Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Apresiasi Sastra

28 April 2012 | Sabtu, April 28, 2012 WIB Last Updated 2012-04-28T06:03:58Z
#Sorot Puisi
Merajut Bintang Matahari
Oleh: Usman D.Ganggang*)
                                                                         
Usman D. Ganggang
JUDUL tulisan di atas, dikutip dari dua buah puisi karya Dian Kurniawati kelas XI IPA -6 SMAN 1 Kota Bima. Puisi itu sendiri berjudul ”Rajutan Bintang untuk Ayah” dan “Matahari untuk Mama”. Mencermati judul puisi tersebut, terbersit sebuah simpulan bahwa penyairnya (baca : DIAN), berusaha dengan sekuat tenaga melalui penggelandangan imajinasinya mau menggambarkan apa yang ingin diutarakan lewat puisinya, yakni “ketegaran hati seorang ayah”, dalam hal ini, “dia – lirik” (dia yang diceritakan) dalam puisi pertama. Lalu, pada puisi kedua, penyairnya berusaha melukiskan “perhatian seorang bidadari (baca : seorang ibu/mama) terhadap anaknya.
Sepintas kilas, terasa sekali, apa yang digambarkan Dian dalam kedua puisinya, sebenarnya berbicara terkait dengan yang lazim dialami setiap individu ketika suatu saat dalam kesendirian misalnya, menyempatkan waktunya untuk “menghadirkan” orang tua (baca: ayah dan ibu/mama) dalam perenungannya. Seperti dalam kedua puisi Dian ini, “aku lirik” (aku yang diceritakan) menempatkan dirinya untuk mengamati “ketegaran hati ayah”, juga “ketulusan hati” sang ibu/mama dalam memahami keinginan seorang anak.
Simpulan itu ditarik, bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak? Jalinan ide yang tergambar, berawal dari korespondensi di dalam kedua puisi tersebut, akan terkuak makna tersirat dari yang tersurat di dalam puisi itu. Korespondensi itu terjalin, setelah kita cermati antara baris (larik) ke larik berikutnya terjalin indah. Begitu juga jalinan bait dengan baitnya bahkan antara frasa (kelompok kata) yang dipilih Dian sesuai benar untuk menggambarkan maksud. Keteraturan alur berpikir seperti ini, patut diacungi jempol buat Dian. Bagaimanapun seperti diakui banyak akhli sastra, korespondensi nampak secara lahiriah, dan biasanya hanya berkenaan dengan makna.
Perhatikan korespondensi (hubungan yang terdapat dalam puisi) pertama “Rajutan Bintang untuk Ayah”. Nampak sekali alur berpikir Dian punya korespondensi. /Seberkas peluh yang mengalir di ragamu /Tak pernah engkau hiraukan /Kawat-kawat berduri yang menyerang kulitmu/ Engkau anggap tak ada//. Lalu dihubungkan dengan bait kedua: /Engkau selalu terlihat tegar /Engkau selalu terlihat kuat /Semua itu hanya untuk melihatku sepertimu /Melihatku bisa menghancurkan ranjau yang menghalangiku /Menghalangi perjalanan hidupku//. Ketegaran seorang ayah digambarkan secara mantap oleh Dian di dalam dua bait yang mempunyai korespondensi tersebut. Pantaslah kalau kemudian Dian menyimpulkan secara puitis yang tergambar jelas dalam judulnya, Merajut Bintang untuk Ayah“.
Pujian berupa julukan buat ayah oleh “aku – lirik“ juga bukan tanpa dasar. “Aku lirik“ seperti tergambar dalam korespondensi bait ketiga dan keempat, betapa seorang “manak – lirik“ (anak yang diceritakan) meski berlaku kasar dan tidak sopan kepada “ayah – lirik“, tapi ternyata ayah – lirik meski: /Kadang aku pernah merajut beling /Sehingga sesekali engkau terluka, pada akhirnya “ayah – lirik“ masih saja tergambar indah dengan detail mantap: /Namun, lagi-lagi untuk melihat senyumanku /Engkau tetap kuat dan tersenyum tegar//. Ketegaran hati seorang ayah dirajut indah oleh Dian berikut ini: /Akan kurajut semua bintang untuk tetap menyinarimu /Menyinari dan melindungimu dari anyaman kawat//. Doa dan harapan “anak – lirik“ pada akhirnya dilukiskan dengan indah juga di bait – bait terakhir seperti: //Rajutan bintang sebagai tanda /Bahwa aku mencintaimu, ayah//.
Sama seperti pelukisan pada puisi pertama, pada puisi kedua juga Dian dengan cermati menghadirkan alur berpikir yang tergambar dalam korespondensi antarlarik, antarbait; juga antarfrasa. Kesemuanya menggambarkan inti puisi, yakni “Ketulusan Hati Seorang Ibu“. Meski anaknya bertingkah laku kurang sopan tetapi ibu selalu: /selalu bernyanyi dan tersenyum//. Itu pula sebabnya, “aku – lirik“ berusaha: menjuluki mama/ibunya sebagai bidadari. Julukan ini, sepatutnya kita sebagai anak selalu kita hadirkan dalam kehidupan keseharian kita. Apa pun alasannya, kita ada karena mama/ibu yang melahirkan kita. Apalagi sudah dicerahkan para tokoh agama dalam setiap kesempatan berceramah agama,“Surga itu berada di bawah kaki seorang ibu/mama“.
Andai saja, Dian berusaha berkonsentrasi lagi memanfaatkan diksi untuk mendukung makna yang disampaikan, juga rima (persajakan), maka akan lebih putis dan bernas karya Dian. Tetapi, bagaimana pun juga Dian sudah memulai menulis puisi, bahkan ketika mencermati gaya yang diungkapkan Dian, semakin percaya pengasuh bahwa Dian sudah jatuh cinta pada puisi. Selamat menulis lagi, pengasuh tunggu karyamu yang lainnya. OK?
Kepada penikmat, pengasuh hadirkan kedua puisi Dian berikut ini. Silakan dicermati, dan temukan hal bermanfaat dari kedua puisi tersebut!
 
Rajutan Bintang untuk Ayah
Oleh: Dian
 
Seberkas peluh yang mengalir di ragamu
Tak pernah engkau hiraukan
Kawat-kawat berduri yang menyerang kulitmu
Engkau anggap tak ada
 
Engkau selalu terlihat tegar
Engkau selalu terlihat kuat
Semua itu hanya untuk melihatku sepertimu
Melihatku bisa menghancurkan ranjau yang menghalangiku
Menghalangi perjalanan hidupku
 
Kadang, aku tak mengerti surat yang kau beri
Kadang aku berpikir itu kapak
Kadang aku pernah merajut beling
Sehingga sesekali engkau terluka
Namun, lagi-lagi untuk melihat senyumanku
Engkau tetap kuat dan tersenyum tegar
 
Ayah .......
Maaf karena kenaifanku
Maaf seribu maaf jika pernah membuatmu sedu
Namun, aku akan menjadi pagar besi yang kuat
Pagar yang akan melindungimu
Akan ku rajut semua bintang untuk tetap menyinarimu
Menyinari dan melindungimu dari anyaman kawat
 
Ayah ...
Aku akan menjadi kuat seperti yang engkau inginkan
Menjadi rajutan bintang yang akan mengitarimu
Rajutan bintang yang menerangimu
Rajutan bintang sebagai tanda
Bahwa aku mencintaimu, ayah ....
 
Matahari untuk Mama
Oleh: Dian
 
Beribu beling yang berjatuhan dari langit
Beribu pedang tajam yang menyayat tubuhmu
Engkau tak pernah bersuara
Engkau tak ingin mengeluarkan suara paraumu
Suara rintihan sakitmu
 
Engkau tetap berjalan
Bernyanyi dan tersenyum dihadapanku
Tak sadar seluruh tubuhmu telah tergores
Tidak, engkau sadar .....
Namun engkau berpura-pura
Yah, berpura-pura seakan tak terjadi apa-apa
Berpura-pura demi melihat suara candaku
Berpura-pura seakan bidadari berjalan bersamamu
 
Namun, aku percaya...
Mereka pasti mengikutimu
Memberimu payung dan alas kaki
Memberi alunan musik untuk nyanyianmu
Memberi perlindungan untuk menjagamu
 
Mama .......
Aku akan berusaha
Untuk menjadi bidadari itu
Walaupun sesungguhnya, engkaulah bidadari itu
Akanku raih genggam bintang itu 
Akanku bawakan matahari untukmu
Akanku kejar matahari terbenam
Yah, berlari mengejar matahari terbenam
Dan akan ku berikan matahari itu
Sebagai bukti kesungguhanku
Bahwa aku mencintaimu, mama….
 
*) Penyair kelahiran Bambor – Kempo Manggarai NTT ini, kini berdomisili di Kota Bima.
×
Berita Terbaru Update