara lelaki tegas dari balik megaphone memberikan aba-aba.
Nurani melihat nomor pendaftarannya. Dua delapan puluh. Iapun bergegas mencari barisannya. Yang lainnyapun demikian.
“Anak-anakku sekalian. Selamat pagi dan selamat datang kembali di lembaga ini. Kita patut bersyukur karena kerja keras kita semua dan disiplin yang kita tunjukan dalam semester ini, semua siswa, baik peserta ujian nasional maupun ujian semester, dinyatakan lulus. Pagi ini telah hadir tiga ratus sembilan puluh siswa baru diantara kita. Untuk empat hari ke depan, para siswa baru harus digembleng dalam satu kegiatan Masa Orientasi Siswa. Oleh karenanya, untuk kedua tingkat lainnya diliburkan. Yang sudah ditentukan dalam kepanitiaan, laksanakan tugasnya dengan baik.” Suara datar kepala sekolah memberikan arahannya.
***
Rutinitas sebagai siswa SMK Harapan Nusantara dijalani. Kamar sewaan yang tidak jauh dari kompleks sekolah, sangat membantu Nurani dan tentu kedua orang tuanya. Nurani tidak perlu ongkos kendaraan ke sekolah.
Bersaing dengan para siswa jebolan SMP di kota dan kemampuan ekonomi orangtua yang memadai, tidak membuat Nurani keder. Hal sederhana baginya adalah tanpa membaca atau tanpa belajar semuanya akan sia-sia. Walaupun ia mendapat gelar “gadis, sikutu buku”, baginya tidak masalah. Baginya waktu adalah belajar dan membaca. Untuk menambah pengetahuannya, sesekali ia harus ke pusat kota, mencari informasi terbaru tentang ilmu pengetahuan dan perkembangan lainnya dari koran atau majalah. Tentunya ia tidak berlangganan atau beli. Seorang sahabat laki-laki, semasa sekolah dasar di kampungnya, yang jadi loper koran, mengijinkan Nurani membaca gratis.
Setelah enam bulan pertama bergelut dengan berbagai aktifitas pembelajaran dan sepekan ujian semester, hasilnya akan segera diketahui. Aula sekolah sudah dipenuhi orang tua dan wali siswa. Kepala sekolah dan guru-guru sudah berada pada deretan kursi yang disiapkan.
“Sebelum pembagian buku laporan pendidikan pada masing-masing kelas, saya mengumumkan peringkat lima besar di lembaga ini, terlebih dahulu. Dalam sidang dewan guru, dengan melihat hasil pembelajaran selama semester ini, lima siswa sudah dipilih dan ditetapkan sebagai siswa berprestasi”, sambutan awal kepala sekolah membuat suasana hening sesaat. (bersambung…)
Penulis: asal Kupang NTT
×
Berita Terbaru Update