Usman D. Ganggang |
Oleh: Usman D.Ganggang *)
AKAN lebih bagus, kalau saja seorang calon
penyair sebelum dia menyair, terlebih dahulu memahami konvensi (kesepakatan)
bahasa dan sastra. Pasalnya, terkadang calon penyair langsung menyair tanpa
menilik konvensi mana yang harus dipatuhi terkait dengan sastra. Iya, fakta
riil di lapangan, memang masih ada yang belum paham terhadap konvensi di antara
bahasa dan sastra.
Sastra
(karya sastra), apa itu puisi, cerpen, maupun novel, jelas mempunyai
konvensinya masing – masing. Terkait dengan sastra puisi, tentu mempunyai
konvensinya juga. Meski begitu, sastra sebagai karya seni, tetaplah bahasa
sebagai mediumnya. Berbeda dengan karya seni lainnya misalnya seni musik dan
seni lukis mediumnya netral dalam artinya belum mempunyai arti, dan belum
mempunyai sistem dan konvensi seperti terjadi pada puisi.
Disadari,
medium seni lukis adalah cat atau warna sedangkan seni musik adalah suara atau
bunyi, kesemuanya belum mempunyai arti sebagai bahan. Sedangkan sastra adalah
bahasa yang mempunyai arti. Bagaimanapun juga, bahasa berkedudukan sebagai
bahan dalam hubungannya dengan sastra sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri,
maka disebut sistem semiotik tingkat pertama. Sastra yang mempunyai sistem dan
konvensi sendiri yang mempergunakan bahasa, disebut sistem semiotik tingkat
kedua (second order semiotics).
Dalam
karya sastra, demikian Rachmat Djoko Pradopo (2009:121), arti bahasa ditentukan
oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra itu sendiri. Tentu
saja karya sastra, karena bahannya
bahasa yang sudah mempunyai sistem dan konvensi itu, tidaklah lepas sama
sekali dengan sistem bahasa dan artinya. Sastra mempunyai konvensi sendiri di
samping konvensi bahasa. Oleh karena itu, wajarlah bila Preminger (1974: 981)
seperti yang dikutip Rachmat Djoko Pradopo (2009: 121) konvensi karya sastra
tersebut disebut konvensi tambahan, yakni konvensi yang ditambahkan kepada
konvensi bahasa. Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra dipergunakan
istilah: “arti” (meaning) untuk bahasa dan
“makna” (significance) untuk arti sastra dan karena itu sastra memiliki
dua makna (denotasi dan konotasi).
Oleh
karena itu, kalau mau menulis sastra misalnya puisi, maka makna sastra harus
dipahami. Sebab makna itu ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi
tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa ditingkatkan menjadi arti sastra
atau makna meskipun tidak lepas dari arti bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa
itu mendapat arti tambahan atau konotasinya (makna yang tidak sebenarnya) atau
makna kiasan/sampingan/tambahan.
Lebih
– lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi arti tambahan
kepada arti bahasanya. Misalnya, tipografi (tata huruf), secara linguistik
tidak mempunyai arti, tetapi mempunyai makna dalam puisi (sastra) karena
konvensinya jelas. Misalnya, sanjak Sutardji Calzum Bachri “Targedi Winka dan
Sihka” (1981: 38), begitu juga enjabement dan sajak (rima), tentu juga simbol
selalu ada pada puisi. Contoh konkretnya: kata “bunga” selain mempunyai arti
(bahasa) juga mempunyai makna (dalam sastra), bunga adalah sejenis tanaman dan
bunga sebagai tambahan, bermakna “gadis”
(= wanita).
Mencermati
uraian di atas, maka ketika kita berhadapan dengan dua puisi saudara Indrah
berikut ini, kita akan berhadapan dengan konvensi bahasa lebih dominan
tinimbang konvensi sastra (puisi). Artinya, dalam pengungkapan idenya, lebih
pada arti bahasanya (prosais = bercerita) sedangkan makna dalam puisinya sesuai
konvensi, tercatat sangat kurang. Ini terbaca, makna tambahan/sampingan, yang
terdeskripsi dalam puisinya, terasa sangat kurang jumlahnya. Atau terkait
dengan ulasan pengasuh kali lalu, kedua puisi Saudara Indrah, lebih terfokus
pada aspek “berbicara” tinimbang memperhatikan aspek “bernyanyi” yang
menimbulkan kemerduan buat penikmat. Untuk tidak sekedar bicara, mari kita
cermati dua puisi berikut ini!
01. Pahlawan
Karya: Indrah Purnamawati
Ketika
terdengar kata pahlawan
Aku
teringat betapa terpuruknya bangsaku
Menghadapi
penjajah yang begitu kejam
Menjadi
budak di tanah air sendiri
Betapa
pedihnya nasib bangsa Indonesia
Masyarakat
diperlakukan tanpa mengenal rasa kasihan
Seakaan
tak ada kata kemanusiaan
Hingga
keberanian muncul untuk menentang
Merekalah
yang disebut pahlawan
Seseorang
yang berusaha bangkit dalam kegelapan
Mencoba
menumbuhkan semangat perjuangan
Menuju
kedamaian yang diimpikan
Tak
ada kata menyerah untuk berjuang
Walau
hanya takbir dan bambu yang menemani
Semua
terdengar begitu mustahil
Tapi
kenyataannya kau telah berhasil
Berhasil
membawa Indonesia pada pintu gerbang kermerdekaan
Perjuanganmu
tak hanya menjadi sejarah
Tetapi
perjuanganmu akan menjadi inspirasi
02. Hancurnya
Tanah Airku
Karya: Indrah Purnamawati
Dulu
kau tanah yang subur dan indah
Sekarang
kau menjadi gersang dan tandus
Rusaknya
moral dan ahlak bangsaku
Menjadi
awal hancurnya tanah airku
Berbagai
bencana dahsyat menghancurkan negaraku
Apakah
ini pertanda alam tak bersahabat lagi
Apakah
ini bukti kemarahannya
Semua
itu mungkin saja benar
Sekarang
dunia semakin tua
Tanda-tanda
kehancuran sudah mulai terlihat
Tapi
manusia semakin lupa diri
Mereka
merasa akan hidup selamanya
Tanpa
mereka sadari dunia ini akan berakhir
Mereka
lupa akan semua yang tertulis
Sebagai
takdir yang tak bisa diubah
Dan
hanya menjadi rahasia Allah
Sumber bacaan: Pradopo Rachmat Djoko,
Prof.DR.2009.Beberapa Teori Sastra.Metode Kritik, dan Penerapannya.Jogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.