Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

SASTRA: Butuh Pemahaman Konvensi Sastra

16 Juni 2012 | Sabtu, Juni 16, 2012 WIB Last Updated 2012-06-16T04:05:56Z

Usman D. Ganggang
Oleh: Usman D.Ganggang *)

AKAN lebih bagus, kalau saja seorang calon penyair sebelum dia menyair, terlebih dahulu memahami konvensi (kesepakatan) bahasa dan sastra. Pasalnya, terkadang calon penyair langsung menyair tanpa menilik konvensi mana yang harus dipatuhi terkait dengan sastra. Iya, fakta riil di lapangan, memang masih ada yang belum paham terhadap konvensi di antara bahasa dan sastra.
Sastra (karya sastra), apa itu puisi, cerpen, maupun novel, jelas mempunyai konvensinya masing – masing. Terkait dengan sastra puisi, tentu mempunyai konvensinya juga. Meski begitu, sastra sebagai karya seni, tetaplah bahasa sebagai mediumnya. Berbeda dengan karya seni lainnya misalnya seni musik dan seni lukis mediumnya netral dalam artinya belum mempunyai arti, dan belum mempunyai sistem dan konvensi seperti terjadi pada puisi.

Disadari, medium seni lukis adalah cat atau warna sedangkan seni musik adalah suara atau bunyi, kesemuanya belum mempunyai arti sebagai bahan. Sedangkan sastra adalah bahasa yang mempunyai arti. Bagaimanapun juga, bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri, maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra yang mempunyai sistem dan konvensi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics).
Dalam karya sastra, demikian Rachmat Djoko Pradopo (2009:121), arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra itu sendiri. Tentu saja karya sastra, karena bahannya  bahasa yang sudah mempunyai sistem dan konvensi itu, tidaklah lepas sama sekali dengan sistem bahasa dan artinya. Sastra mempunyai konvensi sendiri di samping konvensi bahasa. Oleh karena itu, wajarlah bila Preminger (1974: 981) seperti yang dikutip Rachmat Djoko Pradopo (2009: 121) konvensi karya sastra tersebut disebut konvensi tambahan, yakni konvensi yang ditambahkan kepada konvensi bahasa. Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra dipergunakan istilah: “arti” (meaning) untuk bahasa dan  “makna” (significance) untuk arti sastra dan karena itu sastra memiliki dua makna (denotasi dan konotasi).
Oleh karena itu, kalau mau menulis sastra misalnya puisi, maka makna sastra harus dipahami. Sebab makna itu ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas dari arti bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasinya (makna yang tidak sebenarnya) atau makna kiasan/sampingan/tambahan.
Lebih – lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya. Misalnya, tipografi (tata huruf), secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi mempunyai makna dalam puisi (sastra) karena konvensinya jelas. Misalnya, sanjak Sutardji Calzum Bachri “Targedi Winka dan Sihka” (1981: 38), begitu juga enjabement dan sajak (rima), tentu juga simbol selalu ada pada puisi. Contoh konkretnya: kata “bunga” selain mempunyai arti (bahasa) juga mempunyai makna (dalam sastra), bunga adalah sejenis tanaman dan bunga sebagai tambahan, bermakna  “gadis” (= wanita).
Mencermati uraian di atas, maka ketika kita berhadapan dengan dua puisi saudara Indrah berikut ini, kita akan berhadapan dengan konvensi bahasa lebih dominan tinimbang konvensi sastra (puisi). Artinya, dalam pengungkapan idenya, lebih pada arti bahasanya (prosais = bercerita) sedangkan makna dalam puisinya sesuai konvensi, tercatat sangat kurang. Ini terbaca, makna tambahan/sampingan, yang terdeskripsi dalam puisinya, terasa sangat kurang jumlahnya. Atau terkait dengan ulasan pengasuh kali lalu, kedua puisi Saudara Indrah, lebih terfokus pada aspek “berbicara” tinimbang memperhatikan aspek “bernyanyi” yang menimbulkan kemerduan buat penikmat. Untuk tidak sekedar bicara, mari kita cermati dua puisi berikut ini!

01. Pahlawan
Karya: Indrah Purnamawati

Ketika terdengar kata pahlawan
Aku teringat betapa terpuruknya bangsaku
Menghadapi penjajah yang begitu kejam
Menjadi budak di tanah air sendiri
Betapa pedihnya nasib bangsa Indonesia
Masyarakat diperlakukan tanpa mengenal rasa kasihan
Seakaan tak ada kata kemanusiaan
Hingga keberanian muncul untuk menentang
Merekalah yang disebut pahlawan
Seseorang yang berusaha bangkit dalam kegelapan
Mencoba menumbuhkan semangat perjuangan
Menuju kedamaian yang diimpikan
Tak ada kata menyerah untuk berjuang
Walau hanya takbir dan bambu yang menemani
Semua terdengar begitu mustahil
Tapi kenyataannya kau telah berhasil
Berhasil membawa Indonesia pada pintu gerbang kermerdekaan
Perjuanganmu tak hanya menjadi sejarah
Tetapi perjuanganmu akan menjadi inspirasi
Inspirasi bagi para generasi penerus bangsa

02. Hancurnya Tanah Airku
Karya: Indrah Purnamawati

Dulu kau tanah yang subur dan indah
Sekarang kau menjadi gersang dan tandus
Rusaknya moral dan ahlak bangsaku
Menjadi awal hancurnya tanah airku

Berbagai bencana dahsyat menghancurkan negaraku
Apakah ini pertanda alam tak bersahabat lagi
Apakah ini bukti kemarahannya
Semua itu mungkin saja benar

Sekarang dunia semakin tua
Tanda-tanda kehancuran sudah mulai terlihat
Tapi manusia semakin lupa diri
Mereka merasa akan hidup selamanya

Tanpa mereka sadari dunia ini akan berakhir
Mereka lupa akan semua yang tertulis
Sebagai takdir yang tak bisa diubah
Dan hanya menjadi rahasia Allah

Sumber bacaan: Pradopo Rachmat Djoko, Prof.DR.2009.Beberapa Teori Sastra.Metode Kritik, dan Penerapannya.Jogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
×
Berita Terbaru Update