Dompu, (SM).- Puluhan massa yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda Simpasai (SPS) menggelar ujuk rasa di kantor Kelurahan Simpasai, Kecamatan Woja Senin (05/3) kemarin terkait masalah program bedah rumah kumuh.
Massa menuntut agar pemerintah kelurahan dan Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) program rumah kumuh yang bersumber dari Menpera tahun 2012, bersikap transparan dan tepat sasaran dalam menyalurkan bantuan tersebut kepada masyarakat tanpa pandang bulu.
Aksi unjuk rasa mulai berlangsung sekitar pukul 08.30 Wita dibawa koordinator lapangan (Koorlap) Adi Sadikin S.Sos. Kegiatan itu mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Selain meminta agar bersikap transparan, massa dalam orasinyapun menuntut supaya menjelaskan alasan kelurahan setempat menarik uang senilai Rp2500/kk yang didata sebagai calon penerima bantuan rumah kumuh. Padahal menurut mereka, program tersebut bersifat gratis alias tidak ditarik biaya apapun.
Massa juga mempertanyakan legalitas dari pengurus UPK yang dibentuk. Sebab, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pembentukan dan penetapan pengurus UPK.
Terlebih lagi SPS menginginkan, jika program bedah rumah tahun ini terealisasi, maka tenaga pekerjanya harus diambil dari masyarakat yang ada di kelurahan Simpasai, mengingat potensi tenaga kerja di wilayah setempat masih tersedia.
Massa aksi tersebut diterima oleh Lurah Simpasai Jubaidah S.Sos, Camat Woja Julkifli Lubis S.Sos, melalui dialog di Kantor Kelurahan.
Lurah menyatakan, program bedah rumah bersumber dari Menpera. Pihaknya hanya sebatas mengusulkan jumlah rumah warga untuk mendapatkan program dimaksud. Akan tetapi yang menentukan lolos atau tidaknya merupakan kewenangan pemerintah pusat. ‘’Kami akan berupaya untuk tetap transparan dan tidak ada yang harus disembunyikan kepada masyarakat soal program ini,’’tandasnya.
Menurutnya, pembentukan UPK rumah kumuh memang dilakukan tanpa melalui proses musyawarah, mengingat pihaknya sangat terdesak karena harus segera mengusulkan data rumah warga kategori kumuh ke Bappeda Dompu. Pasalnya dari sekian desa/kelurahan hanya Simpasai yang paling telat mengajukan data usulan rumah kumuh. ‘’Data usulan rumah kumuh tidak akan diterima jika bukan dilakukan oleh UPK. Karena demikian kami terpaksa membentuk UPK secara mendadak untuk memenuhi syarat dimaksud,’’terangnya.
Mengenai penarikan uang dengan kisaran Rp25000/KK merupakan kebijakan internal atas kesepakatan masyarakat. Pasalnya pihaknya membutuhkan biaya bagi penyetakan foto dan penyusunan data rumah kumuh. Sementara pemerintah Kabupaten dan kelurahan tak menyediakan dana untuk itu. ‘’Tapi dari 600 KK lebih yang kami usulkan rumahnya. Hanya sebagian yang menyetorkan uangnya,’’kata Lurah.
Lanjut Lurah, mengenai permintaan tenaga pekerja program bedah rumah, kata Lurah, pihaknya tidak bisa menjanjikan hal demikian. Karena pihaknya belum mengatahui secara pasti apakah program itu akan terealisasi atau tidak, atau ada juknis lain yang mengatur tentang sistem pelaksanaan kegiatan ini. ‘’Program baru tahap pengusulan data. Jadi kita belum tahu apakah usulan itu akan terealisasi atau tidak. Bahkan kami juga tidak tahu Juknisnya pekerjaanya seperti apa. Apa akan swakelola atau ditenderkan. Maka itu yang kami tunggu,’’katanya.
Sementara Camat Woja Julkifli Lubis menuturkan, unjuk rasa yang dilakukan para pemuda yang tergabung dalam SPS merupakan hal yang wajar, akibat minimnya pemahaman mereka terhadap program tersebut.
Mestinya hal seperti ini dapat disikapi secara arif dan menjadi motivasi bagi pihak kelurahan maupun UPK untuk meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, supaya tidak menimbulkan intepretasi yang berbeda dikalangan masyarakat yang dapat memicu konflik internal. (SM.15)
//Foto. Usai melakukan orasi, pengjuk rasa di terima Lurah Simpasai dan Camat Woja yang difasilitasi aparat kepolisian di kantor keluarahan Simpasai Senin (05/3)//