Pesona
Pantai Kalaki Desa Panda Kecamatan Palibelo, selalu memukau pengguna jalan yang
melintasi jalur setempat.Tak heran jika setiap akhir pekan,warga Bima melepas
penat di lokasi wisata itu. Namun ada yang terlihat miris dibalik keindahan
pantai Kalaki. Di bibir pantai nan elok itu, terdapat sebuah gubuk reot yang
dihuni sepasang suami istri. Siapa mereka? berikut catatan Wartawan Suara
Mandiri
……………………….Bin
Faharudin…………………..
Sulitnya memenuhi kebutuhan hidup,
tak lantas membuat pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa Talabiu Kecamatan Woha
ini patah arang. Di tengah himpitan, keduanya tak habis akal untuk tetap terus
bertahan dan menikmati masa tua, kendati harus tinggal di gubuk usang pinggir
pantai. Dengan tetap tersenyum, mereka optimis hidup harus terus diperjuangkan
dan tak boleh berhenti.
Sekitar satu kilometer dari Bandara
Sultan Muhammad Salahudin, gubuk reot milik Ishaka (55) dan Rugayah (50) itu
seperti bukan tempat tinggal. Bentuknya yang dipenuhi dengan bambu dan kayu
bakao, tak ubahnya seperti tempat berteduh dari terik mentari. Tanpa dinding,
dan hanya berlantaikan pasir dan air laut.
Gubuk reot itu merupakan tempat
tinggal. Tempat tidur dan beristrahatnya Ishaka dan Rugaya. Tempat melanjutkan
hidup yang kian hari kian susah. “Kita tinggal disini sudah bertahun-tahun.
Tidur dan mencari nafkah dengan mencari ikan di laut,” aku Rugayah dengan
bahasa Bima, sembari membenarkan sejumlah kayu pada dinding gubuknya.
Sebelum memutuskan tinggal di
pinggir laut, Rugayah mengaku tinggal di rumah salah satu anaknya di Desa
Talabiu. Karena sudah merasa tak enak, mereka berdua akhirnya memilih pindah
dan membangun gubuk di pinggir pantai.
Untuk bertahan hidup, sehari-hari
hanya bisa mengandalkan bandeng yang di cari menggunakan jaring di sekitar
pantai. Jika ada, mereka jual di pinggir jalan setempat. Untuk nasi, selain
mendapatkan bantuan beras dari orang-orang yang lewat, juga dibeli dari hasil
menjual bandeng. “Jika beruntung, sehari kita bisa dapat sekitar 30 ekor
bandeng. Tapi jika sepi, hanya beberapa ekor saja,” katanya.
Untuk mendapatkan air bersih pun
mereka mengaku kesulitan. Terpaksa, untuk bisa mengambilnya dengan naik Bus
yang lewat dan membayar ongkos Rp200 hingga tiba di Desa Talabiu.
Memiliki tempat tinggal bukan lantas
mereka bisa tidur nyenyak. Pasalnya, setiap malam, jika air laut pasang, akan
menggenangi tempat tidur mereka yang hanya menggunakan dua sarangge.
Kemudian untuk tetap melanjutkan tidur di malam hari, mereka harus menggelar
tikar di atas jalan Negara itu. “Mau tidur di mana lagi, gelar tikar dan tidur
di pinggir jalan raya,” tutur perempuan yang memiliki empat orang anak itu.
Kenapa tidak melanjutkan tinggal
dengan anak saja? Dengan lirih, Rugayah mengaku empat orang anaknya juga tidak
mampu dan hidup serba kekurangan. Dari pada menjadi beban anak-anaknya, lebih
baik memilih untuk hidup seadanya dengan suami.
Selama hidup di pinggir laut,
Pasutri yang berusia senja itu belum pernah merasakan nikmatnya bantuan dari
pemerintah. Padahal, di gubuknya berkibar bendera Partai Golongan Karya
(Golkar). Namun bendera partai yang mengibar tegas itu belum pernah
menyantuninya dengan bantuan.
Rugayah juga tak ingin berharap
banyak. Tak juga ingin merepotkan orang lain untuk sekedar bisa makan dalam
sehari. Dengan mencari bandeng dan menjualnya, kemudian bisa merasakan perut
terisi, itu sudah sangat cukup melanjutkan hidup.
Tentu, hidup miskin hingga tua bukan
pilihan mereka. Namun garis hidup telah menetapkan pasangan pasutri ini untuk
tetap menikmati segala keterbatasan. Hingga ujur ini, semangatlah yang terus
memantik mereka. Semangat untuk bertahan, dan semangat untuk terus bersyukur.
(*)
Foto ada
di Email SM. Nama File Foto Berita Tambahan Bin 19 April