Lantaran itulah, puluhan orang tua
murid dan sejumlah guru serta Kepala Sekolah setempat menggelar aksi di depan
kantor Mapolres Bima Kota, Senin kemarin. Mereka menuntut polisi segera
menyelesaikan kasus tersebut. Dalam aksi tersebut, orasi menggunakan sound system
hanya berlangsung beberapa menit dan berakhir dengan audiensi dengan Kapolrest
Bima Kota.
Didalam ruang rapat Kapolrest Bima
Kota, sejumlah perwakilan menyampaikan tuntutannya. Koordinator aksi, Nasarudin
menilai penanganan kasus dugaan pemerkosaan itu lamban. Padahal sejumlah alat
bukti sudah dikantongi, tapi belum juga menetapkan kasus itu sebagai kasus
pemerkosaan, terlebih dinaikan statusnya ke Kejaksaan Negeri Raba Bima. “Ada
kekhawatiran pihak keluarga korban, polisi tidak serius menangani kasus ini,”
ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, pihak keluarga
korban yang melihat pelaku yang tidak juga berada di dalam sel. Padahal menurut
pengakuan korban dan keluarga, anak kelas V SDN 19 itu, benar diperkosa. Tak
hanya itu, Nasarudin juga mengungkapkan, selam proses hukum berjalan, ada oknum
pengacara yang ingin bernegosiasi dengan orang tua korban dengan iming-iming
uang sebanyak Rp20 sampai Rp50 juta.
Di tempat yang sama, Paman korban,
Arifudin juga menilai sama. Dirinya melihat polisi tidak serius tangani kasus
keponakannya itu. Dia sangat berharap, aparat kepolisian menegakkan supremesi
hukum dan menuntaskan pemeriksaannya. Karena, jika berlarut-larut maka akan
dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. “Kita minta kasus ini bisa
di sselesaikan dengan cepat,” pintanya.
Kapolres Bima Kota, AKBP. Kumbul, KS,
SIK, SH mengatakan, pihaknya hingga kini masih terus memprosesnya. Keterlambatan
yang dinilai oleh pihak keluarga korban, dan belumnya dilakukan penahanan untuk
oknum guru yang diduga pelaku tersebut, karena tidak cukup alat bukti. “Kalau
alat bukti sudah cukup, tentu akan kita tahan. Lagi pula, oknum guru tersebut
datang dan menyerahkan diri, jadi belum bisa ditahan,” ujarnya.
Hingga kini, lanjut Kumbul, pihaknya
masih kesulitan menentukan kasus itu pemerkosaan atau tidak. Karena berdasarkan
keterangan korban, selalu berbeda. Kemudian sejumlah saksi yang di periksa,
juga mengaku tidak melihat langsung kejadian tersebut. Begitu pula dengan hasil
visum, kendati ada tanda luka robek di kelamin korban, namun belum bisa di
tentukan apakah luka itu karena tangan atau yang lain. “Korban itu labil.
Keterangannya selalu berbeda-beda. Lagi pula, kasus ini dilaporkan setelah satu
minggu kejadian. Kami cukup kesulitan,” terangnya.
Kendati demikian, pihaknya tetap akan
menuntaskan kasus tersebut dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kumbul juga membantah adanya dugaan jika Polisi bermain dan menerima sejumlah
uang dalam penanganan kasus itu. “Itu tidak benar. Kami polisi tetap akan
bekerja secara profesional. Yang benar itu benar, dan yang salah itu tetap
disalahkan,” tegasnya dan melanjutkan, adanya oknum penagcara yang ingin
bernegosiasi dengan orang tua korban, bukan menjadi urusan pihaknya.
Dia menambahkan, setiap pemeriksaan
kasus, dirinya mengibaratkan institusi polisi hanya menyajikan minuman seperti
teh, kemudian yang mencicipinya adalah jaksa, dan yang akan meminumnya adalak
Hakim di Pengadilan. Jika teh yang disajikan di tingkat Kejaksaan kekurangan
gula, maka teh tersebut akan dikembalikan. “Untuk itu, kami tidak ingin
menyajikan berkas kasus ini dengan keadaan yang tidak lengkap. Kami lengkapi
dulu agar Jaksa bisa menerima dan memprosesnya lebih lanjut sampai ke tingkat
Pengadilan,” tambahnya. (SM.07)