Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Bertahan di Tengah Bencana

13 November 2010 | Sabtu, November 13, 2010 WIB Last Updated 2010-11-13T01:14:11Z

Oleh: Elnino Nafas Rabbani

Sejak tanggal 26 Nnovember 2010, Kota Jogjakarta bagai kota mati.
Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan masyarakat selain menyibukan diri melakukan tindakan penyelamatan diri dari bahaya bencana Gunung Merapi yang kian mengganas.

MAHASISWA yang selama ini menjadi penghuni terbanyak juga tak luput dari rasa cemas yang mendalam, sebagian besar melakukan eksodus meninggalkan Jogja keberbagai kota aman. Sebagian yang lain menjadi relawan dan sebagaiannya lagi hanya bisa menunggu nasib di kontrakan masing-masing sembari tetap memantau perkembangan merapi yang sangat misterius.
Pada tanggal 3 oktober 2010, tepat dini hari dan pagi kembali Merapi menumpahkan awan panas serta abu vulkanik dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan letusan sebelumnya. Area pengungsi yang pada awalnya terletak di titik aman pertama terpaksa harus segera dievakuasi pada titik aman kedua yang jaraknya kurang lebih 20 meter dari radius ledakan.
Kembali Jogja bagai kota mati, sangat jarang warung yang buka, jalan begitu sepi hanya terlihat abu vulkanik yang sangat tebal menutup ruas jalan seluruh kota, kampus-kampuspun harus mengambil langkah antisipatif dengan meliburkan seluruh mahasiswa untuk waktu kurang lebih dua pekan sembari menjadikan kampus sebagai tempat pengungsian.
Radius titik aman pun berubah hingga pada kilometer 20 dari ledakan. Mahasiswa mulai melakukan eksodus besar-besaran sedangkan yang bertahan di Jogja selain banyak yang menjadi relawan kemanusian untuk para pengungsi yang mencapai angka 305.000 orang juga ada yang hanya bisa melakukan koordinasi secara internal mengungsi di tempat tempat strategis seperti asrama mahasiswa daerah yang tersebar di berbagai tempat di kota Jogja.

Asrama Mahasiswa Bima Jogjakarta yang terletak di pusat kota dan berjarak 30 meter dari radius ledakan Merapi pun menjadi tempat yang banyak dipilih oleh banyak mahasiswa Bima yang bertahan di Jogjakarta. Seluruh kamar yang ada diprioritaskan untuk ditempati oleh para mahasiswa putri sedangkan yang putra secara massal memanfaatkan beberapa kamar dan aula sebagai tempat peristirahatan.
KEPMA sebagai wadah bagi perkumpulan mahasiwa Bima pun mengambil tindakan strategis untuk memberikan pelayanan maksimal kepada para pengungsi yang berada di asrama. Berbagai kegiatan dan program dilakukan. Salah satunya dengan mengelar pementasan amal yang dilakukan oleh Sanggar Rimpu KEPMA Bima sebagai ajang membangung solidaritas dan optimisme bagi para pengungsi baik yang ada di asrama maupun yang ada di Jogjakarta.
Pada pementasan ini juga digelar malam amal dengan tema lelang seni untuk penggalangan dana. Acara dilakukan dengan dua kali pementasan. Pementasan pertama dilakukan pada tanggal 1 November 2010 dan dilanjutkan pada tanggal 4 November 2010. Berbagai acara atau tampilan kreasi disuguhkan dengan apik, mulai dari tari, rawa mbojo, permorming art, monolog, puisi, patu mbojo, drama yang kesemuanya bercerita tentang ketabahan dan makna dari musibah atau bencana.
Acara tersebut mampu membakar semangat dan antusiasme para pengungsi serta para pengunjung yang hendak berpartisipasi dalam amal. Beberapa kali terdengar tawa yang membahana saat para pemain menyuguhkan goyonan-goyunan cerdas tetapi tetap penuh makna. Malam amalpun berakhir dengan dana yang terhimpun kurang lebih 1 juta rupiah.
Dana yang terkumpul dari ratusan mahasiswa tersebut langsung digunakan untuk membeli berbagai keperluan pengungsi seperti pembalut, pempers serta keperluan anak-anak lainnya. Barang-barang tersebut kemudian diserahkan langsung kepada para pengungsi keesokan harinya.
“Sekalipun kita juga menjadi bagian dari korban itu sendiri tetapi bukan berarti kita berhenti untuk menjadi dan memberikan kontribusi kepada korban lain yang lebih tidak beruntung dari kita”,  itulah kalimat penutup yang disampaikan Munazar (23) selaku Ketua Keluarga Pelajar Mahasiswa (KEPMA) Bima Yogyakarta pada malam penutupan pentas budaya untuk Merapi di asrama Mahasiwa Bima, Yogyakarta.
Tiga hari berselang, kota Jogja kembali dilanda gempa berturut-turut dua hari. Kekhawatiran semakin meluas, terlebih setelah berbagai isu lewat sms dan televisi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan membuat keresahan masyarakat Jogja semakin menjadi. Jumlah mahasiswa Bima yang berada di Jogja pun kian hari kian berkurang. Tak kurang dari 10 orang mahasiwa Bima, setiap harinya meninggalkan Jogja sejak awal merapi berstatus awas.
Kondisi asrama yang sebelumnya pada oleh pengungsi mulai lega setelah banyak dari mahasiswa Bima yang eksodus keberbagai kota termasuk kembali ke kampung halamannya. Sedangkan kurang lima puluh orang mahasiwa yang masih bertahan karena tidak ada pilihan untuk meninggalkan Jogja mulai dilanda berbagai persoalan baru. Keterbatasan ekonomi membuat mereka juga harus mampu memainkan peran ganda sebagai seroang mahasiswa sekaligus sebagai korban bencana dengan segala kekurangannya.
Rasa keprihatinan kembali melanda pada mahasiswa yang berada di asrama dalam diskusi kecil mencoba mencari solusi atas persoalan pengungsi yang ada di asrama. Solusipun hanya mampu melahirkan kesimpulan kembali kepada kemampuan personaliti dari para mahasiwa dengan segala kemampuan dan kekurangannya saat ini.
“Entah apakah pantas kita masih mengatakan, bahwa kita masih memiliki pemerintahan di kampung sana atau tidak, sebab 16 hari sudah kita dalam musibah besar ini tetapi tidak pernah ada sebuah berita yang kita dengar bahwa pemerintahan kita di kampung sana memiliki kepedulian kepada warganya yang ada di rantau”,  kalimat itu diungkapkan Hadi Kurniawan (27) saat memberikan pendapat dalam diskusi kecil di beranda Asrama Mahasiswa Bima, Yogyakarta.
Kondisi Asrama Mahasiwa Bima, Yogyakarta memang sangat berbeda dari asrama mahasiswa daerah-daerah lainnya yang sejak awal telah mendapatkan perhatian dan kepedulian serta tanggung jawab dari pemerintahannya masing-masing. Sedangkan Asrama Mahasiwa Bima yang sejak awal bencana Merapi telah dijadikan sebagai tempat ungsian bagi mahasiwa yang berada di titik rawan bencana hingga hari ini tidak pernah mendapatkan berita atau informasi tentang sikap dan tanggung jawab pemerintah terhadap nasib warganya di Jogjakarta.
Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari melakukan kontak langsung dengan pihak atau pejabat di daerah, sms, berita vfia facebook hingga meminta kepada anak-anak para pemegang kendali kekuasaan pun telah dilakukan sebagai upaya membangun koordinasi dengan pihak pemerintahan daerah di kampung dengan mahasiswa Bima di Jogja. Hanya satu yang belum bisa dilakukan yaitu melakukan komunikasi atau koordinasi dengan mekanisme prosedural birokrasi mengingat kondisi mahsiswa Bima dalam keadaan darurat.
Seperti pada umumnya, kalimat KALEMBO ADE adalah yang jawaban abstrak yang coba diterima dengan lapang dada oleh para pengungsi di asrama sekalipun itu tidak dapat menjawab persoalan yang sangat mendesak dibutuhkan oleh para pengungsi di asrama seperti ketersediaan masker, ketersediaan alat serta fasilitas MCK dan alat-alat pembersih asrama yang berlumuran debu serta lumpur setelah hujan terus mengguyur Jogja.
Keadaan kurang lebih 50 orang mahasiswa di asrama kian hari-kian memprihatinkan, solidaritas diantara mereka hanya mampu bertahan kurang lebih satu pekan. Solidaritas itu berupa mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik membantu mahasiswa yang secara kebetulan memiliki kekurangan financial seperti persoalan memfasilitasi makan dan minum.
Di tengah keterbatasan ini, mahasiswa Bima yang berada di asarama pun hanya bisa bertahan dengan asupan mie instan dan nasi telur tanpa sayur sebagai cara bertahan yang paling mungkin di tengah gempuran bencana walaupun apa yang dikonsumsi sangat tidak memenuhi asupan gizi untuk daerah yang terkena bencana seperti saat ini.
Keinginan untuk mengkonsumsi makanan layak bagi mahasiswa yang mampu harus ditanggalkan demi nilai kemanusiaan dan solidaritas serta perasaan senasib dan sependeritaan di asrama. Bila satu mengunyah mie maka begitu juga yang lainnya. Bila satu makan nasi telur tanpa sayur begitu juga dengan yang lainnya. Hanya sesekali saja diantara mahasiswa yang mengungsi di asrama bisa menikmati makanan layak dan sehat.
Tanggal 11 November 2010 merupakan hari ke 17 belas bagi pengungsi yang berada di asrama menanti kepastian kapan bencana Merapi ini berakhir. Letusan merapi yang terjadi pada pagi hari 11/11/2010 menyebabkan awan panas serta abu vulkanik melanda beberapa daerah di wilayah Jawa Tengah, tetapi tepat pada pukul 14,00 udara panas akibat perubahan arah angin dari barat menuju selatan menyebabkan udara di Jogja sangat-sangat panas. Ini adalah dampak dari awan panas yang masih dihembuskan oleh Mmerapi.
“Mungkin kita sudah tidak memiliki lagi pemerintah di kampung sana”, ungkap Kadarusman (29) tahun yang merupakan juga pengungsi di asrama saat semuanya berkumpul untuk mengantisipasi suhu panas yang kian meningkat di beranda Asrama Mahasiswa Jogja di tengah ketidakpastian nasib bencana dan keterbatasan dalam pengungsian. (*)

Penulis: Alumni Jogja dan Pegiat Seni, Aktif di Sanggar Rimpu Jogja
×
Berita Terbaru Update