Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pilu Pasutri Penghuni Gubuk Pantai Kalaki

19 April 2012 | Kamis, April 19, 2012 WIB Last Updated 2012-04-19T14:47:00Z

Pesona Pantai Kalaki Desa Panda Kecamatan Palibelo, selalu memukau pengguna jalan yang melintasi jalur setempat.Tak heran jika setiap akhir pekan,warga Bima melepas penat di lokasi wisata itu. Namun ada yang terlihat miris dibalik keindahan pantai Kalaki. Di bibir pantai nan elok itu, terdapat sebuah gubuk reot yang dihuni sepasang suami istri. Siapa mereka? berikut catatan Wartawan Suara Mandiri

……………………….Bin Faharudin…………………..
      

Sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, tak lantas membuat pasangan suami istri (Pasutri) asal Desa Talabiu Kecamatan Woha ini patah arang. Di tengah himpitan, keduanya tak habis akal untuk tetap terus bertahan dan menikmati masa tua, kendati harus tinggal di gubuk usang pinggir pantai. Dengan tetap tersenyum, mereka optimis hidup harus terus diperjuangkan dan tak boleh berhenti.
Sekitar satu kilometer dari Bandara Sultan Muhammad Salahudin, gubuk reot milik Ishaka (55) dan Rugayah (50) itu seperti bukan tempat tinggal. Bentuknya yang dipenuhi dengan bambu dan kayu bakao, tak ubahnya seperti tempat berteduh dari terik mentari. Tanpa dinding, dan hanya berlantaikan pasir dan air laut.
Gubuk reot itu merupakan tempat tinggal. Tempat tidur dan beristrahatnya Ishaka dan Rugaya. Tempat melanjutkan hidup yang kian hari kian susah. “Kita tinggal disini sudah bertahun-tahun. Tidur dan mencari nafkah dengan mencari ikan di laut,” aku Rugayah dengan bahasa Bima, sembari membenarkan sejumlah kayu pada dinding gubuknya.
Sebelum memutuskan tinggal di pinggir laut, Rugayah mengaku tinggal di rumah salah satu anaknya di Desa Talabiu. Karena sudah merasa tak enak, mereka berdua akhirnya memilih pindah dan membangun gubuk di pinggir pantai.
Untuk bertahan hidup, sehari-hari hanya bisa mengandalkan bandeng yang di cari menggunakan jaring di sekitar pantai. Jika ada, mereka jual di pinggir jalan setempat. Untuk nasi, selain mendapatkan bantuan beras dari orang-orang yang lewat, juga dibeli dari hasil menjual bandeng. “Jika beruntung, sehari kita bisa dapat sekitar 30 ekor bandeng. Tapi jika sepi, hanya beberapa ekor saja,” katanya.
Untuk mendapatkan air bersih pun mereka mengaku kesulitan. Terpaksa, untuk bisa mengambilnya dengan naik Bus yang lewat dan membayar ongkos Rp200 hingga tiba di Desa Talabiu.
Memiliki tempat tinggal bukan lantas mereka bisa tidur nyenyak. Pasalnya, setiap malam, jika air laut pasang, akan menggenangi tempat tidur mereka yang hanya menggunakan dua sarangge. Kemudian untuk tetap melanjutkan tidur di malam hari, mereka harus menggelar tikar di atas jalan Negara itu. “Mau tidur di mana lagi, gelar tikar dan tidur di pinggir jalan raya,” tutur perempuan yang memiliki empat orang anak itu.
Kenapa tidak melanjutkan tinggal dengan anak saja? Dengan lirih, Rugayah mengaku empat orang anaknya juga tidak mampu dan hidup serba kekurangan. Dari pada menjadi beban anak-anaknya, lebih baik memilih untuk hidup seadanya dengan suami.
Selama hidup di pinggir laut, Pasutri yang berusia senja itu belum pernah merasakan nikmatnya bantuan dari pemerintah. Padahal, di gubuknya berkibar bendera Partai Golongan Karya (Golkar). Namun bendera partai yang mengibar tegas itu belum pernah menyantuninya dengan bantuan.
Rugayah juga tak ingin berharap banyak. Tak juga ingin merepotkan orang lain untuk sekedar bisa makan dalam sehari. Dengan mencari bandeng dan menjualnya, kemudian bisa merasakan perut terisi, itu sudah sangat cukup melanjutkan hidup.
Tentu, hidup miskin hingga tua bukan pilihan mereka. Namun garis hidup telah menetapkan pasangan pasutri ini untuk tetap menikmati segala keterbatasan. Hingga ujur ini, semangatlah yang terus memantik mereka. Semangat untuk bertahan, dan semangat untuk terus bersyukur. (*)
Foto ada di Email SM. Nama File Foto Berita Tambahan Bin 19 April
×
Berita Terbaru Update